Rasanya satu jam sudah kami menempuh perjalanan, namun belum juga terlihat tanda mencapai tujuan. Bis yang kami tumpangi mulai mulai melambat, menyusuri jalan yang menyempit. Sesekali tumpangan kami ini harus rela terpelosok dalam lubang di jalan yang tidak beraspal baik. Menaiki dan menuruni perbukitan yang terjal dengan banyak tikungan tajam. Lalu ia diapit oleh tebing yang tinggi di sebelah kiri dan dan jurang yang dalam di sebelah kanan.
Namun kami begitu menikmati perjalanan ini. Keindahan alam tersuguh di sepanjang perjalanan. Gugusan Bukit Barisan yang diselimuti pepohonan yang hijau menjadi obat bagi kepenatan kami. Begitulah pengalaman perjalanan saya empat tahun yang lalu saat menjadi fasilitator Agenda Self Mastery pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III di Bukittinggi.
Pada sesi visitasi, kami mengunjungi monumen Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di nagari Koto Tinggi, kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota Provinsi Sumatera Barat. Jarak sejauh 67 km kami tempuh selama dua jam perjalanan.
Lalu tibalah kami di tugu PDRI yang berada di area Pasar Sabtu Koto Tinggi. Tugu PDRI yang pertama dibangun pada 17 Agustus 1949 terletak di tepi pasar. Sedangkan tugu baru yang lebih besar terletak di tengah pasar. Di sekitar tugu ini terdapat 20 bangunan rumah penduduk yang dulunya dihuni para pejuang kini ditetapkan sebagai cagar budaya.
Pesan Sejarah PDRI
PDRI memiliki sumbangsih besar dalam sejarah bangsa walaupun pemerintahan ini hanya berlangsung delapan bulan, Desember 1948 – Juli 1949. PDRI dibentuk pada 22 Desember 1948 berselang beberapa hari setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Ini sebagai langkah inisiatif Syafrudin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI kala itu, untuk menghindari kekosongan kekuasaan disebabkan Sukarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam artikel berjudul Presiden Syafruddin Prawiranegara, menyebutkan bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial, jabatan Presiden tidak boleh terjadi kekosongan, karena di dalamnya terkandung simbol eksistensi negara yang merdeka dan berdaulat. Maka, langkah yang diambil Syafruddin bersama tokoh-tokoh nasional yang lain sangatlah tepat. Sebenarnya, Syafruddin tidak pernah menyebut dirinya sebagai presiden, namun cukup dengan sebutan Ketua PDRI.
Sesuai dengan sifatnya, PDRI memimpin pemerintahan secara mobile, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sambil meneruskan perjuangan dengan gerilya. Ahli sejarah dari Universitas Negeri Padang Mestika Zed dalam artikelnya, yang berjudul PDRI sebagai Sumber Pembelajaran TT Hari Bela Negara: Refleksi dan Tindakan, menyebutkan,
“Meskipun dalam keadaan serba berkekurangan, PDRI pada gilirannya memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan pelbagai kekuatan perjuangan yang bercerai-berai di Jawa dan Sumatera dan pada saat yang sama mendorong pemulihan perjuangan diplomasi dengan masyarakat internasional, termasuk dengan Dewan Kemananan PBB”.
PDRI telah memberikan pelajaran sejarah yang berharga bagi kita semua. Masih dari artikel yang sama, Mestika Zed menyebutkan tiga pelajaran yang dapat kita ambil. Pertama, PDRl menunjukkan betapa partisipasi rakyat lokal memainkan peran sentral sebagai primemover (penggerak utama) yang menentukan di tingkat grass-root dalam menghadapi kriris nasional.
Kedua, PDRI adalah soal to be or not to be Republik. Tanpa PDRI, Republik yang diproklamasikan beberapa tahun sebelumnya itu, nyaris tenggelam buat selama-lamanya. Ketiga, soal the ethic of power (etika kekuasaan). Meskipun PDRl dibentuk dan didukung sepenuhnya oleh pemimpin Sumatera Barat, hanya sedikit saja tokoh Sumatera Barat yang duduk dalam kepemimpinan puncuk tanpa merasa perlu mengklaim diri mereka sebagai “Putra asli PDRI”.
Lebih penting lagi, betapa Syafruddin dan pemimpin Sumatera Barat dengan kerelaan dan penuh patriotisme bersedia menyerahkan kembali kekuasaan kepada Sukarno-Hatta. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan pada 13 Juli 1949 di Yogyakarta setelah Sukarno-Hatta dibebaskan Belanda tanpa syarat. Wajar, bila semangat kebangsaan yang menjiwai PDRI ini menjadi dasar filosofis ditetapkannya tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Budi Bangsa yang Harus Diselamatkan
Kembali ke kisah perjalanan saya mengunjungi Koto Tinggi. Seorang tokoh masyarakat yang mendampingi kami, Datuk Rajo Imbang, sebagai pewaris sejarah PDRI menyampaikan pesan sejarah yang sama. Dia bertutur kepada kami bahwa dukungan warga Koto Tinggi terhadap para tokoh PDRI amatlah besar.
