Memahami Limitasi Psikologis dalam Manajemen Risiko

by Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer | May 31, 2019 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Waktu duduk di bangku SMA (sekolah menengah atas) dulu, saya pernah dapat wejangan dari salah seorang guru, “nek arep selamet, dadi wong kuwi ora mung ati-ati, tapi kudu waspada”. Kurang lebih artinya, jika ingin selamat dalam hidup, manusia itu tidak cukup hanya berhati-hati, tapi harus waspada.

Ketika itu saya, yang masih muda belia tampan rupawan, kemudian bertanya dengan bahasa jawa kromo yang pas-pasan, ”lha bedanipun nopo, Pak?”. Beliau kemudian dengan semangat memberi contoh. Ada orang yang berhati-hati berjalan di trotoar dengan asumsi bahwa kendaraan tidak akan sampai ke sana, tapi akhirnya tertabrak juga.

Beliau mengatakan, meskipun berjalan di trotoar yang memang khusus untuk pejalan kaki, kita tetap harus waspada dengan sekitar kita. Apabila ada suatu kejadian di dekat kita, kita bisa segera menghindar.

Waktu itu, saya cuma bisa manggut-manggut mendengar penjelasan guru saya itu. Maklum masih belia, pikirannya masih cethek, Dilan juga umur segitu masih sibuk ngejar-ngejar Milea.
Ya khan?

Anda Seorang Risk Expert?

Diskusi saya dengan guru beberapa tahun lalu itu sebenarnya merupakan sebuah diskusi tentang manajemen risiko. Lebih rincinya ialah individual risk management. Dalam diskusi itu, pak guru membahas tentang adanya uncertainty atau ketidakpastian yang melekat dalam setiap hal yang kita lakukan dan itu harus dimitigasi.

Konsep manajemen risiko memang sederhana, ada ketidakpastian yang akan menganggu kita mencapai tujuan, yang harus diidentifikasi, dianalisis, lalu dimitigasi. Nah, masalahnya, apakah dengan memahami konsep dasar tersebut, kita sudah bisa disebut sebagai seorang risk expert?

Jika saya yang harus menjawabnya, jawaban halusnya, Anda adalah seorang ISO 31000 risk management expert. Tapi untuk mempraktikannya, belum tentu Anda adalah seorang expert. Hal ini karena dalam dunia manajemen risiko, ada sebuah ilmu turunan yang sangat penting untuk dipahami yaitu the psychology of risk, tentang psikologi manusia ketika menghadapi risiko.

Limitasi Psikologis Manusia

Kali ini, saya akan membahas tentang limitasi psikologis kita sebagai manusia yang harus kita pahami agar mampu mengelola risiko secara benar dan ini ada kaitannya dengan wejangan dari guru saya saat itu.

Langkah awalnya, kita harus memahami bahwa limitasi psikologis tersebut merupakan suatu hal yang menjadikan kita manusia selain beberapa faktor lainnya. Namun, tentu hal itu tidak lantas membuat kita harus berkecil hati. Bukankah Superman, sang superhero-pun, memiliki kelemahan juga bukan?

Ia menjadi lemah ketika harus berdekatan dengan batu kryptonite. Lalu kenapa Superman bisa bertahan? Karena ia tahu kryptonite adalah kelemahannya dan ia pun harus menghindarinya.

Kata kuncinya adalah memahami apa yang menjadi kelemahan kita, menghindarkan kita dari paparan kryptonite kita sendiri. Salah satu hal yang menjadi kryptonite manusia dalam menghadapi risiko adalah limitasi kita dalam memerhatikan sesuatu (pay attention).

Satu hal yang harus kita pahami, terkadang atau lebih sering kita sebagai manusia menilai terlalu tinggi kemampuan kita dalam memerhatikan sesuatu. Salah satu limitasinya adalah sulit bagi kita untuk memerhatikan dua hal dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, ketika Anda mengendarai mobil, Anda juga memeriksa pesan yang masuk ke smartphone Anda, bisakah Anda benar-benar melakukan keduanya secara bersamaan?

Jika Anda melakukan keduanya dan tidak terjadi apa-apa, percayalah itu bukan karena kemampuan hebat Anda, melainkan karena keberuntungan masih menaungi Anda. Dalam ilmu psikologi, ketika kita memindahkan fokus atau perhatian kita di antara dua hal, kita tidak hanya kekurangan informasi tetapi juga kekurangan waktu dalam bereaksi.

Ada batasan minimum waktu untuk otak manusia memahami situasi dan menemukan cara responnya, atau disebut dengan biological time. Sebagai gambaran, David Strayer, seorang profesor di University of Utah pernah melakukan penelitian tentang fokus manusia ketika mengemudi dan menggunakan ponsel.

Strayer menemukan bukti bahwa seorang pengemudi yang melihat ponselnya saat kendaraan berjalan membutuhkan waktu dua puluh lima detik untuk kembali benar-benar fokus pada kemudinya. Bahkan, ketika ponsel digunakan saat mobil berhenti karena lampu merah, butuh sepuluh detik untuk move on dari distraksi tersebut. Terbayang bukan, dampak dari ketidakfokusan selama dua puluh lima detik dalam berkendara?

