Semua kalangan mengamini bahwa kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam kondisi yang baik. Hal tersebut disebabkan oleh wabah Covid-19 yang memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan dengan membatasi mobilitas dan aktivitas masyarakat di ruang-ruang publik, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Dalam konteks ekonomi makro, kita dapat menghitung kondisi perekonomian nasional salah satunya dengan pendekatan pengeluaran dengan mencari hubungan antara permintaan konsumsi rumah tangga (C), permintaan sektor bisnis untuk investasi (I), pengeluaran konsumsi pemerintah untuk barang dan jasa (G), serta sektor luar negeri berupa ekspor dan impor (X-M).
Permintaan-permintaan ini kemudian membentuk Aggregate Demand yang menjadi salah satu cara untuk mengukur Pendapatan Nasional (Y). Dengan kata lain, dalam membaca kondisi perekonomian nasional kita dapat melihat sektor tersebut satu per satu dengan indikator-indikatornya masing-masing.
Secara umum, saat ini kita melihat dari data yang dirilis oleh masing-masing Kementerian/Lembaga Negara bahwa Konsumsi Rumah Tangga kita turun dan Belanja Pemerintah belum optimal. Di sisi lain, Neraca Perdagangan kita mengalami surplus dan pengeluaran Investasi kita meningkat.
Konsumsi Rumah Tangga dan Pilihan Terbatas Pemerintah
Kebijakan PSBB, secara langsung maupun tidak langsung, berdampak pada turunnya tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga (C) pada Triwulan I 2020 di angka 2,84%, hanya separuh jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada tahun 2019 yang mencapai 4,96% (year on year).
Pemberlakuan PSBB mendorong masyarakat lebih berhati-hati dalam mengatur keuangan, salah satunya dengan mengubah pola konsumsi ke arah barang-barang kebutuhan pokok, yang meliputi makanan dan minuman serta produk kesehatan.
Pola konsumsi masyarakat tersebut dapat dikonfirmasi dengan data dari Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa indeks penjualan ritel mengalami penurunan di semua sektor, dengan penurunan penjualan ritel sampai April 2020 (year on year) hingga 11,8 persen, pada kota-kota besar seperti Jakarta turun 38,1 persen, Medan turun 16,0 persen, dan Surabaya turun 10,0 persen.
Disebabkan turunnya angka konsumsi ritel tersebut, kegiatan produksi dan manufacturing di seluruh sektor perekonomian pun ikut anjlok dan bahkan beberapa di antaranya berhenti. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan nilai Produk Domestik Burto (PDB) produksi pada periode Triwulan I 2020 yang hanya berada di angka 2,97% (year on year).
Dalam kondisi normal tanpa pandemi, di saat situasi perekonomian tengah lesu, pemerintah memiliki pilihan kebijakan untuk dapat mempengaruhi dan mengungkit perekonomian nasional.
Salah satu contohnya adalah menggeser hari libur yang lebih dekat ke weekend sehingga tercipta rangkaian libur panjang, sehingga konsumsi rumah tangga akan meningkat sebab digunakan untuk berwisata maupun biaya-biaya lainnya.
Namun, situasi pandemi Covid-19 sebagaimana kita ketahui bersama memaksa pemerintah menerbitkan kebijakan PSBB dalam rangka mengurangi penyebaran virus dengan risiko mempersempit ruang pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengambil pilihan kebijakan alternatif untuk mempengaruhi konsumsi rumah tangga.
Di antaranya dengan cara pemberian insentif pajak, pembebasan tarif, dan penyesuaian aturan kepada produsen dengan harapan harga-harga barang dan jasa masih dapat dijangkau daya beli masyarakat. Sehingga, pelambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dapat ditekan dan dipertahankan di level risiko terendah dalam pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Jebakan Angka Pertumbuhan Investasi
Tingkat pertumbuhan PDB yang rendah dapat dibaca oleh para investor sebagai salah satu indikator ketidakpastian situasi perekonomian, baik di pasar modal maupun pasar uang, sehingga menimbulkan volatilitas yang tinggi di sektor keuangan. Hal tersebut merupakan isyarat negatif terhadap aliran pengeluaran untuk investasi (I) nasional.
Namun demikian, hal yang berbeda ditunjukkan oleh laporan yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), bahwa tingkat Realisasi Investasi di Semester I 2020 menunjukkan peningkatan sebesar 1,8% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu. Investasi ini dalam bentuk PMDN (Rp. 206 T) dan PMA (Rp. 300 T), dan total Realisasi Investasi sebesar Rp. 506 T.
Pertumbuhan tersebut dapat diartikan sebagai stabilitas tingkat investasi di Indonesia, dan di sisi lain dapat juga dimaknai sebagai anomali atau kejadian tidak biasa. Sebab, kondisi perekonomian di tahun 2019 dan 2020 sangat berbeda mengacu kepada kejadian pandemi Covid-19.
