Membangun Negara Melalui Imajinasi Birokrasi

by | Aug 27, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Reformasi birokrasi di Indonesia telah berlangsung lebih dari dua dekade. Sejumlah capaian memang patut dicatat: penyederhanaan struktur organisasi, layanan terdigitalisasi, dan mekanisme evaluasi kinerja diperketat.

Namun di balik semua itu, banyak yang masih meragukan apakah birokrasi kita benar-benar telah berubah. Mungkin kini lebih cepat. Mungkin lebih tertib.

  • Tapi apakah sudah lebih manusiawi?
  • Apakah lebih membebaskan?
  • Apakah mampu membangun harapan, bukan sekadar menjalankan prosedur?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jarang muncul dalam diskursus resmi. Reformasi birokrasi kerap terjebak pada instrumen teknis: sibuk menyempurnakan sistem, menambah indeks, merapikan struktur, dan membangun aplikasi.

Tapi kita melupakan unsur paling penting namun tak terlihat dalam membangun negara, yaitu imajinasi. Imajinasi tentang seperti apa birokrasi seharusnya bekerja untuk rakyat. Imajinasi tentang wajah negara yang hadir dalam hidup warganya. Imajinasi tentang masa depan yang layak diperjuangkan melalui birokrasi, bukan meskipun ada birokrasi.

Ketika pemerintah menerbitkan Surat Edaran Menteri PANRB tentang Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Masa Transisi, kita disuguhi visi yang ambisius: Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRBN) 2025-2045 dan Roadmap RB 2025-2029.

Di atas kertas, semuanya terencana dengan rapi dan sistematis. Namun pertanyaannya, apakah dokumen-dokumen ini menghidupkan imajinasi? Atau justru membenamkan kita lebih dalam ke dalam rutinitas agenda reformasi?

Birokrasi Sebagai Ruang Imajinatif, Bukan Mesin Formalistik

Dalam banyak narasi reformasi, birokrasi diposisikan sebagai mesin. Mesin pelaksana, mesin penggerak, mesin pelayanan. Kata-kata ini terdengar fungsional, efisien, dan rapi. Tapi justru di situlah masalahnya: birokrasi dibayangkan seperti perangkat keras, bukan ruang sosial.

Padahal, birokrasi bukan sekadar kumpulan prosedur, melainkan sistem relasi antara negara dan warganya.

Membangun negara melalui imajinasi birokrasi
berarti mengubah cara kita membayangkan fungsi birokrasi, bukan sekadar pelayan administratif, melainkan arena tempat negara menafsir ulang kehadirannya.

Ketika seorang warga miskin datang ke kantor desa untuk meminta bantuan, saat itulah negara diuji: apakah hanya sekadar memproses, atau hadir dengan keadilan?

Imajinasi birokrasi bukan tentang formulir yang lebih singkat, tetapi tentang pengalaman warga yang merasa dihargai. Imajinasi birokrasi juga bukan tentang aplikasi canggih, tetapi tentang keberanian aparatur sipil untuk mengambil keputusan berdasarkan nurani dan empati.

Imajinasi inilah yang membedakan birokrasi yang hidup dari birokrasi yang hanya menjalankan protokol.

Dari Indeks Menuju Narasi

Reformasi birokrasi kita hari ini sangat kaya indikator. Kita punya Indeks Reformasi Birokrasi, Indeks Merit, Indeks Pelayanan Publik, Indeks Kualitas Kebijakan, hingga GovTech Maturity Index. Semua ini penting. Namun indikator hanya mengukur apa yang bisa dihitung, bukan apa yang penting bagi masyarakat.

Angka-angka tidak mampu menangkap bagaimana seorang petugas pelayanan dengan sabar menjelaskan ulang prosedur kepada warga lanjut usia. Tidak ada indeks yang bisa mengukur perasaan lega seorang ibu tunggal ketika pengurusan bantuan sosialnya dipercepat karena pertimbangan kemanusiaan.

Lalu, apakah indeks tersebut tidak lagi dibutuhkan? Bukan itu maksudnya. Yang kita butuhkan bukan hanya evaluasi berbasis angka, tetapi narasi berbasis pengalaman.

Reformasi birokrasi yang sejati tumbuh dari kisah-kisah yang menginspirasi: tentang kepala daerah yang menyederhanakan proses karena tahu rasanya jadi warga biasa, tentang ASN muda yang menciptakan sistem yang lebih inklusif karena ia sendiri berasal dari latar belakang termarjinalkan.

Narasi adalah tempat di mana imajinasi tumbuh. Dan tanpa narasi, reformasi kehilangan rohnya.

Digitalisasi Harus Membebaskan, Bukan Membebani

Salah satu fokus besar dalam Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional (GDRBN) adalah transformasi digital. Pemerintah mendorong digitalisasi layanan publik, integrasi sistem, dan penguatan infrastruktur teknologi.

Ini adalah langkah penting, apalagi dalam masyarakat yang makin terkoneksi. Tapi kita juga harus bertanya: apakah digitalisasi ini membebaskan?

