Pandemi COVID-19 yang mulai menyebar kencang di Indonesia pada periode Maret – Mei tahun lalu menuntut masyarakat agar membatasi mobilitasnya. Bahkan, sampai dengan beberapa bulan setelahnya, tempat-tempat umum, salah satunya pusat perbelanjaan/mal ditutup agar tidak menciptakan kerumunan.
Namun, tentu saja aktivitas ekonomi tidak bisa terlalu lama lesu. Berbagai sektor penggerak ekonomi, mulai berangsur dibuka kembali dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat, termasuk mal. Hal ini dilakukan agar tujuan pemulihan aktivitas ekonomi tidak kontraproduktif dengan upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Dengan kata lain, risiko penyebaran virus antar pengunjung di dalam mall harus dimitigasi.
Pembaca ingat hal baru apa yang paling terasa saat mal kembali dibuka? Ya benar, di pintu akses masuk mal, satpam yang biasanya melakukan scanning dengan metal detector mendapatkan tugas tambahan untuk mengukur suhu pengunjung yang datang. Mengapa perlu mengukur suhu? Karena suhu tubuh dapat memberikan sinyal peringatan dini adanya infeksi dalam tubuh.
Normalnya, suhu tubuh kita adalah 36,5–37,2 derajat celsius. Sedangkan, jika lebih dari itu, mengindikasikan bahwa tubuh sedang melawan infeksi. Atas kondisi ini pihak mal akan melarang pengunjung memasuki pusat perbelanjaan.
Dalam beberapa kondisi tertentu, orang terinfeksi tetap memiliki suhu tubuhnya normal. Namun, secara umum, berbagai riset menunjukkan bahwa suhu tubuh masih relevan dijadikan deteksi awal.
Memahami KRI dari Akarnya
Saya yakin, penjabaran di atas bukan hal baru bagi pembaca. Namun, memahami cerita di atas secara runut, akan memudahkan pembaca untuk memahami topik bacaan dalam tulisan kali ini. Key Risk Indicators (KRI) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Indikator Risiko Utama (IRU), masih merupakan topik hangat meski sudah diperkenalkan sejak tahun 2010.
Secara sederhana, dalam artikel yang berjudul “Identifying and Communicating Key Risk Indicators” yang ditulis oleh Susan Hwang, KRI dapat diartikan sebagai alat pengukuran untuk mengindikasikan potensi kemunculan (atau sudah munculnya) risiko, tingkatan paparan risikonya (risk exposure level), dan tren atau perubahan paparan risikonya.
Artinya, sebelum menetapkan KRI, kita harus menetapkan dulu risikonya untuk kemudian ditentukan indikator utamanya. Makna dari utama atau kunci dalam term KRI, perlu dipahami agar efektif dalam implementasinya. Hal ini karena dalam satu risiko mungkin akan ada lebih dari satu atau bahkan puluhan indikator yang relevan. Namun, yang perlu dikelola harusnya hanya indikator risiko yang paling signifikan saja.
Kriteria KRI
Salah satu prasyarat dalam menentukan indikator risiko utama yang tepat harus memenuhi beberapa kriteria. KRI seharusnya spesifik, prediktif, dan mudah dikuantitatifkan dalam bentuk angka, persentase, ataupun rasio. Hal ini penting karena nantinya, dalam setiap KRI harus ada thresholds-nya (ambang batas) dan trigger points (titik pemicu).
Selain itu, karena fungsinya adalah mendukung penilaian risiko, hendaknya dilakukan reviu secara berkala terhadap KRI. Fungsinya untuk mengkalibrasi apakah sinyal-sinyal yang diberikan oleh indikator signifikan berpengaruh ke pengukuran atas tingkat keterjadian dan dampak risikonya.
Dalam implementasinya, jika telah dirancang dan digunakan secara efektif, KRI akan memberikan nilai prediktif dan dapat dijadikan sebagai sinyal peringatan dini atas kemungkinan perubahan profil risiko.
Misal kasus di lingkup perusahaan, berarti KRI dapat memberikan sinyal kemungkinan perubahan profil risiko perusahaan dan dapat dijadikan dasar bagi direksi untuk melakukan mitigasi. Menariknya, di berbagai organisasi termasuk perusahaan, alih-alih belum memiliki KRI, tetapi justru memiliki terlalu banyak KRI. Alhasil, organisasi jadi tidak fokus ke satu situasi yang sebenarnya paling signifikan untuk dilakukan pemantauan.
Beda KPI dengan KRI
Setelah pembaca makin memiliki gambaran tentang apa itu KRI, mungkin pembaca juga teringat dengan satu indikator lain yang lebih banyak dikenal yakni KPI. KPI atau Key Performance Indicators merupakan salah satu indikator yang paling umum digunakan dalam tata kelola organisasi.