Fenomena anomali tersebut dapat menimbulkan tanda tanya apabila kita melihat ke dalam Berita Resmi Statistik Agustus 2020 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa indikator Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sebagai salah satu pembentuk PDB pengeluaran justru mengalami penurunan sebesar -8,61% (year on year).
PMTB secara sederhana dapat disebut sebagai indikator pengeluaran dalam pembelian barang-barang modal seperti bangunan, mesin, peralatan, dan kendaraan niaga. Sehingga jika nilai pertumbuhan PMTB mengalami penurunan, maka hal tersebut seharusnya direfleksikan oleh nilai Realisasi Investasi yang ikut turun.
Salah satu data pembanding lain yang dapat digunakan untuk menguji data Realisasi Investasi adalah data penyaluran Kredit Modal Kerja Perbankan yang dirilis oleh Bank Indonesia.
Pada Semester I 2020, posisi Kredit Modal Kerja dari Bank Persero, Bank Pemerintah Daerah, Bank Swasta Nasional, Bank Asing dan Campuran, dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mengalami penurunan sebesar -0,98% (year on year), dengan pertumbuhan positif Kredit Modal Kerja yang hanya berada di Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pemerintah Daerah di sektor Perdagangan dan Jasa Pelayanan Pasca-Penjualan Kendaraan Bermotor.
Barangkali, penjelasan atas fenomena tersebut bisa ditemukan dalam definisi Realisasi Investasi oleh BKPM yang akan lebih tepat disebut sebagai Realisasi Perizinan Investasi, mengingat tugas dan fungsi BKPM sebagai pintu utama dan satu-satunya perizinan investasi di Indonesia.
Sehingga, walaupun nilai Realisasi Investasi tersebut belum dicerminkan oleh PMTB dan Kredit Modal Kerja Perbankan, namun dapat diasumsikan sebagai sebuah sinyal baik dari para investor dalam memandang prospek masa depan perekonomian Indonesia.
Belanja Pemerintah dalam Problem Pertumbuhan Ekonomi
Realisasi belanja pemerintah secara umum telah mencapai Rp. 1.068,9 T (39%) per bulan Juni 2020 dari total anggaran sebesar Rp. 2.739,2 T sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. Belanja ini nilainya lebih tinggi 3,3% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019.
Realisasi belanja pemerintah tersebut terbagi menjadi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp. 668,5 T dan Transfer ke Daerah & Dana Desa sebesar Rp. 400,4 T. Di antara realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut, variabel Belanja Kementerian/Lembaga dalam pengadaan Barang dan Jasa mempengaruhi tingkat konsumsi pemerintah yang turun sebesar -6,9% (year on year).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuanga, Belanja Kementerian/Lembaga per bulan Juni 2020 telah terserap sebesar Rp. 350,4 T atau 41,9% dari total anggaran. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa penyerapan Belanja Kementerian/Lembaga tersebut didominasi oleh belanja Bantuan Sosial sebesar Rp. 99,4 triliun.
Peningkatan realisasi Bantuan Sosial tersebut dipengaruhi oleh kebijakan penyaluran kepada masyarakat yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial dalam rangka penanganan dampak pandemi dalam bentuk: (a) program Kartu Sembako; dan (b) bantuan paket sembako Jabodetabek dan bantuan sosial tunai non-Jabodetabek yang disalurkan sebagai Jaring Pengaman Sosial Covid-19.
Selain itu, belanja Bantuan Sosial tersebut dipengaruhi kenaikan PBI JKN 2020 karena adanya kebijakan penyesuaian iuran PBI JKN yang semula Rp. 23.000 menjadi Rp. 42.000, serta kebijakan pencairan di muka bantuan iuran PBI JKN untuk meningkatakan likuiditas BPJS Kesehatan dalam rangka percepatan pembayaran klaim fasilitas kesehatan.
Sedangkan, Belanja Kementerian/Lembaga dalam bentuk Belanja Modal dan Belanja Barang per Juni 2020 justru menunjukkan tren pertumbuhan yang kurang menjanjikan dalam konteks pengaruh belanja pemerintah terhadap pendapatan nasional berdasarkan pengeluaran.
Belanja Modal dan Belanja Barang yang telah terserap dalam periode tersebut baru sebesar Rp. 37,7 triliun (27,4%) dan Rp. 99,2 triliun (36,5%). Khusus untuk Belanja Barang, capaian serapan tersebut lebih rendah 16,8% dibandingan periode yang sama di tahun 2019.
Presiden sebagai Kepala Pemerintah merespons situasi perekonomian di Semester I 2020 tersebut dengan menyelenggarakan 4 (empat) kali Rapat Terbatas (Ratas) berkaitan dengan realisasi belanja pemerintah.
Diawali dengan Ratas pada tanggal 7 dan 13 Juli 2020, Presiden memberikan arahan kepada beberapa Kementerian/Lembaga yang memiliki anggaran Belanja Modal dan Belanja Barang terbesar agar segera melaksanakan penyerapan anggaran untuk peningkatan konsumsi pemerintah yang pada Semester I 2020 berkontribusi sebesar 7,58% dalam komponen penyusun PDB berdasar pengeluaran.
