Memahami Kompleksitas Perhitungan GDP dari Pengalaman Quick Count

by Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer | Apr 27, 2019 | Politik | 0 comments

Quick Count

Hitung cepat atau lebih populer disebut quick count (QC), sebagai salah satu ukuran untuk memprediksi hasil pemungutan suara itu ibarat key performance indicator (KPI), yakni indikator keberhasilan suatu kinerja. Tentu saja prediksi tersebut dilakukan melalui pilihan metode statistik dengan kriteria yang ketat, karena memertaruhkan reputasi, terhadap jumlah dan proporsi sampel yang digunakan.

Dalam sebuah proses pemungutan suara, selain quick count, sah-sah saja orang menggunakan suasana hati, rasa, emosi, serta ukuran kualitatif lainnya sebagai proxy yang menuju pada indikator hasil (lead indicators).

Secara statistik, quick count tidak memakai data populasi karena memang dia dibutuhkan sebagai alat yang secara cepat menyediakan proyeksi hasil atas suatu kontestasi. Kecepatan itu berguna untuk para pihak yang bertanding untuk mengantisipasi langkah selanjutnya, termasuk pengawasan intens atas kotak suara jika margin yang dihasilkan QC cukup tipis. QC juga berguna untuk pasar, terutama para investor dan pemegang saham perusahaan publik, serta komunitas regional dan dunia internasional.

GDP dan growth

Melompat sejenak ke dalam dunia ekonomi dan keuangan publik, terdapat suatu key performance indicator penting yang menjadi ukuran produktivitas atau skala perekonomian nasional. Indikator ini dikenal dengan istilah produk domestik bruto atau dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai gross domestic product, selanjutnya disingkat GDP.

Pengukuran GDP pada setiap negara telah berlaku secara universal dan lazim digunakan sebagai rujukan kesuksesan pembangunan. Rasio ini mengandung banyak sekali informasi, termasuk menjadi alat menentukan persentase growth atau pertumbuhan ekonomi. Growth adalah laju capaian ekonomi pada tahun tertentu dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.

Dengan kata lain, sebuah negara yang bertumbuh perekonomiannya adalah yang memiliki GDP yang semakin besar tahun demi tahun, sehingga secara kuantitatif rasio pertumbuhan atau growth-nya bernilai positif. Dalam studi makroekonomi, besaran GDP ini dapat diukur dari beberapa sudut pandang atau pendekatan, yang semestinya menghasilkan nilai akhir yang sama. Pendekatan tersebut adalah dari sisi produksi, pengeluaran, dan pendapatan yang diperoleh semua orang dalam suatu negara.

Pendekatan yang paling umum digunakan untuk menilai GDP adalah pendekatan pengeluaran, sebab pengumpulan informasi tentang pengeluaran oleh para pelaku ekonomi lebih mudah dilakukan dengan metode penggalian data dari sisi ini.

Misalnya, ketika seorang penduduk sebuah negara ditanya,
“Berapa pengeluaran anda setiap bulan?”,
peluang memperoleh jawaban jujur dan mendetail akan lebih besar daripada ketika ditanya,
“Berapa gaji anda setiap bulan?”.

Oleh karena itu, para ekonom kemudian merumuskan perhitungan GDP dengan pendekatan pengeluaran yang merupakan penjumlahan dari berbagai jenis pengeluaran yang dilakukan dalam suatu negara. Dalam skala makro, jenis pengeluaran ini kemudian terbagi menjadi kelompok konsumsi rumah tangga, investasi atau tabungan, belanja pemerintah, dan ekspor-impor.

Kompleksitas penghitungan, asumsi, dan pengambilan kebijakan

Adapun variabel-variabel seperti tingkat suku bunga, tingkat inflasi, nilai tukar terhadap mata uang asing, jumlah penduduk, dan kawan-kawannya menjadi ekosistem yang turut menentukan perilaku belanja yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi tersebut. Hubungan mereka bersifat kompleks dan saling mempengaruhi dalam suatu sistem yang disebut sebagai makroekonomi.