Lalu, ada limitasi lainnya, yaitu hangover effect. Manusia akan kelelahan ketika harus bertukar konsentrasi pada dua hal di waktu yang bersamaan atau waktu yang berdekatan. Dalam studinya, seorang profesor psikologi dari San Jose State University, California, bernama Mark Van Selst, menjelaskan bahwa membagi perhatian ke dua hal lebih rumit dari apa yang kita pikirkan.

Hal itu terjadi karena ketika kita membagi fokus ke dua hal atau dua tugas, kita akan berurusan dengan dua set detail informasi di otak kita. Misalnya, ketika kita mengemudi kita harus mengingat jalan mana yang harus dilalui, kondisi jalannya, dan mobil-mobil di sekitar kita.

Ketika kita melihat ponsel, kita akan mengingat dengan siapa kita berbicara, apa yang dibicarakan, dan apa yang harus kita katakan setelahnya. Dua set informasi tersebut tidak bisa ditampung di otak kita dalam satu waktu karena untuk jenis aktivitas seperti ini kita menggunakan working memory, di mana kita bisa mengakses informasi yang kita butuhkan dalam waktu singkat, tetapi dengan kapasitas yang kecil.

Batasan itu membuat kita tidak dapat menyimpan dua set informasi dalam satu waktu, sehingga harus bergantian. Pertukaran fokus inilah yang menyebabkan kita kelelahan.

Berdasarkan pemahaman di atas, kita dapat memahami bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk memerhatikan dua hal dalam satu waktu. Jadi, mitigasinya adalah dengan hanya berfokus pada satu hal dalam satu waktu? Ternyata tidak sesederhana itu.

Masih ada beberapa limitasi yang akan ‘mengganggu’ kita untuk bisa fokus, bahkan ketika kita hanya fokus pada satu hal saja. Pertama, distraksi yang muncul tiba-tiba, meskipun kita sudah berniat untuk berkonsentrasi akan memecah perhatian kita.

Kedua, mind wandering atau task-unrelated thought. Misalnya, ketika Anda sedang mengemudi di jalan raya (ya iyalah ya, masa’ di empang), tiba-tiba Anda akan memikirkan hal lain yang tidak ada kaitannya dengan aktivitas mengemudi Anda, itulah yang kita sebut dengan mind wandering.

Dari berbagai riset yang telah dilakukan, dampak negatif dari mind wandering adalah kinerja kita akan terdampak ketika pikiran kita tidak sepenuhnya engaged dengan apa yang sedang kita kerjakan.

Namun, to be clear, mind wandering tidak selamanya merupakan hal yang buruk. Saat melakukan mind wandering, kita bisa memikirkan apa yang akan kita lakukan nanti sore atau makan malam apa yang akan kita pilih nanti malam. Psikolog menyebutnya dengan autobiologhical planning.

Hal penting yang harus kita pahami adalah mind wandering merupakan sebuah distraksi ketika mata kita tetap fokus pada sesuatu yang memang seharusnya kita lihat. Nah, ketika tiba-tiba pikiran kita bergeser fokusnya sepenuhnya ke hal yang tidak ada kaitannya dengan apa yang mata kita perhatikan, psikolog menyebutnya dengan perceptual disengagement, yakni ketika otak dan mata bekerja namun tidak berkoordinasi satu dengan yang lainnya. Bahasa sederhananya mungkin, “melamun sampai bengong”.

Terakhir, limitasi kita dalam memerhatikan suatu hal daya tahan tubuh kita. Seorang psikolog bernama Norman Mackworth, dalam penelitiannya menemukan fakta bahwa kemampuan kita dalam melakukan supervisi atau pengawasan akan terus menurun setelah dua puluh sampai dengan dua puluh lima menit, atau disebut dengan vigilance decrement.

Epilog

Setelah memahami beberapa penjelasan di atas, tentu sebagian dari kita akan merasa, “Ah masa’ sih? Selama ini sepertinya saya bisa-bisa aja membagi fokus, atau tetap fokus ke suatu hal”.

Suatu respon yang wajar memang, karena kadang sulit bagi kita sebagai manusia menerima kenyataan bahwa kita memiliki kelemahan. Namun, harus dipahami juga bahwa untuk dapat survive, untuk dapat memitigasi risiko-risiko yang akan kita hadapi, kita harus memahami dulu kekurangan kita, dan menerimanya.

Tentu tidak hanya berhenti dengan menerimanya saja, kita harus melakukan mitigasi atas limitasi tersebut. Bagaimana caranya? Itu akan secara khusus saya bahas di artikel yang lainnya.

Terakhir, beberapa tahun setelah saya menerima wejangan dari guru SMA saya itu, akhirnya saya bisa mengkritisi wejangan tersebut.

Dengan waspada, kita bisa selamat dalam kehidupan, itu merupakan suatu wejangan yang benar tetapi belum sempurna. Karena untuk terus waspada kita membutuhkan fokus perhatian yang tidak terbelah, dan berbagai penjelasan di atas mengajarkan kita bahwa memerhatikan sesuatu itu tidaklah mudah, bahkan merupakan kelemahan manusia.

Artinya, untuk bisa waspada kita harus fokus memerhatikan, untuk fokus memerhatikan kita perlu memahami bahwa kita memiliki limitasinya, sehingga kita mampu mencari cara bagaimana menanganinya.

“Nuwun sewu nggih pak, wejangan panjenengan kulo upgrade”, dari Dilan, eh bukan pak, maksud saya, Betrika.

 

 

 

4
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post