Secara khusus, Presiden memberikan arahan kembali pada Ratas tanggal 23 Juli 2020 kepada beberapa Kementerian/Lembaga agar mengutamakan produk rakyat, mempertimbangkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri dalam produk-produk manufaktur, dan mengawasi lebih dalam transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa.
Bagi Kementerian/Lembaga yang mengadakan barang dan jasa impor seperti Kementerian Pertahanan, Presiden memberikan instruksi agar dapat melakukan pembayaran mundur melalui leasing dan mendahulukan produk dari Badan Usaha Milik Negara seperti PAL, DI, dan Pindad.
Presiden juga memberikan arahan lebih lanjut kepada para gubernur pada kesempatan Ratas pada tanggal 15 Juli 2020 agar mempercepat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Di samping memberikan arahan kepada gubernur, Presiden memberikan arahan lebih lanjut kepada jajaran Kementerian/Lembaga berkaitan dengan terobosan percepatan teknis pengadaan barang dan jasa dan percepatan penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada pemerintah daerah.
Dalam konteks pilihan terbatas untuk menghadapi kondisi perekonomian pasca Semester I 2020, Presiden telah mendorong semaksimal mungkin peran belanja pemerintah dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian, baik dalam bentuk Belanja Kementerian/Lembaga maupun Belanja Non Kementerian/Lembaga dalam bentuk Belanja Modal dan Belanja Barang.
Waspada Neraca Perdagangan
Secara umum neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari – Juni 2020 berada dalam kondisi surplus sebesar US$ 5,5 miliar, dengan total ekspor sebesar US$ 76,4 miliar. Sedangkan pada periode yang sama pada tahun 2019, kondisi neraca perdagangan defisit US$ 1,87 miliar.
Walaupun demikian, volume perdagangan di tahun ini turun apabila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu sebesar US$ 95 miliar. Hal tersebut perlu menjadi perhatian sebab volume perdagangan yang tercatat pada tahun 2019 pun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2018.
Kondisi surplus demikian sebenarnya dapat terjadi juga disebabkan oleh turunnya nilai impor dalam Semester I-2020, baik dalam bentuk barang maupun jasa, dengan nilai rata-rata penurunan sebesar 9,57% (year on year).
Sehingga, tren positif nilai net ekspor nasional tersebut tidak diperoleh dari peningkatan kinerja ekspor, namun dari kontraksi nilai impor disebabkan turunnya permintaan barang dan jasa di dalam negeri akibat kebijakan PSBB yang terpaksa diambil sebagai respons pandemi.
Namun demikian, nilai net ekspor yang menunjukkan tren positif ini dapat menjadi salah satu variabel penting secara psikologis dalam mempertahankan stabilitas tingkat produksi nasional.
Apalagi, diketahui bahwa sektor non-migas adalah penyumbang utama nilai ekspor dengan catatan surplus sebesar US$ 9,05 miliar, dengan sektor pengolahan mineral dan sektor pengolahan lemak dan minyak hewan/nabati sebagai penunjang utama.
Beberapa Catatan atas Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional
Diseminasi informasi yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya tidak lagi diintrodusir dengan perbandingan year on year, dengan an sich membangkitkan optimisme seluruh sektor dalam pemulihan ekonomi nasional.
Sebab, informasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan perbandingan year on year pasti memiliki nilai negatif, mengingat situasi dan kondisi di tahun 2019 dan 2020 sangat berbeda baik dalam skala lokal maupun global.
Sedangkan apabila diseminasi mengenai kinerja pertumbuhan ekonomi dapat diintrodusir dengan pendekatan kuartal, maka optimisme dapat dibangun secara bertahap karena pada Semester II-2020, pelaksanaan penyerapan anggaran pemerintah yang telah diubah melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 telah dimulai oleh Kementerian/Lembaga dalam bentuk Belanja Modal dan Belanja Barang yang diharapkan dapat mendongkrak PDB nasional.
Pada Semester II-2020 pula, bola perekonomian akan lebih banyak berada di sektor pelaku usaha, terutama industri besar dan korporat yang telah mendapatkan insentif di sektor perpajakan dan restrukturisasi kredit, serta mendapatkan stimulus berupa akses modal untuk me-restart proses produksi.
Harapannya, bersamaan dengan usaha pemerintah mengendalikan pandemi, program pemulihan ekonomi nasional dapat berjalan dengan baik dengan melibatkan seluruh stakeholders yang menyambut secara positif setiap kebijakan pemerintah demi masa depan bangsa dan negara.
Artikel ini pernah ditayangkan dalam laman setkab.go.id
Analis Perekonomian Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Pernah bekerja sebagai konsultan di bidang kajian ekonomi daerah, penyediaan infrastruktur, dan kependudukan.
Menarik analisisnya mas. Membaca data perekonomian memang tidak sesederhana melihat statistik kasus Covid-19.