Untuk memudahkan penggunaannya sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan baik fiskal maupun moneter, maka akurasi pengukuran GDP ini menjadi sangat penting. Sehingga demikian dibutuhkan analisis yang sangat detail dalam proses penghitungannya.

Mengingat kompleksitas informasi yang dibutuhkan, maka dibutuhkan waktu untuk mendapatkan angka yang riil. Tak terbayangkan berapa orang petugas sensus dan pengolah data dibutuhkan serta berapa lama proses tersebut memakan waktu, mengingat betapa luasnya Indonesia dan jumlah penduduknya sejumlah ratusan juta. Oleh karenanya, dalam menentukan GDP ini harus digunakan metodologi perhitungan yang “tidak riil”, sangat kontekstual, akan tetapi tidak asal-asalan.

Pengalaman saya dalam mencari informasi saat mengukur indikator GDP dan growth, perhitungan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya butuh waktu lebih dari sebulan untuk bisa dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Bahkan, untuk data yang lebih detailnya, BPS membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.

Jika menunggu sampai seluruh data itu tersaji untuk menghindari miss-match kebijakan, maka kebijakan fiskal maupun moneter (serta kebijakan lainnya) yang disusun akan berjalan di tempat, alias mandek. Sementara itu, roda pemerintahan harus berputar terus sepanjang tahun anggaran. Oleh karenanya perlu asumsi-asumsi, model-model yang dibuat dan disepakati para ahli, dengan presisi yang teruji.

Oleh karena itu, perhitungan pertumbuhan ekonomi sering berbeda dua digit dibelakang koma misal 5,12 atau 5,17. Itulah kenapa targetnya pun sering disusun sebagai kisaran bukan lagi titik angka tertentu.

Apakah dengan demikian angka pertumbuhan ekonomi sudah benar-benar riil? Tentu tidak. Untuk konteks negara yang banyak aktivitas underground ekonominya (misalnya pedagang asongan), tentu angka tersebut bisa menjadi bias.
Namun, apakah angka perhitungan tadi (beserta detailnya) sudah bisa digunakan oleh para stakeholder dalam membuat kebijakan? Jawabannya, ya, sangat bisa dan sangat berguna.

Adapun ketidakpuasan atas penggunaan pertumbuhan ekonomi sebagai KPI, membuat negara-negara lain menambahkan indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai pelengkap pengukur kesuksesan pembangunan. Contohnya Bhutan, yang mencoba fokus pembangunan yang berimbang antara keberhasilan ekonomi dan kebahagiaan rakyatnya.

Relasi antara Quick Count dan GDP

Nah, lantas apa yang bisa dimaknai dari hubungan quick count dengan GDP growth? Menurut saya, keduanya sama-sama berkedudukan sebagai KPI, yang memiliki keterbatasan tetapi menyediakan proxy yang sangat cepat atas suatu realitas.

Bedanya, quick count akan selalu diikuti dengan perhitungan real count, sementara untuk kebijakan fiskal realitanya sudah tak harus menunggu perhitungan “riil” economic growth dan GDP.

Jadi, selamat menunggu real count, kawan-kawan. Kepala kita boleh panas, tetapi hati tetap sejuk.
Mari kita doakan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Selamat tinggal kompetisi, selamat datang sinergi dalam menjawab tantangan globalisasi serta digitalisasi (Revolusi Industi 5.0).

Indonesia harus maju, adil dan makmur dari Sabang sampai Merauke dari Miangas ke Pulau Rote.

 

 

 

1
0
Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer

ASN pada Kementerian Keuangan. Tulisannya banyak berfokus pada area-area strategic planning, public budgeting, public policy, dan monitoring and evaluation. Hal itu tak mengherankan, karena latar belakang pendidikannya di Master Public Policy in Economics dari Crawford School of Public Policy, Australia National University.

Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer

Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer

Author

ASN pada Kementerian Keuangan. Tulisannya banyak berfokus pada area-area strategic planning, public budgeting, public policy, dan monitoring and evaluation. Hal itu tak mengherankan, karena latar belakang pendidikannya di Master Public Policy in Economics dari Crawford School of Public Policy, Australia National University.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post