Jika bukan karena di-notice lewat Twitter mbak Kanti Pertiwi, Ph.D., salah satu kontributor Birokrat Menulis, saya sebetulnya rada sungkan menulis tentang tema ini. Banyak alasannya, tapi paling utamanya adalah cita rasa tulisan yang mungkin bakal jadi terlalu subjektif dan monoton sehingga jadi kurang menarik untuk dibaca.
Akan tetapi, apa daya nasi sudah jadi bubur, wis kadung meng-iya-kan, ya sudah! Saya akan mencoba berbagi pengalaman saya sebagai mantan wartawan yang kini menjadi ASN terkait dengan peran media dalam melanggengkan stigma terhadap ASN.
Mengapa Saya Menulis: Sebuah Perkenalan
Penulis tak menafikan, bila nanti akan banyak argumen yang mungkin akan debatable, mengingat pengalaman penulis yang cukup singkat sebagai jurnalis. Meski demikian, saya yakin apa yang saya akan paparkan nanti akan sesuai dengan perkembangan realita yang terjadi, atau setidaknya relevan.
Diharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terkait fenomena utama topik ini, khususnya untuk memahami kerja media-media online yang saat ini menjadi “musuh bebuyutan” Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mereka turut serta melanggengkan stigma ASN yang sering dikonotasikan dengan Kelompok Elit yang memiliki tingkat ekonomi di atas rata-rata, pemalas, tidak becus kerja, birokrasi bobrok, menghabiskan anggaran negara, beban negara, tidak pantas mendapatkan hak-haknya, dst.
Padahal, ASN masih bagian dari kelas pekerja. Masyarakat dan ASN juga manusia, yang artinya juga memiliki Hak Asasi.
Sebelum masuk pada inti permasalahan, saya ingin sedikit menukil latar belakang saya di media. Saya lulusan S1 Fakultas Sosial dan Politik yang kemudian qadarullah diterima bekerja sebagai jurnalis sebuah media online ternama di ibukota selama dua tahun, sebelum akhirnya mengambil kesempatan berkarir sebagai staf Humas di salah satu BUMD.
Satu tahun di BUMD barulah kemudian saya lolos menjadi CPNS dan ASN, sampai hari ini.
Oke, langsung aja, ya…
Bad News is A Good News
Jadi, dulu ketika pertama kali saya bekerja di media, salah satu senior kami pernah berkata “bad news is a good news”. Sebuah istilah umum memang, tapi inilah mindset yang pasti coba ditanamkan bagi awak-awak media muda.
Bad, good, kabar burukmu, atau kemalangan seseorang atau suatu kelompok adalah kabar baik bagi sebuah pemberitaan, karena realitanya berita-berita tentang kemalangan akan menarik audiens dan daya tarik yang luas sehingga berpengaruh pada penjualan. Lebih jauh, pada profit.
Tidak cukup di sini, peristiwa malang yang menimpa suatu kelompok orang yang dalam suatu negara bisa dikatakan upper class, elite, atau minoritas juga berpengaruh pada tingkat minat pembaca. Contohnya, tentu kita akan lebih tertarik membaca berita “Seorang Penyanyi Tembang Terkenal Ibu Kota Tewas Akibat Laka” dibanding “Satu Keluarga di Mamuju Tewas Akibat Laka”.
Begitu pula dengan PNS, yang sampai hari ini di Indonesia masih dinilai sebagai suatu kelompok elite “berada”, khususnya bagi masyarakat-masyarakat di daerah dan masyarakat yang kurang secara literasi.
Sampai di sini, sudah bisa menangkap kan, apa yang saya hendak maksudkan? Terkait alasan berita-berita yang menstigma PNS sangat laris di khalayak.
Berita seperti “Kiamat PNS” sebagaimana yang sering ditulis oleh situs berita kesayangan para ASN, “CNBC” akan sangat mudah menyedot perhatian publik karena PNS adalah kelompok elite tadi dan Kiamat Birokrasi adalah berita buruk baginya.
Begitu pula berita seperti “Tumpah Ruah Gaji dan THR PNS” seakan menjadi berita baik bagi PNS, meskipun unsur kata yang hiperbola yang dibubuhkan di awal kalimat kepada kelompok yang dinilai masyarakat sebagai kelompok elite akan berdampak semakin menajamnya jurang kecemburuan sosial di masyarakat.
Bureaucracy Bashing dan Framing Media
Pemberitaan buruk terkait ASN/PNS dimaknai media sebagai salah satu/sebuah komoditas pemberitaan. Oleh karenanya, perlu dipelihara atau dilanggengkan. Penstigmaan ASN juga tidak lepas dari budaya bureaucracy bashing yang dipertontonkan sejumlah pemimpin di daerah dan nasional.
Masyarakat pada umumnya sangat senang membacanya karena seakan mewakilkan secara langsung luapan kekesalan mereka kepada pelayanan publik yang kurang memuaskan di beberapa sektor saat ini.
