Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang dianugerahi beragam pesona alam dan destinasi wisata unggulan. “Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia”, inilah sepenggal lirik ciptaan R. Suharjo yang seolah-olah menggambarkan potensi alam Indonesia yang tidak ada habisnya.
Memiliki ratusan ribu pulau, bahkan tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tidak akan ada habisnya apabila dituangkan dalam sebuah lirik lagu sekalipun. Keindahan alam Indonesia hanya bisa diterjemahkan melalui ragam panca indera manusia.
Dari desiran ombak yang menghantam karang, visualisasi beragam landscape pegunungan, hutan hujan, pantai, hingga keberadaan savanna di daerah Nusa Tenggara dan sekitarnya. Dengan modal besar tersebut apakah Indonesia kalah apabila dibandingkan dengan negara lain?
Posisi Indonesia dalam Persaingan Destinasi Wisata Regional
Merupakan sebuah pekerjaan rumah yang sangat besar apabila melihat modal alam yang diberikan oleh Sang Kuasa kepada bangsa ini. Mengapa kekayaan alam sebagai potensi destinasi wisata, ternyata belum mampu memberikan kontribusi maksimal bagi Indonesia. Tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab, tetapi juga warganya.
Saat sebelum pandemi menerpa secara global, tren wisata di Indonesia telah berada pada level yang baik. Hampir bisa menyamai kunjungan wisatawan yang berhasil didatangkan ke negara-negara tetangga.
Apabila membandingkan data kunjungan wisatawan mancanegara, tentu negara kita akan kalah. Tidak usah jauh-jauh, dibandingkan dengan negeri gajah putih saja, kita sudah kalah jika diukur dari kunjungan wisatawan mancanegara.
Dalam sebuah publikasi yang dirilis oleh ASEAN Secretary tahun 2019, di mana saat itu Pandemi Covid-19 belum menyerang, dari total 138 juta wisatawan yang mengunjungi ASEAN, Thailand memuncaki urutan pertama dalam hal kunjungan wisatawan mancanegara dengan total sebanyak 38.277.300 orang.
Malaysia di urutan kedua dengan 25.832.354 kunjungan wisatawan mancanegara, dan Singapura di urutan ketiga dengan 18.508.302 kunjungan. Sedangkan Indonesia di peringkat keempat dengan 15.810.305.
Melihat banyaknya wisatawan yang memilih untuk berpelesir ke kawasan ASEAN, tentu merupakan sebuah peluang. Namun tantangannya adalah, bagaimana mengalihkan tujuan supaya para wisatawan tersebut juga melirik destinasi wisata di Indonesia.
Data tahun 2019 merupakan data terbaik yang bisa digunakan untuk membandingkan kinerja sektor pariwisata, karena pandemi covid-19 belum menyerang. Sedangkan data setelah pandemi covid menyerang di tahun 2020 tidak memberikan gambaran kinerja maksimal sektor pariwisata.
Data-data tahun 2019 sudah seharusnya menjadi target kunjungan wisatawan di tahun-tahun setelah Pandemi Covid-19. Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara hingga belasan juta orang tentu akan menghasilkan devisa yang sangat banyak dan bermuara pada kebangkitan sektor ekonomi hingga tingkat daerah.
Multiplier Effect dalam Perekonomian
Pariwisata merupakan multiplier effect bagi pelaku ekonomi di sektor lain, melalui mekanisme tarikan dan dorongan terhadap sektor ekonomi lain yang membutuhkan pariwisata. Di antaranya hotel, restoran, moda transportasi, industri kreatif, hingga sektor pertanian.
Melalui multiplier effect-nya, pariwisata dapat dan mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Salah satu contoh daerah yang mendapatkan manfaat multiplier effect dari sektor pariwisata adalah Kabupaten Badung.
Tercatat sebagai magnet utama pariwisata di Bali, Kabupaten Badung menjelma menjadi salah satu kabupaten yang mengahasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi di Indonesia. Pendapatan tersebut diperoleh dari sektor pariwisata dan pendukungnya.
Selain itu, Kabupten Badung merupakan salah satu dari sedikit kabupaten/kota yang berpredikat “sangat mandiri” dalam pengelolaan APBD-nya. Berdasarkan hasil reviu Kemandirian Fiskal Daerah tahun 2019 yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kabupaten Badung berada pada level “sangat mandiri” karena mampu memanfaatkan pendapatan daerahnya sebagai belanja daerah dan tidak lagi bergantung pada dana transfer pemerintah pusat.
Melihat kesuksesan Kabupaten Badung dalam mengelola daerahnya hingga berada pada level sangat mandiri, menyiratkan bahwa otonomi daerah telah sukses diterapkan di Kabupaten Badung. Tentu hal tersebut tidak terlepas dari sektor pariwisata yang selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung perekonomian Kabupaten Badung.
Ekosistem pendukung pariwisata telah tumbuh mengiringi perkembangan pesat Kabupaten Badung. Tidak hanya sampai di situ, daerah-daerah di Provinsi Bali pun menerima dampak dari perkembangan pesat Kabupaten Badung. Kini, wisatawan tidak hanya berfokus di Kabupaten Badung, tetapi juga merambah hingga ke daerah sekitaran Kabupaten Badung.
