
Beberapa tahun terakhir, generasi milenial dan Gen Z di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memasuki dunia kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi terjebak dalam pengangguran atau pekerjaan yang tak sesuai bidangnya, karena pertumbuhan lapangan kerja yang lambat tak mampu mengimbangi ketatnya persaingan dan jumlah angkatan kerja baru.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional berada di angka 5,32%.
Namun, TPT untuk kelompok usia 20–24 tahun melonjak hingga 17,39%,
dan kelompok usia 25–29 tahun mencapai 8,24%—jauh lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya. Ironisnya, mayoritas penganggur justru berasal dari kalangan terdidik,
yaitu lulusan Diploma (6,29%) dan Sarjana (5,89%).
Di tengah kondisi ini, profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali dipandang sebagai jalur karier yang aman dan stabil, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi, disrupsi digital, serta potensi resesi global.
Masih Tetap “Sangat Diminati“
Banyak generasi muda memandang ASN sebagai pekerjaan yang menjanjikan kepastian penghasilan, jaminan pensiun, serta kesempatan untuk berkontribusi langsung dalam pembangunan negara.
Ini sejalan dengan data dari Lembaga Administrasi Negara (LAN RI) yang menunjukkan bahwa peminat seleksi CASN 2023 mencapai lebih dari 5,3 juta pelamar, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, mencerminkan antusiasme tinggi terhadap profesi ini.
Namun, di tengah euforia tersebut, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah profesi ASN benar-benar layak dan relevan bagi generasi muda yang dikenal dinamis, kreatif, dan akrab dengan ekosistem digital?
Visi besar Indonesia Emas 2045, yang menargetkan Indonesia sebagai negara maju dengan PDB terbesar ke-4 dunia, membutuhkan birokrasi yang agile, inovatif, dan berdaya saing tinggi. Pemerintah, melalui berbagai regulasi seperti Undang-Undang ASN No. 20 Tahun 2023, tengah mendorong reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik dan kinerja, bukan sekadar status.
Selain itu, transformasi besar-besaran melalui pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga membuka peluang baru, namun dengan tantangan tersendiri.
Pemerintah menargetkan bahwa IKN akan menciptakan 200 ribu lapangan kerja langsung dan tidak langsung hingga 2045, menurut data Otorita IKN. Meski menjanjikan, angka ini tetap kecil dibanding proyeksi tambahan 65 juta angkatan kerja baru dalam dua dekade mendatang (Bappenas, 2022).
Maka, menjadi ASN di era ini bukan sekadar memilih aman, tapi juga memilih untuk bertransformasi menjadi bagian dari solusi pembangunan negara.
Dengan realita demografis, ekonomi, dan geopolitik yang terus bergerak dinamis, pilihan menjadi ASN tidak bisa hanya dilihat dari sisi stabilitas, melainkan harus dipertimbangkan dari sisi kapasitas kontribusi terhadap visi besar bangsa.
Generasi muda perlu mempertanyakan apakah ASN masa kini mampu memberikan ruang untuk inovasi, digitalisasi layanan publik, dan pencapaian tujuan strategis nasional, atau justru membatasi ekspresi profesional mereka dalam lingkaran birokrasi yang lamban dan hierarkis.
Karena itu, di tengah sulitnya lapangan kerja dan terbatasnya pilihan yang sesuai kompetensi, pertanyaan tentang kelayakan profesi ASN menjadi refleksi yang penting. Apakah jalan ini menawarkan masa depan cerah atau justru jalan yang stagnan?
Narasi ini penting untuk dibahas secara lebih mendalam agar generasi penerus bangsa mampu mengambil keputusan karier yang bukan hanya strategis bagi diri mereka sendiri, tetapi juga berdampak bagi masa depan Indonesia.
Menilik Daya Tarik ASN di Mata Milenial
Profesi ASN masih memiliki magnet tersendiri, khususnya karena jaminan stabilitas kerja, gaji tetap, serta berbagai tunjangan dan hak pensiun.
Dalam sebuah studi yang dilakukan MissionSquare Research Institute di Amerika Serikat pada tahun 2023, tercatat bahwa 32% milenial memilih sektor publik karena kestabilan pekerjaan, diikuti alasan work-life balance (29%) dan tunjangan kesehatan (28%). Kondisi serupa juga berlaku di Indonesia.
Meski tidak ada survei nasional terkini yang secara eksplisit memotret minat milenial terhadap ASN, jumlah pelamar CPNS dan PPPK yang terus membeludak tiap tahun, dengan dominasi usia 22-30 tahun, menjadi indikator tak terbantahkan.