Sering kali, digitalisasi justru memperkuat ketimpangan. Masyarakat yang punya gawai, jaringan internet stabil, dan literasi digital akan menikmati kemudahan. Tapi masyarakat yang tinggal jauh dari pusat, yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak mengerti cara mengakses layanan digital justru semakin tertinggal.

Membangun negara melalui imajinasi birokrasi berarti membayangkan digitalisasi yang inklusif, yang mendekatkan yang jauh, yang mempermudah yang rumit, dan yang merangkul yang terpinggirkan. Digitalisasi bukan tujuan, melainkan alat untuk menghadirkan keadilan yang lebih setara.

ASN Sebagai Pendidik dan Pemikir Publik

Jika birokrasi hendak menjadi aktor utama dalam pembangunan masa depan bangsa, maka negara perlu menempatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan semata sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai aktor strategis. ASN harus hadir sebagai jembatan antara negara dan warga, bukan sekadar penyampai instruksi.

Peran ini menuntut ASN menjadi pendidik publik, mampu menjelaskan kebijakan secara masuk akal, membumikan aturan yang kompleks, dan memfasilitasi pemahaman warga dengan pendekatan empatik, terutama bagi kelompok yang paling terdampak kesenjangan layanan.

Lebih jauh, ASN juga perlu menjadi pemikir publik. Artinya, memiliki keberanian menilai relevansi kebijakan yang dijalankan, mengevaluasi dampaknya, dan mengusulkan perbaikan secara kritis dan konstruktif.

ASN yang berpikir tidak sekadar menjalankan perintah, tetapi juga mengajukan pertanyaan etis: apakah kebijakan ini adil, inklusif, dan benar-benar dirasakan manfaatnya?

Negara memiliki tanggung jawab membina ASN
dengan kompetensi reflektif, analitis, serta keberanian moral. ASN tidak cukup hanya efisien secara teknis, tetapi juga harus matang secara etik dan imajinatif dalam merancang solusi atas persoalan publik yang terus berkembang.

Dalam kerangka itulah birokrasi dapat tumbuh sebagai institusi yang bukan hanya melayani, tetapi juga membentuk arah kemajuan negara.

Masa Transisi adalah Panggung Eksperimen

Tahun 2025 adalah tahun yang unik. Disebut sebagai “masa transisi”, masa antara dua grand design reformasi. Banyak yang melihatnya sebagai masa jeda, yaitu waktu untuk bersiap-siap, menunggu regulasi baru, dan menyesuaikan format pelaporan.

Namun, kita bisa memilih untuk melihatnya secara berbeda. Transisi justru adalah panggung untuk bereksperimen. Kita bisa mengubahnya menjadi tahun inovasi terobosan, tahun percobaan kebijakan, tahun keberanian birokrasi untuk bergerak di luar pola biasa.

Kita bisa membentuk zona eksperimentasi tata kelola di daerah-daerah, mendorong ASN untuk merancang solusi baru yang berdampak langsung ke masyarakat, tanpa harus menunggu “izin” dari sistem pusat. Di sinilah imajinasi bisa tumbuh dan perubahan nyata bisa lahir dari bawah.

Birokrasi Regeneratif: Menghidupkan Ulang Daya Hidup Negara

Sebagai puncak dari imajinasi ini, kita bisa membayangkan lahirnya birokrasi regeneratif, yaitu jenis birokrasi yang tidak hanya menyelesaikan masalah hari ini, tetapi menciptakan kapasitas untuk masa depan. Birokrasi yang belajar dari kesalahan, menghidupkan dialog, dan membangun kepercayaan publik.

Birokrasi regeneratif bersifat adaptif, lentur, berdaya hidup panjang, bisa hidup di tengah kompleksitas masyarakat, berubah seiring kebutuhan warga, dan tetap teguh pada nilai-nilai dasar pelayanan publik.

Bukan birokrasi yang hanya sibuk mengejar nilai indeks, tetapi birokrasi yang menciptakan harapan. Bukan birokrasi yang hanya membanggakan aplikasi, tetapi birokrasi yang mengembalikan rasa keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

Epilog: Imajinasi Sebagai Pilar Perubahan

Akhirnya, semua perubahan besar dalam sejarah negara dimulai dari satu hal yang sederhana: membayangkan sesuatu yang belum ada.

Reformasi birokrasi kita harus dibangun di atas landasan ini, bukan hanya sistem dan indikator, tapi keberanian untuk membayangkan birokrasi yang benar-benar melayani, membebaskan, dan memberdayakan.

Membangun negara melalui imajinasi birokrasi bukanlah tugas yang bisa dipikul sendiri oleh presiden bersama kementerian/lembaga tertentu. Melainkan adalah tugas kita semua: warga, birokrat, pembuat kebijakan, dan pemikir publik.

Sebab negara yang besar bukan hanya dibangun oleh birokrasi yang kuat, melainkan dari birokrasi yang hidup, punya jiwa, punya arah, dan punya imajinasi.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja

0
0
Rinaldi ◆ Active Writer

Rinaldi ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah Analis Kebijakan pada Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Kinerja (Pusjar SKMK) Lembaga Administrasi Negara, merupakan lulusan Ilmu Administrasi Negara pada Universitas Malikussaleh.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post