Pandemi Covid-19: Momok bagi Pariwisata
Tidak bisa dipungkiri bahwa Pandemi Covid-19 merupakan momok menakutkan bagi sektor pariwisata. Pembatasan sosial hingga pentupan perbatasan antarnegara menjadi aktor utama lesunya sektor pariwisata.
Perlu beragam solusi untuk mengembalikan tren pariwisata yang sempat hancur akibat Covid-19. Pemerintah sebagai regulatory making memegang peranan penting untuk dapat menyeimbangkan pemulihan kesehatan nasional dan juga pemulihan sektor pariwisata.
Kajian yang dilaksanakan oleh Universitas Indonesia menyebutkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia masih tertinggal apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, baik dari segi lingkungan, kebijakan, infrastruktur, maupun dampak ekonominya.
Tentu pemerintah di sini memegang peranan penting dalam meningkatkan efektivitas pariwisata melalui kebijakan dan infrastruktur pendukung pariwisata. Pariwisata pasca Covid-19 dihadapkan pada kebiasaan baru yang harus cepat diadaptasi oleh pemerintah dalam merumuskan kebijakan pro-pariwisata.
Tidak lagi berbicara mengenai pengembangan pariwisata secara fisik, tetapi lebih kepada jaminan rasa aman untuk mengunjungi destinasi wisata melalui pengetatan protokol kesehatan yang menggambarkan CHS (cleanliness, health, and safety) mulai dr kedatangan di bandara hingga ke destinasi wisata.
Penetrasi vaksinasi Covid-19 yang semakin banyak dan meresap hingga seluruh lapisan masyarakat harus berimbang dengan pembukaan destinasi-destinasi wisata. Konsep wisata alam di Indonesia yang sangat besar bisa menjadi daya tarik tersendiri, karena menurut beberapa literatur, wisata alam di ruang terbuka lebih “aman” dari ancaman Covid-19 dibanding dengan wisata dalam ruangan.
Konsep promosi pariwisata sudah seharusnya mengedepankan nilai-nilai kesehatan di dalamnya, seperti mempertanyakan: “Sudah berapa persen warga Indonesia yang sudah divaksin? Apakah Covid-19 sudah berkurang secara drastis di Indonesia?”
Hal-hal seperti ini yang seringkali luput dalam proses promosi tersebut. Apabila berbicara mengenai psikologis seseorang, di mana selama pandemi covid-19 menyerang, psikis seseorang secara tidak langsung telah terdoktrin tentang bagaimana tingkat kesehatan di suatu wilayah.
Dengan demikian, penting untuk menanamkan kepada audience bahwa Indonesia sudah aman dari covid-19. Dalam buku berjudul economic theory and underdevelop regions karya Profesor Lewis, disebutkan bahwa pemerintah berperan dalam mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial, dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi.
Epilog: Kebijakan Terstruktur
Pemerintah memiliki peranan penting sebagai penanggung jawab berjalannya roda pemulihan ekonomi melalui sektor pariwisata. Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan harus memiliki manfaat terhadap pengguna dan pelaku pariwisata.
Selain itu, perencanaan yang matang melalui penyusunan timeline pemulihan pariwisata juga harus segera ditetapkan. Penjelasannya sebagai berikut:
- Secara garis besar, inti dari penyusunan timeline tersebut harus mengandung dua fase inti, yaitu mempersiapkan destinasi wisata unggulan, dan yang kedua fokus kepada membangun kepercayaan dan minat wisatawan agar mau berwisata lagi melalui promosi destinasi wisata dengan menerapkan protokol kesehatan secara maksimal.
- Langkah-langkah tersebut tidak lain adalah untuk menghidupkan kembali reputasi dan stabilitas Indonesia dalam pandangan global. Selain itu, kebijakan strategis seperti resolusi untuk pengurangan biaya visa, mengurangi biaya pendaratan bandara, hingga mengurangi tarif pajak untuk kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata. Hal ini merupakan bentuk booster bagi ekosistem pariwisata.
- Selanjutnya dalam mendukung promosi pariwisata Indonesia secara global, maka tidak akan terlepas dari peran pemerintah daerah yang kini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kebijakan yang mengikat di sektor nasional sudah seharusnya diejewantahkan dengan baik oleh pemerintah daerah.
Kemampuan tiap-tiap daerah dalam mempromosikan sektor pariwisatanya sangat berbeda-beda, bergantung pada kondisi destinasi wisatanya masing-masing dan dukungan aggaran daerah. Selain itu, faktor komitmen dari kepala daerah juga memegang peranan penting.
Kita boleh mengambil permisalan yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi, yang telah berhasil membangun sektor pariwisatanya di 10 tahun kepemimpinan Azwar Anas. Bahkan, sektor pariwisata yang dibangun Pemkab Banyuwangi sangat memberdayakan masyarakat lokal dan bervisi lingkungan.
Upaya pemulihan pariwisata perlu diperkuat oleh berbagai pihak, agar dapat berjalan dengan baik. Pariwisata pasca covid-19 menekankan pada aspek kesehatan. Selanjutnya, proses screening Covid-19 di bandara kedatangan wisatawan mancanegara khususnya harus memiliki alur proses yang ketat.
Dengan demikian, akan terjadi keseimbangan antara pemulihan kesehatan nasional dan peningkatan ekonomi pariwisata.
Penulis adalah PNS pada Lembaga Administrasi Negara - Puslatbang KDOD
0 Comments