Memasak SPIP hingga Matang, Enak, dan Nikmat

by | Aug 28, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments


28 Agustus 2025 —hari ini, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) berulang tahun ke-17. Ibarat manusia, ini adalah usia sweet seventeen. Masa ketika kematangan mulai diharapkan, tapi energi muda masih penuh untuk bergerak.

Seharusnya, di usia ini SPIP sudah menunjukkan manfaat yang nyata,
menjadi bagian alami dari denyut nadi organisasi. Namun kenyataannya, rasa yang diharapkan itu belum sepenuhnya ada. Banyak instansi sibuk memoles nilai agar terlihat mengkilap, padahal keseharian organisasi tetap berjalan tanpa kendali yang benar-benar efektif.

Penyebabnya sederhana namun pelik: fokus kita melenceng. SPIP yang mestinya menjadi alat untuk memastikan tujuan organisasi tercapai, malah diperlakukan sebagai tujuan itu sendiri.

Level maturitas yang awalnya dimaksudkan sebagai barometer kematangan pengendalian, kini berubah menjadi trofi yang diburu demi gengsi.

Kondisi ini mengingatkan pada kisah “sabut kelapa” yang pernah saya tulis. Kita sibuk mengukur banyaknya sabut yang notabene hasil sampingan dari pengolahan kelapa, sementara santan yang menjadi inti tujuan produksi, luput dari perhatian.

Sekarang pertanyaannya:

  1. Apa sih yang sebenarnya harus kita kendalikan?
  2. Bagaimana cara kita tahu itu barang sudah terkendali dengan baik?
  3. Apa korelasi antara pengendalian yang kita bangun dengan pencapaian tujuan?

Jawaban sederhananya: karena ada risiko selama berproses untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, kita harus tahu mau apa, dengan cara apa dan titik kritisnya di mana, baru bicara pengendalian.

Artinya, setiap tujuan harus dikaitkan dengan cara mencapainya serta ukuran keberhasilannya, agar pengendalian tidak sekadar menjadi formalitas. Itulah mengapa pengukuran terintegrasi menjadi kunci—indikator yang mengikuti alur sejak bahan baku masuk, proses berlangsung, hasil keluar, sampai dampak yang benar-benar dirasakan.

Kalau mengacu pada definisi resminya,

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Definisi ini sudah sangat jelas, bahwa SPIP adalah urusan semua orang di organisasi, dan tujuannya adalah memastikan sasaran tercapai dengan cara yang sehat dan patuh aturan.

Karena sifatnya adalah proses yang integral, pengendalian tidak boleh hanya muncul di ujung sebagai formalitas. Pengendalian harus mengalir di setiap tahapan:

  • mengawal input agar tepat mutu dan tepat waktu,
  • memastikan proses berlangsung efektif dan efisien,
  • menjamin output sesuai standar, sekaligus memastikan kepatuhan terhadap hukum, menjaga keandalan laporan keuangan, dan mengamankan aset negara.

Masih terasa abstrak? Mari kita turun ke dapur.

SPIP Ala Rendang Juara

Bicara soal rendang, bahan utamanya adalah kelapa, rempah, dan daging berkualitas. Inilah input awal proses. Kendali di tahap ini berarti memastikan jumlahnya cukup, kualitasnya terjaga, dan biayanya sesuai anggaran.

Daging yang alot, kelapa yang terlalu tua, atau rempah yang melempem akan mempengaruhi rasa akhir; begitu pula pembelian yang terlambat atau terlalu mahal akan mengganggu keseluruhan proses.

Setelah bahan siap, kita masuk ke proses: mengupas kelapa, memeras santannya, menyiapkan rempah, lalu memasak bersama daging dengan teknik yang tepat hingga menjadi rendang.

Kendali di tahap ini berarti memastikan pekerjaan dilakukan dengan efisien—waktu terpakai optimal, tenaga kerja proporsional, bahan bakar tidak boros—tanpa mengorbankan mutu.

Proses yang berantakan akan membuat santan pecah, bumbu gosong, atau daging keras, sama seperti proses birokrasi yang tak terkendali bisa membuat output tak tercapai, alih-alih tujuan besarnya.