Misalnya, pada seleksi CPNS tahun 2023, lebih dari 4,3 juta pelamar tercatat, dengan 61% di antaranya berusia di bawah 30 tahun. Angka tersebut menunjukkan bahwa ASN masih menjadi pilihan rasional di tengah ketidakpastian dunia kerja.
Bagi banyak milenial, khususnya di luar Jawa dan wilayah
dengan akses terbatas ke sektor swasta formal, profesi ASN menjadi jalan hidup. Mereka mencari keamanan sosial, bukan sekadar penghasilan. ASN memberikan kepastian, sesuatu yang amat berharga di tengah ekonomi yang volatil.
Tambahan lagi, fleksibilitas kerja yang mulai diterapkan di beberapa kementerian dan instansi, seperti skema kerja dari rumah (WFH), turut menambah daya tarik bagi generasi yang mengutamakan keseimbangan hidup dan kerja.
Dalam laporan Kementerian PAN-RB tahun 2024, tercatat bahwa sekitar 38 kementerian/lembaga telah menerapkan sistem kerja fleksibel, setidaknya untuk jenis pekerjaan yang bersifat administratif dan berbasis output.
Dalam konteks demografi, Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi hingga tahun 2045, di mana proporsi penduduk usia produktif akan jauh lebih besar dibandingkan usia non-produktif.
Dalam periode ini, kemampuan negara untuk menyerap tenaga kerja produktif, termasuk dari kalangan milenial dan generasi Z, akan menentukan masa depan ekonomi nasional. Dalam kerangka itu, ASN dapat menjadi mesin penggerak reformasi publik jika mampu menarik dan mempertahankan talenta-talenta muda terbaik bangsa.
Tantangan Internal: Antara Rutinitas dan Relevansi Zaman
Meski terlihat stabil dan menjanjikan dari luar, banyak milenial yang telah menjadi ASN merasakan sisi lain dari profesi ini. Tantangan utamanya bukan pada gaji semata, melainkan pada ekosistem birokrasi yang masih belum sepenuhnya akomodatif terhadap semangat inovasi dan kreativitas.
Birokrasi kita cenderung hierarkis dan prosedural, dua hal yang kerap bertolak belakang dengan karakter generasi milenial yang mengutamakan kecepatan, kolaborasi, dan ruang berekspresi.
Sebuah studi internal Universitas Indonesia tahun 2023
menyatakan bahwa banyak ASN muda merasa kurang diberi ruang untuk berinovasi,
dan lebih banyak terjebak dalam pekerjaan administratif repetitif. Bahkan, 47% responden dari ASN usia di bawah 35 tahun mengaku tidak mendapatkan saluran yang jelas untuk menyampaikan gagasan atau ide kebijakan di instansinya.
Hal ini diperparah dengan terbatasnya pelatihan pengembangan kompetensi yang adaptif terhadap kebutuhan zaman. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program seperti Pelatihan ASN Digital dan Talent Pool BKN, implementasinya masih belum merata.
Selain itu, jalur karier dalam birokrasi kerap stagnan. Sistem promosi masih dominan berbasis senioritas ketimbang kinerja. Hal ini dapat melemahkan motivasi dan semangat profesional ASN muda yang haus tantangan.
Mereka yang berprestasi tinggi, namun terganjal sistem birokrasi yang lamban, bisa kehilangan semangat dan justru mencari peluang di sektor lain. Laporan OECD 2022 bahkan menyoroti bahwa stagnasi karier adalah penyebab utama turnover dini ASN muda di banyak negara berkembang.
Data dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga memperlihatkan bahwa ASN muda yang memiliki gelar pascasarjana cenderung lebih cepat mengundurkan diri atau pindah jalur karier bila merasa tidak diberi ruang berkembang.
Statistik ASN Milenial:
Cerminan Potensi atau Sekadar Pelengkap?
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per akhir 2024 mencatat bahwa sekitar 37% dari total ASN Indonesia berusia di bawah 40 tahun. Angka ini menunjukkan regenerasi birokrasi sedang berlangsung.
Namun, angka tersebut perlu dikaji lebih lanjut dalam hal distribusi jabatan, ruang inovasi, dan peran strategis yang diberikan pada ASN muda.
Berdasarkan laporan internal BKN, hanya 12% ASN berusia di bawah 40 tahun yang menduduki posisi struktural atau jabatan fungsional ahli madya ke atas. Ini menunjukkan bahwa ASN muda belum sepenuhnya terlibat dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Di Amerika Serikat, hampir 30% pekerja sektor publik berasal dari generasi milenial (Pew Research Center). Sementara itu, di Singapura, meritokrasi dan transformasi digital mendorong ASN muda menjadi agen perubahan di berbagai instansi.
