Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, jumlah produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia di tahun 2020 mencapai 46 juta ton, terbagi 43% untuk pasar domestik dan sisanya menjadi komoditas ekspor.
Pertumbuhan produksi tersebut juga didukung ketersediaan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 16.381 juta hektar. Pada dasarnya Minyak Kelapa Sawit Mentah atau yang sering disebut CPO merupakan bahan baku utama dalam pembuatan minyak goreng dan dikonsumsi lebih dari 40% dari seluruh jenis minyak mentah yang beredar di seluruh dunia.
Sayangnya, di tengah produksi CPO yang berlimpah, rakyat Indonesia tetap menerima dampak kenaikan harga pasar yang begitu signifikan. Kenaikan harga minyak mentah baru-baru ini menimbulkan kegusaran tersendiri, terkhusus bagi kalangan menengah ke bawah maupun pelaku usaha yang mengandalkan bahan pokok minyak sawit.
Konsumen dan pedagang kecil yang tak berdaya pun hanya bisa ngedumel. Sudah barang pasti, kenaikan bahan pokok di era pandemi menimbulkan kegaduhan di kalangan tertentu.
Karena Lonjakan Harga CPO di Pasar Global
Kenaikan yang begitu signifikan ditengarai oleh lonjakan harga CPO di pasar global. Produsen minyak sawit dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasaran global yang telah ditetapkan, yaitu melalui KPBN Dumai yang juga terkoneksi dengan pasar internasional di Rotterdam.
Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO untuk produksi dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional. Di sisi lain, kenaikan harga CPO yang terus terkerek naik menimbulkan masalah baru di kalangan masyarakat.
Sebagai negara penghasil CPO terbesar di dunia, Indonesia seakan-akan didikte untuk menjual CPO dalam negeri dengan berpatokan pada harga pasaran internasional. Padahal seharusnya, Indonesia memiliki bargaining position dalam mengontrol pergerakan dan fluktuasi harga CPO dari waktu ke waktu.
Harga minyak sawit yang terlampau tinggi juga berdampak pada terbukanya peluang bagi masyarakat untuk menggunakan kembali minyak jelantah atau minyak bekas pemakaian dalam kehidupan sehari-hari.
Tentu hal ini perlu diantisipasi, karena minyak jelantah berbahaya bagi kesehatan kita. Kandungannya tidaklah sehat, selain dapat memicu kenaikan kolesterol dalam tubuh, juga mengandung senyawa karsinogenik atau zat penyebab kanker.
Melakukan Intervensi Kebijakan
Sejatinya, pemerintah telah melakukan Operasi Pasar guna mengintervensi harga pasaran minyak goreng ke level normal. Pemerintah terus mendorong distribusi penyaluran minyak goreng ke ritel modern dan masyarakat sehingga target 11 juta liter dapat tercapai pada akhir 2021.
Akan tetapi, operasi pasar tersebut bukanlah solusi efektif. Ibarat kata menyelesaikan masalah bukan dari akarnya. Seperti yang diketahui, akar permasalahan utama dari naiknya harga minyak goreng adalah akibat dari meningkatnya harga CPO global. Perlu solusi jangka panjang dalam menyelesaikannya.
Pemerintah Indonesia memiliki kewenangan dalam mengendalikan lonjakan harga CPO dalam negeri. Pengendalian harga tersebut dapat dilakukan melalui skema Domestic Market Obligation (DMO).
Kebijakan Domestic Market Obligation merupakan kewajiban produsen untuk menjual sebagian dari hasil produksinya dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan harga spesial yang diperuntukkan bagi pasar dalam negeri, diharapkan dapat menstabilkan kembali harga minyak goreng di pasaran.
Sistem pasar di Indonesia memungkinkan intervensi oleh pemerintah dalam rangka menekan harga jual barang pokok yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Menjaga Kestabilan Berbagai Komoditas
Peran Pemerintah dalam mengintervensi pasar melalui kebijakan merupakan salah satu bentuk campur tangan dalam rangka menciptakan kestabilan ekonomi dan menjaga kondusivitas pasar minyak goreng di Indonesia. Perlu dipahami, sejalan dengan besarnya jumlah penduduk negeri ini, konsumsi minyak goreng dalam negeri berada pada tren yang terus meningkat.
Penerapan skema Domestic Market Obligation (DMO) pernah dilakukan oleh Pemerintah pada tahun 2000 lalu, dengan tujuan untuk mengatasi kekurangan stok CPO dalam negeri. Secara konteks, skema ini memiliki perbedaan pada kasus tahun ini, di mana stok CPO masih cukup, tetapi harganya yang melonjak akibat dari permintaan harga pasar global.
Selanjutnya, program Domestic Market Obligation (DMO) telah diterapkan pada komoditas Batubara, di mana Pemerintah telah menetapkan aturan penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO) pada 2021, yaitu minimal sebesar 25% dari produksi per produsen.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan harga jual batu bara untuk pembangkit listrik di dalam negeri maksimal US$ 70 per ton. Aturan ini tertuang di dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri 2021.
Epilog: DMO untuk Meredam Gejolak Pasar
Skema Domestic Market Obligation dimungkinkan untuk meredam gejolak pasar minyak goreng dalam negeri sebagai akibat dari terus meningkatnya harga CPO global. Tentu hal ini memerlukan jaminan akan ketersediaan pasokan CPO dari produsen untuk pasar domestik.
Karenanya, perlu pengawasan melekat dari stakeholder terkait seperti Kementerian Perdagangan dan pemerintah daerah dalam pelaksanaannya.
Penerapan Domestic Market Obligation tidak menutup kemungkinan hanya dilakukan pada komoditas tertentu, seperti batubara. Tetapi dapat juga digunakan untuk komoditas lain yang dinilai memiliki kemanfaatan lebih bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Penulis adalah PNS pada Lembaga Administrasi Negara - Puslatbang KDOD
0 Comments