Walaupun masyarakat dalam kesusahan, namun mereka membantu sepenuhnya kebutuhan dan perjuangan para tokoh PDRI. Warga Koto Tinggi juga berkorban nyawa untuk melindungi tokoh PDRI dari serbuan tentara Belanda. Tercatat, sembilan orang gugur dalam upaya sabotase terhadap konvoi tentara Belanda yang berniat menyerbu Koto Tinggi. Sepulang dari Koto Tinggi, kami sempatkan untuk berziarah ke makam mereka yang terletak tak jauh dari jembatan yang dulu hendak mereka hancurkan.
Semangat berkorban warga Koto Tinggi dahulu telah diwariskan kepada anak cucu mereka hari ini. Sikap ini dibuktikan dengan kerelaan warga Koto Tinggi untuk melepaskan tanah mereka seluas 20 hektar secara suka rela untuk pembangunan Museum PDRI. “Bila orang tua kami dulu mampu berkorban untuk PDRI, maka kami pun bisa melakukannya”, Begitu kira-kira ungkapan mereka.
Di akhir obrolan kami, Datuk Rajo Imbang meninggalkan pesan luhur bagi kami. “Runtuh sandi, rumah binasa. Runtuh budi, bangsa binasa”. Baginya, budi adalah sandi atau tiang utama sebuah bangsa. Bila budi pekerti sebuah bangsa telah runtuh, maka kebinasaan bangsa itu hanyalah menunggu waktu.
Pesan terakhir ini sungguh relevan dengan upaya kita mencari jalan keluar atas permasalahan kontemporer bangsa kita. Betapa pentingnya budi bagi bangsa ini sebagai suluh yang memandu akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Bangsa yang berbudi baik akan selalu dituntun untuk selalu memilih berbuat baik dan menahan diri dari perbuatan buruk yang merusak bangsa.
Kecintaan, kesetiaan, pengorbanan, kepedulian, persatuan, dan keikhlasan adalah budi baik para tokoh PDRI dan pejuang-pejuang lainnya yang mengantarkan bangsa kita mencapai kemerdekaan dan mempertahankannya dari rongrongan penjajah.
Epilog
Hari ini kita melihat rusaknya budi bangsa menimbulkan berbagai masalah. Kasus korupsi bantuan sosial covid-19 yang dilakukan Menteri Sosial Juliari Batubara justru terjadi di tengah kondisi masyarakat yang terpuruk dan belum semuanya mendapatkan bantuan. Dalam kasus ini Juliari diduga menerima suap sebesar Rp. 17 miliar (kompas.com, 6/12/2020). Hingga saat ini korupsi masih menjadi masalah utama bangsa yang mengakar luas hingga ke daerah.
Selain korupsi, politik kekerabatan juga semakin mengakar di berbagai daerah melalui pilkada serentak 2020. Negara Institute mencatat sebanyak 124 calon kepala daerah memiliki hubungan kekerabatan. Lebih banyak dibanding pilkada sebelumnya (jawapos.com, 14/12/2020). Politik kekerabatan ini jelas mereduksi tujuan pilkada dalam merekrut pemimpin yang berkualitas melalui pelembagaan politik secara demokratis.
Bukan hanya korupsi dan politik kekerabatan, polarisasi bangsa yang tajam dan berlarut-larut terjadi akibat politik elektoral seperti pemilu hingga saat ini. Tidak terlihat upaya rekonsiliasi yang serius dari pihak-pihak yang berseberangan untuk bersatu kembali dalam komitmen kebangsaan. Energi bangsa terhamburkan untuk konflik yang tidak bermakna.
Sudah saatnya kita membela eksistensi budi bangsa. Agar hadir kembali Indonesia yang dipenuhi oleh kecintaan, kesetiaan, pengorbanan, kepedulian, persatuan dan keikhlasan warga negaranya. Jangan biarkan bangsa ini runtuh diterjang permusuhan, egoisme dan keserakahan anak bangsa kita sendiri.
*Artikel ini diterbitkan dalam rangka memperingati Hari Bela Negara tanggal 19 Desember 2020
Widyaiswara pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Regional Yogyakarta. Di sela-sela menjalankan tugas yang berkaitan dengan pengembangan SDM aparatur, juga berusaha mengembangkan kemampuan menulis dalam bentuk makalah, opini dan esai.
0 Comments