Hasil dari proses itulah output: rendang matang dengan rasa kaya rempah, tekstur daging empuk, dan kuah yang meresap sempurna. Dari output ini lahir outcome berupa pelanggan yang kenyang, puas, dan memberikan ulasan positif.

Pada akhirnya, jika pelanggan senang dan kembali lagi, terciptalah impact: retensi pelanggan yang tinggi dan margin laba yang sehat.

Inilah alur SPIP terintegrasi dalam bahasa dapur—setiap tahap terukur, setiap kendali bermakna, dan hasil akhirnya benar-benar memberi manfaat bagi tujuan besar yang ingin kita capai.

Artinya apa? Jika kita luput mengendalikan input, bahan baku bisa datang terlambat, berkualitas rendah, atau harganya terlampau mahal. Bila kita abai mengawal proses, meskipun bahan awalnya sudah prima, hasil akhirnya bisa melenceng jauh dari cita rasa, sekaligus menguras sumber daya.

Lalu, jika output tak diperiksa dengan saksama, pelanggan—baik konsumen maupun penerima layanan—akan menerima produk yang tidak sesuai ekspektasi, memudarkan kepercayaan dan minat mereka.

Terakhir, ketika outcome serta impact dibiarkan tanpa pengukuran, organisasi berjalan seperti memasak dalam gelap: kita tidak akan tahu apakah manfaat yang dihasilkan benar-benar dirasakan oleh masyarakat atau hanya sekadar menghasilkan “sabut” yang banyak tapi tak berguna.

Lebih berbahaya lagi, jika kelemahan pengendalian di setiap tahap ini justru ditutup dengan klaim keberhasilan yang berlebihan. Dalam istilah sederhananya, kita bisa saja bilang “rendangnya juara” padahal santannya encer, dagingnya alot, dan pelanggan tak pernah kembali.

Di dunia birokrasi, over klaim ini sering terjadi ketika angka atau indeks sebagai indikator tunggal dijadikan bukti keberhasilan, sementara rangkaian input, proses, output, hingga dampak jangka panjangnya tidak pernah diperiksa secara utuh.

Untuk mencegahnya, pengendalian harus mencakup seluruh titik pada rantai IPOOI—Input, Proses, Output, Outcome, dan Impact—dengan indikator yang jelas, terukur, dan saling terhubung.

Indikator tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus terkait langsung dengan perencanaan kinerja dan manajemen risiko. Dengan begitu, pengendalian menjadi mekanisme yang hidup, bukan sekadar rutinitas audit atau checklist tahunan, dan benar-benar mengawal organisasi menuju tujuannya.

Di sinilah peran teknologi informasi menjadi krusial. Sistem terpusat dengan dashboard real-time memungkinkan pimpinan memantau perkembangan indikator dari hulu ke hilir:

  • mulai dari jumlah dan kualitas bahan baku (input),
  • kelancaran alur kerja dan pemakaian sumber daya (proses),
  • ketepatan waktu dan biaya produksi (proses),
  • kualitas hasil (output),
  • tingkat kepuasan penerima manfaat (outcome),
  • hingga dampak jangka panjang (impact) yaitu keberlangsungan rumah makan.

Dengan indikator proses yang terukur—misalnya rasio keterlambatan, tingkat kesalahan, atau waktu siklus—potensi hambatan dapat terdeteksi sejak dini. Semua informasi ini tersedia kapan saja, sehingga keputusan bisa diambil cepat dan berbasis data, bukan sekadar asumsi atau laporan yang dipoles.

Organisasi anda tidak punya data indikator? Bahkan tidak tahu indikator apa saja yang harus ada?

Mohon maaf, jangan mengaku pengendalian sudah matang, apalagi enak dan nikmat.

Menikmati SPIP dalam Pelayanan Publik

Ketika pemerintah menjalankan fungsi utamanya sebagai penyedia layanan publik, alurnya tak ubahnya seperti memasak rendang.

Pertama, indikator input. Dalam pelayanan publik, indikator input seperti bahan utama rendang: daging, santan, dan bumbu. Daging melambangkan sumber daya manusia serta anggaran.

