Adakah di antara Anda, para pembaca, yang pernah melihat atau mendengar Pengurus KORPRI bereaksi ketika ada anggotanya yang ‘dirugikan’ dalam sebuah proses pembinaan kepegawaian? Apakah Anda pernah membaca atau mendengar pernyataan keras Pengurus Organisasi kita itu, saat menyikapi perlakuan tidak adil yang dialami oleh anggota KORPRI? Atau pertanyaannya kita buat lebih sederhana: Pernahkah kepentingan-kepentingan kita “dibela” oleh KORPRI?
Baiklah, Anda dapat menyimpan jawaban Anda dalam hati. Pengalaman saya selama 27 tahun menjadi Anggota Korpri adalah seperti anak ayam yang kehilangan induk. Terlantar, berjuang sendiri, dan menanggung seluruh risiko perjuangan sendirian. Di luar seremoni upacara bendera yang berlangsung setiap bulan dan iuran bulanan yang langsung terpotong dari gaji kita, KORPRI nyaris tak pernah hadir di tengah-tengah kita. Di daerah, misalnya, organisasi yang secara ex officio diketuai oleh pejabat birokrasi tertinggi, cenderung melempem saat berhadapan dengan tembok tinggi pembina kepegawaian.
Mungkin itulah sebabnya, banyak dukungan yang saya terima ketika tulisan yang berjudul Bebaskan Birokrasi dari Politisi tayang di laman Birokrat Menulis. Tulisan itu mendapat tanggapan yang hampir seragam dari sejumlah pembacanya. Terutama dari kalangan birokrat yang merupakan alumni pendidikan kepamongprajaan. Banyak rekan yang memberikan dukungan, karena sepertinya apa yang saya tulis merupakan suara hati banyak birokrat muda yang kini tersebar di berbagai penjuru tanah air.
Salah seorang rekan, misalnya, mengusulkan agar rekomendasi saya dalam tulisan itu dijadikan sebagai agenda Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK), sehingga menjadi gerakan nasional yang bisa memberikan pressure kepada penentu kebijakan. Sebuah gerakan yang mendesak para perumus kebijakan berpikir lebih jernih sebelum mengambil kebijakan tertentu yang berkaitan dengan birokrasi di daerah.
Tulisan Rudy Harahap tentang profesional birokrat yang menjadi penyeimbang bagi politisi semakin membuat ide itu mengkristal di kepala saya. Melalui penjelasan beliau saya makin yakin, bahwa itu bukanlah gagasan yang mustahil diwujudkan. Belum lagi argumentasi Doddy Hutabarat yang disampaikan dalam diskusi internal Birokrat Menulis melalui WhatsApp.
Intinya ia menegaskan perlunya keberdayaan serikat pekerja birokrasi yang kuat dan tangguh. Dengan demikian, seperti di Amerika Serikat, Pekerja Birokrasi sanggup “memogokkan” sebuah Negara Bagian. Di buku saya Mozaik Indonesia, saya juga menulis bahwa meskipun tanpa politisi, negara tetap bisa berjalan dengan baik berkat keberadaan birokrasi yang profesional, yang tetap mampu mengelola negara dengan bijak.
Tulisan Ilham Nurhidayat dengan gamblang menguraikan bentuk-bentuk resiko yang mungkin dihadapi oleh birokrat yang melakukan perlawanan. Di akhir tulisannya, beliau tetap memberikan dorongan kuat bagi kita semua untuk menyuarakan kebenaran, meskipun pahit. Hal itu memang menjadi pekerjaan rumah terbesar kita, yaitu apakah setiap menyuarakan kebenaran, nasib kita harus selalu berujung pada kepahitan?
Bukankah idealnya kebenaran berujung pada kebahagiaan? Mengapa tidak kita ubah kondisi miris itu menjadi menyenangkan, misalnya dengan memberikan penghargaan terhadap profesional birokrat yang berani menjadi whistleblower?
Tentu kalau semakin banyak orang yang mendapatkan reward berkat keberaniannya mengungkapkan kebenaran, maka semakin besar pula keberanian pekerja birokrasi lainnya untuk berbuat serupa. Jika hanya melulu menjadi tumbal, maka sulit bagi kita merintis jalan mewujudkan profesional birokrat.
Kiranya, inilah kesempatan terbesar bagi para birokrat yang tergabung dalam Birokrat Menulis, untuk merintis dan mewujudkan (meminjam istilah seorang rekan di Kementerian Keuangan, Marudut Napitupulu) “The New Generation Of Bureaucracy”. Sebuah gerakan “penyelamatan” terhadap birokrasi Indonesia. Sambil terus menata etos kerja dan kualitasnya, birokrasi harus dibangun. Merekalah tulang punggung bangsa yang mampu mewujudkan kemakmuran bagi rakyat bangsa ini.
KORPRI, organisasi profesi kita yang selama ini hanya sekedar menjadi pelengkap penderita, tampaknya, mesti di-overhaul untuk bisa memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sebagai organisasi profesi yang ideal, yang melindungi dan mengayomi anggotanya.
Setujukah Anda?
*artikel ini pertama kali diterbitkan pada 11 Maret 2017 dan dipublikasikan kembali pada tanggal 29 Nov 2020, bersamaan dengan peringatan hari KORPRI tahun 2020
ASN di Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wajo. Tulisan Andi P. Rukka sangat khas, berusaha mengkritisi ketidakberdayaan sebagian besar birokrat di negeri ini.
Pernah pak. Bahkan DPN Korpri sudah memiliki unit layanan bantuan hukum bagi anggotanya, dan sudah banyak ASN yang terbantu.
Tentu masih banyak kekurangan dari pengurus, tetapi jajaran pengurus pastilah telah melakukan yang terbaik.