Sama seperti dengan “Kiamat PNS”, hal ini menjadi bad news untuk PNS, dan good news bagi masyarakat yang tidak menyukai PNS. Dan bagi media, tentunya, hal ini menambah nilai jual pemberitaan mereka.
Sedikit melenceng dari topik utama, hemat saya, hal-hal seperti bureaucracy bashing menunjukan incompetency mereka, para pemimpin dalam melakukan pekerjaannya.
Ketegasan dan kebijaksanaan seorang pemimpin bukan ditunjukan dengan marah-marah di depan publik, namun dengan memberikan contoh pengayoman, jalan keluar yang solutif dan penegakan sanksi yang berlaku.
Jadi sampai di mana tadi. Oke. Setelah memahami “bad news is a good news” dan keterkaitannya dengan komoditas pemberitaan, selanjutnya kita lanjut ke cara kerja media yakni “framing”. Untuk memahami istilah framing ini ada pengertian yang saya kutip dari komunikasipraktis.com karena menurut saya paling relevan, yaitu:
“Framing berita… yaitu pemilihan fakta dalam sebuah peristiwa yang dinilai penting disajikan dan dipikirkan pembaca (publik). Framing tidak berbohong, tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan.
Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi agar melahirkan: citra, kesan, makna tertentu yang diinginkan media, atau wacana yang akan ditangkap oleh khalayak.”
Nah, sedikit cerita dari kantor lama saya, untuk teman-teman sekalian para ASN pahami, bahwa semua berita yang tersaji di layar Ponsel dan Gadget kita itu semua, itu bukan tanpa rencana. Semuanya itu sudah terencana dari meja redaksi.
Semua berita yang berhasil naik saji itu, semuanya dilakukan secara terstruktur dan telah melalui proses produksi dan layering dari mulai editor sampai redaktur.
Getah dari Kinerja Birokrasi Masa Lalu
Tidak ada berita, yang ditampilkan di laman sebuah media online yang di dalamnya tidak memuat agenda redaksi. Untuk menuju tujuan itu, media melakukan framing-framing pemberitaan agar mencapai tujuan redaksi tadi.
Sedikit menyinggung kejadian beberapa waktu lalu terkait berita “Tumpah Ruah gaji dan THR”, ada pembaca dari kelompok ASN yang bilang kalau berita tadi “fitnah”. Mendengarnya membuat saya merasa lucu sendiri.
Pasalnya dari berita tadi, hanya penjudulan saja yang “Click bait” dan itu menurut saya lumrah, sementara isinya sesuai fakta. Bukan bermaksud membela awak media, namun untuk sekelas kantor berita arus utama di Indonesia, kemungkinan mereka melakukan berita fitnah atau hoaks sampai saat ini, saya bisa bilang sangat tidak mungkin.
Namun, kembali lagi ke topik framing tadi, mereka bebas menuangkan fakta yang dipilih agar sesuai dengan tujuan berita. Dan tujuan mereka apa? Yup, menstigma PNS sebagai pihak elite tadi, atau lebih tepatnya “pihak elite yang gak becus kerja dan gak berhak mendapatkan hak-haknya” karena dari sisi framing inilah ASN memiliki nilai jual pemberitaan/ komoditas pemberitaan.
Kita harus menginsyafi bahwa apa yang dirasakan atau tekanan batin akan stigma yang dirasakan ASN muda hari ini merupakan getah hasil budaya kerja birokrasi yang lalu, dan memang itulah faktanya.
Kita pun harus menyadari bahwa kita ini ada di masa transisi, transformasi jembatan perubahan budaya tadi. Jadi, sudah selayaknya sebuah perubahan pada fenomena apapun pasti terjadi dinamika dan benturan-benturan. Untuk itu, kita sebagai ASN muda harus bisa beradaptasi, berimprovisasi dan berinovasi, dan yang terpenting bersabar.
Mengenali Click Bait dan KPI Media Online
Selanjutnya, kerja media dalam pelanggengan stigma, adalah dalam gaya penulisan media yang dituntut untuk “Click Bait”. Perlu teman-teman pahami, bila masing-masing redaksi kantor berita memiliki gaya penulisan yang berbeda-beda.
Di masa saya kerja dulu, redaksi saya sangat menentang penulisan kalimat judul dengan jumlah kata di atas 8 kata. Semakin sedikit pemakaian kata dan kesesuaiannya dengan isi berita, semakin bagus.
Jadi, kami dituntut menulis judul yang “to the point” terhadap isi berita, karena memang begitulah sejatinya berita “hard news”. Perbedaannya dengan judul click bait adalah penggunaan jumlah kata yang biasanya lebih banyak, pemilihan jenis kata yang lebih “casual”/ informal dan pola kalimat yang cenderung interaktif.