Kualitas input di sini terlihat dari kecukupan jumlah petugas dibandingkan dengan beban kerja, kompetensi yang dibuktikan melalui pelatihan atau sertifikasi, serta proporsi anggaran yang sesuai dengan standar pelayanan.

Santan menggambarkan data kebutuhan masyarakat. Indikator inputnya dapat diukur dari kelengkapan data, frekuensi pembaruan, dan kesesuaiannya dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Sementara itu, bumbu melambangkan nilai pelayanan prima: keramahan, empati, inovasi, dan integritas. Kesiapannya bisa dinilai dari ketersediaan standar pelayanan, program pelatihan etika, serta tingkat internalisasi nilai-nilai tersebut dalam prosedur kerja sehari-hari.

Kedua, indikator proses. Setelah bahan tersedia, tahap memasak dimulai: memeras santan, menyiapkan bumbu, memasak daging dengan api yang terjaga, sambil terus mengaduk agar santan tidak pecah.

Proses ini adalah alur pelayanan: bagaimana petugas berinteraksi, bagaimana mekanisme kerja dijalankan, serta bagaimana keluhan ditangani. Indikator proses mencatat apakah pelayanan berlangsung tepat waktu, efisien, konsisten, dan sesuai standar mutu.

Ketiga, indikator output. Hasil dari proses adalah rendang matang: pelayanan yang selesai sesuai standar prosedur. Di sini indikator output bisa berupa jumlah layanan yang diberikan, kecepatan waktu penyelesaian, hingga kepatuhan pada SOP.

Namun, rendang yang sekadar matang belum tentu enak—output hanya satu tahap, belum keseluruhan cerita.

Keempat, indikator outcome. Dari rendang yang matang lahirlah kepuasan pelanggan: masyarakat menerima layanan yang sesuai harapan, merasa dihargai, dan mendapatkan solusi nyata atas kebutuhannya.

Outcome mengukur apakah layanan publik memberikan manfaat langsung—bukan sekadar selesai di atas kertas, tetapi dirasakan oleh pengguna.

Kelima, indikator impact. Jika pelanggan puas dan percaya, mereka akan kembali lagi, memberi testimoni positif, bahkan mendukung keberlangsungan layanan. Dalam pelayanan publik, impact berarti meningkatnya kepercayaan masyarakat, citra pemerintah yang membaik, serta manfaat jangka panjang bagi kesejahteraan.

Inilah tujuan tertinggi: bukan hanya sent (centang satu) dan delivered (centang biru) tapi kepercayaan dan kesejahteraan publik yang berkelanjutan sebagai umpan balik positif.

Penutup

Tujuh belas tahun adalah usia yang cukup matang. Untuk Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008, tahun ini seharusnya menjadi momen pembuktian.

Namun, jika SPIP masih sebatas penilaian kematangan, maka usia hanyalah angka. Sweet seventeen bisa menjadi titik balik.

Dengan mengadopsi kerangka IPOOI secara penuh, mengintegrasikan indikator di setiap tahap, memanfaatkan teknologi informasi untuk memantau data secara real-time, dan mengubah pola pikir menuju orientasi hasil, SPIP dapat kembali pada esensi awalnya: proses yang integral untuk mencapai tujuan organisasi.

Seperti halnya rendang juara—dimulai dari bahan berkualitas, dimasak dengan proses tepat, dan menghasilkan rasa yang membuat pelanggan kembali—pengendalian organisasi yang efektif adalah seni memadukan semua elemen menjadi harmoni.

Dalam dapur organisasi, pimpinan adalah koki: memastikan pengendalian matang, enak dan dapat dinikmati. Di titik inilah, SPIP akan menjadi kekuatan yang menggerakkan organisasi yang bukan sekedar hadir, namun juga bermanfaat.

3
0
Ditya Permana ◆ Professional Writer

Ditya Permana ◆ Professional Writer

Author

ASN provokatif jebolan Manajemen Kebijakan Publik Monash University yang sedang belajar untuk menulis lagi

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post