Singapura, melalui Civil Service College-nya, secara aktif memberikan pelatihan kepemimpinan dan proyek transformasi digital yang secara khusus ditargetkan kepada pegawai usia muda.
Dalam konteks ASEAN, Malaysia juga telah menerapkan program “Millennial Public Servants Initiative” yang bertujuan mempercepat pengembangan talenta muda dalam birokrasi.
Program ini menempatkan pegawai muda sebagai pemimpin proyek strategis lintas kementerian. Jika Indonesia tidak segera mengadaptasi strategi serupa, potensi talenta muda ASN dapat tergerus oleh stagnasi struktural.
Rekomendasi: Menjadikan ASN Pilihan Rasional dan Progresif
Agar profesi ASN benar-benar layak dan menarik bagi generasi milenial, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan secara komprehensif.
- Pertama, modernisasi sistem kerja tidak dapat ditawar lagi. Sistem kerja berbasis output dan digitalisasi prosedur internal harus diterapkan menyeluruh agar ASN tidak lagi dibebani dengan proses manual dan birokrasi ganda.
- Kedua, reformasi pola karier perlu memperhatikan aspek kinerja dan pengembangan individu. Model fast-track promotion seperti yang diterapkan di Korea Selatan dan Inggris dapat menjadi rujukan.
- Ketiga, pelatihan kepemimpinan dan soft skill perlu diperluas, termasuk kemampuan berpikir strategis, komunikasi publik, dan kolaborasi lintas sektor. Program seperti Indonesia Young Leaders ASN, yang saat ini masih berupa pilot project, harus diperluas menjadi bagian dari sistem pengembangan karier nasional.
- Keempat, pemerintah perlu membentuk sistem reward and recognition berbasis inovasi. Setiap ide yang berdampak, baik dalam peningkatan layanan publik maupun efisiensi anggaran, harus diberi penghargaan formal dan insentif yang menarik.
- Kelima, proses rekrutmen ASN juga harus direformasi. Proses seleksi yang panjang, berjenjang, dan kurang transparan dapat menurunkan minat talenta muda yang memiliki banyak pilihan. Teknologi rekrutmen berbasis AI, video screening, dan penilaian kompetensi digital seperti yang dilakukan oleh sektor swasta besar dapat diadaptasi untuk mempercepat dan memperkaya kualitas seleksi ASN.
- Terakhir, penting untuk menyinergikan ASN dengan sektor lainnya, seperti BUMN dan startup berbasis digital, melalui program magang kolaboratif atau pertukaran talenta. Hal ini akan menciptakan wawasan baru dan mempercepat adopsi nilai-nilai baru dalam birokrasi.
- Pemerintah juga perlu mendorong transformasi budaya kerja ASN, agar nilai integritas, pelayanan publik, dan efisiensi menjadi lebih internalized pada ASN muda.
Penutup: Stabilitas Harus Disertai Ruang Berkembang
Profesi ASN bukan lagi sekadar profesi yang menawarkan gaji tetap dan tunjangan pensiun. Ia harus menjadi lahan pengabdian dan inovasi bagi generasi muda yang ingin membangun bangsa dari dalam sistem.
Generasi milenial, dengan segala kelebihan mereka—adaptif, kreatif, dan idealis—harus diberi ruang dan kepercayaan untuk berperan lebih besar.
Menjadikan ASN sebagai pilihan karier masa depan tidak cukup hanya dengan branding. Pemerintah harus menjawab kebutuhan zaman dengan reformasi struktural dan kultural.
Di tengah gempuran ekonomi digital, ketidakpastian global, dan disrupsi teknologi, negara membutuhkan birokrasi yang muda, tanggap, dan berdedikasi.
Hanya dengan transformasi menyeluruh, profesi ASN bisa menjadi dambaan bukan hanya karena jaminan masa depan, tetapi juga karena potensi pengaruh positif yang bisa diciptakan oleh setiap individunya.
Sebagai penutup, mari menjadikan birokrasi bukan sekadar tempat bekerja, melainkan tempat berkarya. ASN bukan hanya soal status, tetapi soal kontribusi.
Jika reformasi dijalankan dengan sungguh-sungguh dan memberi ruang bagi kreativitas serta kepemimpinan muda, maka bukan tidak mungkin profesi ASN menjadi pilihan utama generasi milenial yang ingin membangun Indonesia dari dalam sistem.
Setuju dengan tulisan ini. Reformasi harus dijalankan dengan sungguh-sungguh agar kepemimpinan ASN muda tumbuh.