“Ya Allah, saya ikhlas jika saya gagal dalam seleksi beasiswa ini, tapi saya mohon sembuhkan Ayah saya”
Kalimat itu adalah sepenggal bagian dari doa yang saya panjatkan kepada Tuhan YME, sang Pemilik Semesta, ketika menunggu ayah saya yang sedang dalam kondisi kritis karena penyakit jantungnya.
Waktu itu, saya sedang menunggu panggilan wawancara sebagai rangkaian proses seleksi beasiswa untuk program S2 yang saya ikuti. Seingat saya, saya terus berdoa dengan permintaan yang sama, berharap kesembuhan bagi ayah.
Ketika itu saya terus memupuk yakin, bahwa ayah saya akan diberikan kesembuhan, dan saya siap mengubur mimpi saya berkuliah di luar negeri. Ayah saya lebih penting, karena kepadanya saya selalu bisa menjadi Betrika yang manja, yang selalu dijaga, meski sudah berusia tak lagi remaja.
Hari berganti, sampai akhirnya Sang Khalik memutuskan untuk memberikan cerita yang berbeda dari asa. Ayah saya pergi untuk selamanya. Kala itu, tentu batin dan raga ini terpukul tak terhingga, rasa sedih menyayat hati.
Namun, jauh di dalam hati, rasa amarah lebih banyak mendominasi. Saya tidak terima ayah saya diambil begitu saja, “Kenapa permintaan saya tak didengar oleh-Nya?!”
Setelahnya, menjalani langkah ini terasa tak mudah. Terlebih ketika rasa rindu terus menumpuk memenuhi hati, rasanya justru menyayat dan mencabik menyakiti diri. Ayah selalu ada, memberi teladan bukan paksaan, memberi arahan bukan aturan. Ketika Ayah sudah tak ada, saya hilang arah, tak tahu jalan.
Mengingatnya memberikan kebahagiaan, tetapi diiringi dengan semakin menancapnya luka. Mengingatnya pun menghadirkan ketidakhadiran, the presence of absence. Sebuah kerinduan pada seseorang atau sesuatu yang kita kasihi, tetapi kita tahu kita tidak akan pernah bisa mengalami lagi.
Dari kondisi inilah saya menemukan sebuah kata, Saudade. Kata yang menjadi judul sebuah lagu karya Kunto Aji, seorang sahabat sejak masa remaja saya dulu di Jogja.
Saya sering dengar, ketika kita mendengarkan sebuah lagu, mungkin saja masing-masingnya akan memiliki penerimaan yang berbeda. Interpretasi yang tak sama. Bagi saya, Saudade seakan menceritakan bagaimana ayah saya membisikkan kepada saya segala pesan dan tauladannya.
“Jadi, jadi
Besar dan bestari
Serap, serap
Yang baik untukmu
Oh disana
Berdirilah engkau
Dengan senyuman
Dan keping harapan
Di belakang
Tempatmu bersandar
Tanganku terbuka
Kapanpun kau ingat
Pulang”
Lirik ini bagi saya menggerusi emosi. Pada awalnya meyakinkan saya jika ayah selalu ada untuk saya, memberi semangat untuk terus mengejar mimpi dan harapan. Namun, pada akhirnya realita memberi tanda yang berbeda, ayah sudah tiada. Saya tak tahu kemana saya harus pulang.
Bagaimana saya mencoba menjalaninya? Saya menekannya kuat-kuat. Menekan rindu sekuat yang saya mampu. Tapi jauh di dalam hati, saya tahu saya hanya mencoba untuk menipu.
Sampai kemudian saya memasuki fase pilu membiru, sebuah fase yang bagi penerimaan saya adalah tentang berdamai dengan luka, melihatnya dari cara yang berbeda. Mengonversi kerinduan yang semula luka menjadi pelega dahaga, rindu.
“Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautan
Tak tergantikan
Oh…
Walau kita
Tak lagi saling
Menyapa”
Bagi saya, berbeda dengan Saudade, lagu ini adalah pesan saya untuk ayah, tentang rasa hormat penuh rindu. Bait yang menceritakan tentang masih banyak hal yang belum bisa disampaikan, akan memberikan rasa yang berbeda ketika saya sudah berdamai dengan kenangan yang ada, bukan pada lukanya.
“Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan… Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan… Padamu”
Ketika damai itu telah ada, saya merasakan lirik di atas dengan sisi pandang yang berbeda. Saya melihatnya sebagai sebuah penerimaan bahwa masih banyak hal yang belum sempat saya sampaikan kepada ayah.
Namun, itu justru menjadi janji bagi saya untuk terus berjuang, untuk membuktikan bahwa anaknya bisa. Ayah tentu tak ingin melihat anaknya terus-menerus tak menerima, bahkan terus menyalahkan Sang Pencipta. Bukan, bukan itu yang ayah damba.
Setiap perjuangan memiliki dua peluang hadirnya sisi akhir cerita yang berbeda. Saya pun meyakini bahwa yang saya jalani ini tidak mudah, tak juga berarti tak bisa dilalui. Kegagalan seringkali menyapa ketika asa sedang besar-besarnya.
Dan biasanya, kegagalan demi kegagalan itu datang beruntun tak terpisah hadirnya. Tentu akan muncul sebuah pertanyaan yang cenderung menjadi dakwaan, bagi diri sendiri,
“Hanya itu mampumu?”
Lagi-lagi, sebuah lagu Kunto Aji seakan memberikan sapaan hangatnya bagi saya, bagi kita yang sudah terus berjuang.
“Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi
Yang dicari, hilang
Yang dikejar, lari
Yang ditunggu
Yang diharap
Biarkanlah semesta bekerja
Untukmu”
Setiap usaha dan perjuangan memiliki bagian-bagiannya sendiri. Ada yang merupakan kuasa kita, tentang seberapa kita berusaha dan memahami caranya, dan ada bagian lain yang berada di luar jangkauan kita, milik Yang Kuasa. Yang terpenting adalah kita mengasihi diri kita, memberikan apresiasi pada jiwa dan raga kita yang telah berusaha.
Pada akhirnya, tiga lagu dari Album Mantra ini seakan menjadi saksi perjalanan saya yang tak mudah. Sebagai pengiring, bukan obat, karena kenangan bukan untuk kita hilangkan, tetapi perlu diberikan teman sejalan. Setelah kehilangan, kehilangan sosok teladan dan kehilangan pedoman keyakinan. Hingga akhirnya menemukannya lagi, meskipun belum sepenuhnya.
Tentu saja, lirik yang indah dalam lagu-lagu itu tak akan begitu bermakna tanpa alunan musik sebagai penghantarnya. Terutama pada lagu rehat yang menggunakan solfeggio frequency 396 Hz, yang dipercaya dapat mengeluarkan pikiran negatif.
Frekuensi ini diyakini dapat membebaskan dan membersihkan perasaan bersalah yang seringkali hinggap ketika berhadapan dengan suatu masalah. Bagi saya, lagu-lagu ini tentu telah ‘dimasak’ dengan cara, bumbu, dan komposisi yang tepat, hingga mampu memberikan pesan yang luar biasa.
Kembali, saya bukan manusia yang punya banyak pemahaman dan pengetahuan tentang musik yang mendalam, tetapi dalam lagu-lagu ini, kita mampu merasa dan menikmatinya dengan sederhana. Sesederhana kita mau berdamai dengan diri sendiri dalam menengok memori.
Mari memantrai hati.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
Apik Pak Tulisannya, saya merasa terwakilkan…Terima kasih