Misal “Tahun Ini, Tukin Masuk THR PNS ” atau “Besaran Tunjangan dan THR PNS 2022” . Berbeda dengan gaya pemberitaan Click Bait: “Tumpah Ruah, Ini Perkiraan Besaran THR hingga Tunjangan PNS 2022”.
Nah terkadang, untuk berita semisal “Gaji PNS Minimal Rp9 Juta Akan Terwujud 2022? Ini Bocorannya!” sebetulnya sangat sedikit informasi yang bisa disajikan, karena kutipan dari narasumber yang tidak “menjual” namun pewarta dituntut agar bisa mengemas informasi tersebut supaya memiliki nilai berita.
Makanya, dibuat judul yang “menarik”, diharapkan bisa menyerap pembaca. Sebab, perlu teman-teman pahami juga, bila “key performance indicator” / KPI atau dalam bahasa kita SKP pewarta online, saat ini ditentukan oleh kuantitas berita yang dibuat per hari.
Mayoritas kantor berita menerapkan 8- 10 naskah berita untuk kuota minimal harian dan pengalaman saya mengajarkan hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Jadi, yang saya ingin pembaca pahami adalah, pewarta hari ini berusaha mengemas informasi seminimal apapun agar jadi berita. Oleh karena itu, jangan heran jika pemberitaan media online hari ini begitu receh, dangkal, dan repetitif.
Pelanggengan Stigma melalui Platform Internet
Terakhir: platform. Yup! Platform internet dengan evolusi media sosialnya mengubah cara kerja media 180 derajat. Kini, publik memiliki kuasa lebih atas informasi mana yang ingin mereka cerna, tidak seperti zaman TV atau radio yang dulu menjadi gerbang informasi.
Internet kini menyajikan akses spesial bagi publik. Kita tentunya mengenal istilah logaritma internet: bila seseorang menyukai berita yang menstigma ASN, maka ia akan terus menerus disuguhi berita serupa dari berbagai sumber.
Dari segi perusahaan media, angka-angka klik dan view mereka, akan menjadi aset untuk mendatangkan pengiklan selain penghasilan dari ads. Untuk diketahui, sampai saya bekerja dulu, penghasilan utama perusahaan media masih dari jasa periklanan yang mereka sediakan.
Nah, dari penjelasan singkat tadi, saya harap pembaca dapat memahami cara kerja media dan dampaknya terhadap pelanggengan stigma terhadap ASN. Mungkin ada yang bilang, kok ujung-ujungnya media seperti cari duit ya?
Ya tentu saja. Kan mereka korporasi, ujung-ujungnya ya penghasilan profit dari komoditas pemberitaan. Dan sekali lagi, stigma buruk tentang ASN adalah komoditas pemberitaan yang sangat menjual.
Epilog: Bagaimana Menghadapi Framing Media?
Saya harap para ASN, khususnya ASN muda, dapat lebih bijak dalam merespons pemberitaan-pemberitaan media. Adapun hal yang dapat dilakukan, saran saya adalah pertama baca, serap, dan kurangi mengeluh di media, khususnya di kolom komentar media terkait.
Penjelasan simpel: keluhanmu meningkatkan traffic sosial media mereka. Semakin ramai keluhan semakin asyik buat mereka. Kedua, lawan ide dengan ide. Pemberitaan sejatinya adalah penyampaian pesan/ gagasan dan dia tidak bisa dilawan dengan kita kukulutus di medsos, melainkan harus dengan ide lagi.
Untuk melawan pemberitaan negatif, maka perlu diadang / di-counter dengan pemberitaan positif yang menyajikan fakta-fakta. Nah, PR-nya, sudah berapa banyak fakta-fakta tadi tercipta untuk diberitakan kepada publik?
Ketiga, edukasi diri sendiri dengan literasi yang cukup terkait tantangan dan dinamika arus informasi dan teknologi agar kita bisa dan terbiasa membaca agenda setting dan framing yang dilakukan oleh media.
Sekian informasi yang bisa saya bagikan di birokratmenulis. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Semoga dapat memberikan manfaat bagi kita khususnya ASN dan umumnya seluruh masyarakat Indonesia.
Salam dari perbatasan!
Tulisan bernas. Membuka cakrawala. Moga makin banyak ASN muda yang kreatif dan mampu memenuhi medsos dengan narasi yang membangun, tidak hanya berkeluh kesah saja.
Alhamdulillah
Tulisan yg baik dan informatif
Twrima kasih atas sarannya
Terima kasih tulisan yg sangat bagus. Saya setuju dengan pernyataan pernyataannya yang manq masyarakat cenderung menilai ASN dengan stigma yang miring misalnya tidak produktif, tidak inovatif dan tidak berkinerja. Untuk itu sebagai asn kita harus banyak bercermin dan merubah perilaku kita agar lebih berkinerja dan merubah cara kerja kita.