
1. Jabatan Fungsional: Ruang Strategis atau Ruang Kompensasi?
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gelombang pelantikan Jabatan Fungsional (JF) di berbagai instansi.
Fenomena ini bermula dari penyederhanaan struktur organisasi (delayering), sebuah langkah reformasi besar yang digagas untuk memangkas “birokrasi” dan memperkuat fungsi-fungsi jabatan berbasis keahlian.
Setelah proses delayering itu selesai, gelombang pelantikan JF tak kunjung reda, justru semakin banyak pegawai yang “dipindahkan” ke Jabatan Fungsional.
Fenomena ini justru memberikan gambaran bahwa seolah-olah JF ini menjadi ruang baru yang harus segera diisi. Pada titik ini, kita perlu bertanya dengan jujur:
“Apakah Jabatan Fungsional benar-benar menjadi ruang strategis
untuk memangkas birokrasi dengan kinerja berbasis kompetensi, atau justru berubah menjadi ruang kompensasi agar pegawai memiliki pendapatan yang lebih tinggi dengan
kinerja berbasis ekspektasi?”
Jika alasannya adalah kompensasi atau sekadar mengisi ruang, maka esensi dari Jabatan Fungsional sebagai wadah bagi keahlian dan profesionalitas ASN terancam hilang.
Jabatan Fungsional hanya sebuah label baru namun tetap disibukkan dengan beban tugas administratif untuk memenuhi ekspektasi pimpinan.
2. Ekspektasi Pimpinan:
Kunci Mendapatkan Angka Kredit Tinggi Hasil Konversi
Tulisan ini hadir untuk memberikan refleksi bagi para pemangku kepentingan, terutama bagi para pimpinan, instansi pembina JF, maupun para JF itu sendiri.
Refleksi ini mencoba menarasikan kerangka penilaian kinerja Jabatan Fungsional pasca hadirnya Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional dan peraturan teknis lainnya mengenai konversi predikat kinerja terhadap Angka Kredit.
Dalam Permenpan RB tersebut nasib kenaikan jenjang dan pangkat JF bergantung pada Predikat Kinerja yang sangat dipengaruhi oleh ekspektasi pimpinan sebagai Pejabat Penilai Kinerja.
Ia bukan lagi berdasarkan butir-butir kegiatan yang telah dirumuskan agar sesuai dengan fungsi dan kompetensi dari setiap Jabatan Fungsional.
Lalu, bagaimana kita merefleksikan kata “ekspektasi” ini agar menjadi ruang aktualisasi untuk memelihara kompetensi, menjalankan fungsi, serta tetap berkontribusi terhadap organisasi?
Permasalahan makna “ekspektasi” dapat muncul jika pimpinan atau pejabat penilai kinerja masih terjebak dalam mindset manajerial dan administrasi yang lama dengan beberapa pendapat subjektif, yaitu:
- Predikat Kinerja akan tinggi bagi JF yang patuh dan menyelesaikan tumpukan administrasi harian (memenuhi ekspektasi pimpinan).
- Angka Kredit Konversi pun akan tinggi, meskipun JF tersebut minim dalam menghasilkan kontribusi yang besar berbasis keahlian fungsionalnya.
Hal ini merupakan suatu “pedang bermata dua” dalam sistem baru yang sedang berlangsung saat ini.
Sistem yang seharusnya mendorong aktualisasi kompetensi bagi para Jabatan Fungsional, justru berisiko mengarahkan JF itu sendiri untuk mencari “jalan aman” demi hasil konversi angka kredit yang lebih tinggi.
Para Jabatan Fungsional cenderung bekerja hanya dengan menuruti ekspektasi pimpinan, dibandingkan melakukan kegiatan sesuai fungsinya demi mempertahankan kompetensi dan keahliannya yang spesifik.
3. Praktik Baik:
Merawat Kompetensi dan Relevansi Keahlian dengan Menetapkan Standar “Hasil Kerja Minimal”
Ekspektasi keberadaan Jabatan Fungsional adalah terkait dengan keahlian dan profesionalitasnya dalam bidang pekerjaan serta kompetensi tertentu. Oleh karena itu, idealnya sistem pengelolaan kinerja yang ada harus menjamin fungsi dan kompetensi JF tetap terpelihara.
Berdasarkan pengamatan dari penulis, terdapat contoh baik pengelolaan kinerja ASN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terkhusus dalam pembinaan JF di bidang penelitian, perekayasaan, dan analis data ilmiah.
BRIN merumuskan penetapan hasil kerja minimal yang harus dicapai oleh setiap JF di bidang IPTEK dalam jangka waktu tertentu.
Hasil kerja ini bukan sekadar beban tugas administratif, melainkan berupa karya nyata seperti publikasi ilmiah, paten, atau prototipe. Ini adalah praktik yang secara eksplisit menghidupkan fungsi dan memelihara kompetensi profesional mereka.
Praktik ini menunjukkan bahwa ekspektasi harus diarahkan untuk menciptakan karya fungsional yang terukur, bukan sekadar menjalankan beban tugas administratif yang umumnya menjadi ekspektasi para Pejabat Penilai Kinerja yang belum terbiasa dengan pola kerja fungsional.
4. Ekspektasi Harus Dibicarakan, Bukan Diasumsikan
Salah satu kunci untuk memastikan pengelolaan kinerja Jabatan Fungsional berjalan sesuai jalur kompetensinya adalah melalui dialog kinerja.
Ekspektasi terhadap Jabatan Fungsional tidak bisa hanya ditetapkan sepihak oleh sistem atau pimpinan. Ekspektasi harus menjadi hasil dialog antara atasan dan pegawai yang bersangkutan.
Ekspektasi yang tidak dibicarakan berisiko menjadi asumsi yang membebani (menjadi alat kontrol), sementara ekspektasi yang disepakati bersama bisa menjadi penunjuk yang mengarahkan (menjadi ruang tumbuh).
Dalam pengelolaan kinerja, penting bagi pimpinan untuk membuka ruang komunikasi yang jujur dan konstruktif. Dialog-dialog ringan seperti:
- Membicarakan tentang fungsi yang dijalankan: Apa inti dari Jabatan Fungsional ini?
- Membicarakan tentang kompetensi yang dimiliki: Apa keahlian dan kompetensi yang bisa diinginkan?
- Membicarakan tentang kontribusi yang diharapkan: Hasil kerja fungsional spesifik apa yang dibutuhkan oleh organisasi?
Pelaksanaan dialog seperti ini dapat membuat ekspektasi tidak hanya menjadi alat ukur untuk memberikan konversi angka kredit semata, akan tetapi juga menjadi ruang tumbuh yang saling memperkuat antara individu dan organisasi.
Menjaga Makna, Merawat Ekspektasi
“Jabatan Fungsional bukan sekadar ruang baru dalam struktur birokrasi.
Ia adalah bentuk tertinggi kepercayaan dan penghargaan terhadap kompetensi. Jabatan Fungsional seharusnya hadir untuk menjanjikan bahwa keahlian dan kompetensi akan diberi
ruang untuk tumbuh dan berdampak”.
Namun, kepercayaan itu hanya akan bermakna jika dibarengi dengan ekspektasi yang jelas, adil, dan bermakna bukan sekedar mengejar angka kredit atau target administratif, melainkan harapan yang menghidupkan fungsi, memelihara kompetensi, dan menggerakkan kontribusi.
Jika kita ingin reformasi birokrasi tidak berhenti pada penyederhanaan struktur (delayering), maka kita perlu merawat ekspektasi—agar jabatan tidak kehilangan makna, dan ASN tidak kehilangan arah.














0 Comments