Memandang Risiko Pembangunan dari Sudut Pandang Sederhana

by Raihan Fadhila ◆ Active Writer | Sep 13, 2023 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

person holding camera lens

Per tahun 2045, Indonesia diproyeksikan memiliki jumlah penduduk sebanyak 324 juta jiwa. Proyeksi tersebut dihasilkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Badan Pusat Statistik (BPS). 

Ledakan demografi ini dapat dipandang sebagai bonus sekaligus sebagai beban, terlebih jika kita memahami bahwa jumlah penduduk dapat diartikan sebagai jumlah sumber daya manusia (SDM). 

Adanya SDM dalam jumlah besar tentu akan menjadi faktor pendukung yang signifikan dalam pembangunan nasional. Dengan catatan SDM tersebut dibina, dan pada saat bersamaan para pemangku kepentingan menerapkan manajemen risiko yang mumpuni atas pembangunan nasional.

Perpres Nomor 39 Tahun 2023

Lahirnya Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023 merupakan tonggak penting dimulainya implementasi Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) di Indonesia. 

Perpres yang disahkan pada 16 Juni 2023 ini mempertimbangkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur diperlukan percepatan pembangunan nasional di berbagai bidang sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional.

Kebijakan tersebut menempatkan seluruh entitas yang terikat dengan keuangan negara dalam pengawasan negara. Di sisi lain, seiring dengan perkembangan jumlah dan modernisasi pola pikir SDM kita, tentu manajemen risiko memegang posisi yang penting. 

Lantas bagaimana kaitan Perpres ini dengan SDM? Dalam Pasal 3 disebutkan salah satu penerapan MRPN dimaksudkan untuk mendorong entitas MRPN lebih proaktif dan antisipatif terhadap perubahan organisasi dan lingkungan. 

Terlepas kemungkinan adanya peraturan turunan dari Perpres 39 yang akan mengatur lebih rinci mengenai penerapan MRPN, kita dapat simpulkan bahwa negara secara sadar mengakui eksistensi perubahan organisasi dan lingkungan. 

Sadar atau tidak, perubahan yang dimaksud selalu timbul dari perilaku SDM. Satu contoh perubahan organisasi akibat perilaku SDM yang paling mudah disebutkan adalah transformasi sistem presensi pegawai. 

Misalnya tatkala kebijakan di suatu instansi merekam presensi pegawai dengan metode fingerprint, terdapat risiko adanya pegawai yang mendaftarkan lebih dari satu jari untuk beberapa nama. 

Dengan adanya sepuluh jari yang dimiliki, satu pegawai dapat merekam presensi untuk dirinya sendiri dan sembilan pegawai lain yang belum tentu hadir di kantor. Kondisi tersebut jelas merupakan suatu risiko. 

Menghadapi risiko tersebut, kebanyakan instansi akan melakukan perubahan. Sayangnya, segala perubahan organisasi, meski sebaik apa pun itu, pasti akan tetap menimbulkan celah risiko.

Diasumsikan, suatu instansi menyadari adanya risiko titip absen dalam perekaman presensi fingerprint. Kemudian, pimpinan instansi mengarahkan stafnya untuk mengembangkan sistem perekaman presensi berbasis aplikasi, dengan harapan risiko ‘titip presensi’ menggunakan jari pegawai lain tidak lagi terjadi. 

Akan tetapi, penerapan aplikasi presensi akan menimbulkan risiko baru, misalnya dengan pemanfaatan fake GPS. Pegawai bahkan dapat merekam presensi ketika ia masih berada di atas kasur kamarnya. 

Terbukti, bahwa perubahan organisasi tetap memiliki celah risiko. Maka dari itu, manajemen risiko akan selalu memiliki posisi urgensi yang tinggi. Segala program pemerintah, segala perubahan yang dilakukan, seberapa baik maksud perubahan yang dituju, akan selalu ada risiko yang menyertainya.

Perlu diingat, contoh risiko dalam perekaman presensi tadi tidak murni disebabkan oleh sistem. Tidak kita pungkiri, sistem tentu memiliki kecacatan, namun keputusan untuk memanfaatkan celah kecacatan tersebut berada di tangan SDM. 

Dengan demikian, kaitan antara manajemen risiko dengan SDM menjadi kian jelas. Perubahan organisasi tiada pernah lepas dari campur tangan SDM.

Profiling Risiko Ibarat Pisau Bermata Dua

Dalam Pasal 7 Perpres Nomor 39 Tahun 2023, disebutkan tugas Komite MRPN yang salah satunya adalah menyusun profil risiko pembangunan nasional yang bersifat strategis, baru, dan tidak terantisipasi sebelumnya yang dipandang perlu dilakukan eskalasi risiko kepada Presiden. 

Kemudian poin lain menyebutkan Komite MRPN bertugas menetapkan strategi pembangunan budaya risiko lintas sektor. 

Mengacu kepada tugas yang tercantum dalam Perpres 39, serta dalam masa menyongsong ledakan demografi, dapat dinyatakan bahwa budaya risiko harus menjadi titik berat dalam manajemen risiko bersamaan dengan manajemen SDM. 

Ketika suatu instansi mengadakan proses tender, kemudian pemenang tender memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih kepada instansi, maka terbuka peluang timbulnya fraud

Pekerjaan rumah bagi SDM kita ialah mengubah hal semacam itu menjadi ‘budaya risiko’. Diperlukan pemahaman yang utuh untuk memandang celah risiko sebagai hal yang mesti dimitigasi, bukannya malah dimanfaatkan. Untuk mewujudkannya, diperlukan strategi edukasi budaya risiko yang tajam dan tegas. 

Jadi, apakah 324 juta SDM akan berhasil menangani risiko pembangunan nasional dan membawa pembangunan menjadi lebih baik? Atau risiko justru semakin besar? 

Pada akhirnya, profil risiko kecurangan akan menjadi pisau bermata dua. Satu sisi, profil tersebut akan menjadi cikal bakal tumbuhnya budaya risiko. Namun pada saat bersamaan, profil tersebut akan menimbulkan celah fraud

Mana yang akan terwujud, bergantung kepada kualitas SDM kita. Seberapa banyak SDM yang memanfaatkan celah risiko dan seberapa banyak SDM yang menutup celah risiko akan menentukan nasib Indonesia ke depan. 

Mari kita lihat bersama, apakah tahun 2045 akan menjadi masa Indonesia emas atau Indonesia terperosok.

6
0
Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post