Lalu apa yang membedakan KPI dengan KRI? Pertama sesuai dengan namanya, KRI digunakan untuk menunjukkan potensi risiko, sedangkan KPI digunakan mengukur kinerja. Dewasa ini, banyak pihak yang menganggap KRI dan KPI sama, padahal keduanya memiliki perbedaan fundamental.
KPI adalah pengukuran yang difokuskan pada target kinerja dan berdasarkan pada ruang lingkup yang luas di dalam organisasi. Mulai dari kinerja di tingkat operasional, teknis, sampai strategis. Sedangkan KRI merupakan pengukuran untuk memonitor risiko dan melibatkan batas-batas tertentu yang jika sudah mendekati atau melewati batasan tersebut maka diperlukan mitigasi.
Kaitannya, KRI bukan difokuskan pada pengukuran pencapaian target, tapi memberikan batasan untuk menginformasikan atau memprediksi jika ada potensi KPI yang gagal dicapai.
Berdasarkan pemahaman tersebut, KPI menggambarkan “lagging in nature” yang merupakan indikator yang menunjukkan hasil akhir. Sedangkan KRI merupakan “leading in nature”, dimana indikatornya menggambarkan indikator proses yang akan berpengaruh pada hasil akhir, contohnya:
Lagging indicator: Jumlah pegawai yang terlibat dalam kejadian kecurangan;
Leading indicator: Persentase pegawai yang tidak mengambil cuti dalam waktu satu tahun.
Dalam perspektif pencapaian tujuan, KPI menjawab pertanyaan “bagaimana capaian kita saat ini dalam rangka sampai ke tujuan yang ditetapkan?”. KRI menjawab pertanyaan “apa kemungkinan kita gagal mencapai tujuan?” atau “apa yang mungkin menghambat kita untuk mencapai tujuan?”
Memaknai Peran KRI
Bagaimana, pembaca? Sudah mulai terbayang apa itu KRI dan apa perannya? Mari kembali melihat tentang tes suhu tubuh di atas. Mengapa mal kembali dibuka? Tujuannya adalah menggerakkan kembali perekonomian yang sempat lesu. Bagaimana mengukur keberhasilannya? Mungkin jumlah pengunjung dan/atau besaran transaksi bisa menjadi KPI-nya.
Lalu apa risikonya? Dalam kondisi pandemi saat ini, tentu risiko penyebaran atau penularan virus antar pengunjung jika ternyata ada pengunjung yang dalam kondisi terinfeksi. Tujuan pembukaan mall bisa tidak tercapai jika terbukti ada penularan di mall, bisa saja mall tersebut akhirnya ditutup untuk sementara waktu.
Lalu, dari risiko masuknya pengunjung yang sedang terjangkit virus ke Kawasan mall, apakah KRI-nya? Pengukuran suhu tubuh, merupakan cara paling umum digunakan. Sehingga suhu tubuh dapat dijadikan sebagai KRI, dengan thresholds suhu tubuh yang boleh masuk 36,5–37,2 derajat Celsius. Sedangkan, trigger points-nya adalah jika suhu tubuh pengunjung melebihi 37,2 s.d 37,4 derajat Celsius, perlu dilakukan pengecekan ulang misalnya.
Lalu, untuk suhu tubuh lebih dari 37,5 derajat celcius, perlu dilakukan mitigasi dengan melarang pengunjung untuk masuk ke area mall. Relevan dengan penjelasan sebelumnya bahwa bisa saja satu risiko memiliki KRI yang beragam, mungkin ada indikator-indikator lain yang dapat digunakan.
Epilog: Pondasi Awal Pengelolaan Risiko
Pemahaman atas makna KRI dan perannya ini bisa dijadikan pondasi awal dalam implementasi penyusunan dan implementasi KRI dalam mendukung pengelolaan risiko di organisasi. Tantangannya, pertama, kita harus mampu mengindentifikasi risiko secara tepat, untuk kemudian ditentukan KRI-nya.
Kedua, kita harus mampu memilah-milah indikator-indikator yang paling relevan dan signifikan dikaitkan dengan risikonya. Terakhir, kita perlu membangun pengelolaan atas indikator yang efektif. Artinya sistem pengumpulan datanya, analisisnya, hingga pembaharuan data secara berkala perlu dilakukan.
Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.
Terima kasih bung Betrika atas penecerahannya. Mungkin tidak bermasalah dalam mencerna bagi pemerhati risiko atau berlatar belakang epndidkan manajemen atau akuntansi, namun bung betrika coba jelaskan secara umum bagi para pembaca.
Sedikit menambahkan saja, mungkin ini sebagai jawaban mengapa kita sudah tetapkan Key Performance Indicator (KPI) namun masih juga tujuan yang dicapai organisasi masih dibawah target atau ekspektasi. Dengan adanya Key Risk Indicator (KRI) sebagai alat bantu untuk meminimalkan selisih/gap tersebut. Berharapk jika kita dapat menentukan KRI dan melakukan mitigasi, maka tercapainya tujuan bisa dimaksimalkan.