Banyak orang mengatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat perilaku para anggotanya, yang juga menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya tersebut juga seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada di organisasi. Harapannya, semua anggota organisasi dapat berperilaku sesuai nilai-nilai yang telah ditetapkan.
Upaya yang dilakukan untuk membangun budaya organisasi biasanya adalah melakukan sosialisasi/kampanye, memasang role model, dan memperkuat berbagai kegiatan untuk membiasakan perilaku anggota. Tak jarang juga, organisasi kemudian menerapkan reward-punishment dalam mempercepat pengembangan budaya.
Sekilas, pemahaman dalam pengembangan budaya tersebut tidak ada salahnya dan justru mulia karena berdasar nilai-nilai yang biasanya bersifat ideal. Namun demikian, tak jarang organisasi menjadi bingung tatkala banyak orang di organisasi yang tidak berperilaku sama dengan nilai yang diusung organisasi. Lalu bagaimana seharusnya? Mengapa hal itu bisa terjadi?
Perlunya Pemahaman Sosiologis
Saya akan mencoba mengurai hal itu dari sudut paradigma pengetahuan yang ada di balik konsep budaya organisasi. Paradigma pengetahuan ini berhubungan erat dengan disiplin ilmu sosiologi. Mengapa sosiologi?
Karena sosiologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi manusia secara kelompok, yang kemudian dapat berkembang menjadi sebuah budaya. Budaya organisasi adalah sebuah budaya yang berkembang dalam suatu kelompok/komunitas tertentu.
Mengapa bukan ilmu komunikasi, psikologi, atau antropologi? Ilmu komunikasi dan psikologi memang ada kaitannya dengan budaya organisasi, akan tetapi cakupan kontribusinya lebih sempit. Bahkan, ilmu komunikasi dan psikologi yang mempelajari kelompok sosial juga pada dasarnya mengambil inti dari ilmu sosiologi.
Sedangkan antroplogi, cakupannya justru terlalu luas. Ilmu ini digunakan untuk mengamati dan memahami seluk beluk dan unsur-unsur kebudayaan yang dihasilkan dalam kehidupan manusia, baik itu ekonomi masyarakat, agama dan keyakinan, politik pemerintahan, fisik manusia, kesehatan, perkembangan teknologi, dan sebagainya. Ilmu ini terlalu luas jika digunakan dalam rangka membangun atau mengembangkan budaya di sebuah organisasi.
Itulah mengapa, ilmu sosiologi menjadi paling tepat digunakan dalam rangka membedah permasalahan dalam pengembangan budaya di organisasi.
Teori Fungsionalisme Struktural
Rupanya teori inilah yang diadopsi oleh sebagian besar ilmu manajemen yang berparadigma positivistik. Dalam konteks organisasi, teori ini memandang organisasi sebagai sebuah organisme yang memiliki berbagai macam fungsi yang terstruktur. Struktur fungsi tersebut kemudian membentuk sebuah sistem sosial yang memiliki nilai dan norma tertentu untuk memotivasi tindakan.
Teori yang dikembangkan oleh Talcott Parsons (1902-1979) ini menginginkan adanya keseimbangan sistem melalui sosialisasi dan internalisasi nilai dan norma sebagai persyaratan utama. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah terwujudnya sebuah keteraturan sosial. Segala sesuatu yang berpotensi mengganggu atau menyimpang dari keteraturan mesti dikendalikan. Pengendalian ini diwujudkan melalui stratifikasi struktur yang hierarkis.
Dalam teori ini, kultur (budaya) dipandang sebagai sistem nilai yang terpola, teratur, yang menjadi sasaran orientasi para individu, aspek kepribadian yang terinternalisasi, dan pola-pola yang terlembagakan dalam sistem sosial. Dengan kata lain, budaya menengahi interaksi antar individu, mengintegrasikan kepribadian, dan menyatukan sistem sosial.
Dalam praktiknya di organisasi, sebagai contoh, nilai profesional bekerja telah diidentifikasi secara pasti oleh struktur. Nilai tersebut kemudian diinternalisasikan kepada seluruh anggota organisasi melalui pola-pola pembiasaan bekerja menurut standar profesionalitas.
Jika terdapat perilaku menyimpang dari standar, maka perilaku tersebut dianggap mengganggu fungsi dan keseimbangan struktur. Oleh karenanya, perilaku tersebut perlu dieliminasi.
Atas dasar itulah justru teori ini memiliki berbagai kelemahan sebagaimana telah dikritik oleh para pakar sosiologi sesudahnya. Kritik yang mendasar adalah adanya keinginan yang menggebu untuk mewujudkan keteraturan. Atas hal tersebut, teori ini dinilai tidak mengakui adanya perubahan sosial secara dinamis.
Objek penerima sosialisasi nilai dan norma difungsikan sebagai aktor yang pasif. Sosialisasi dikonsepsikan secara konservatif, yakni menginternalisasikan nilai dan norma tanpa mengakui otonomi para individu di komunitasnya. Keteraturan yang diinginkan telah membelenggu kuasa diri anggota komunitas.
Meskipun nilai dan norma diinternalisasi secara sadar, akan tetapi perhatian utama teori ini adalah sistem sebagai satu kesatuan ketimbang kumpulan individu dalam sistem. Artinya, teori ini lebih memandang sebuah komunitas sebagai satu tubuh, bukan kumpulan tubuh individu yang dapat menciptakan dan memelihara sistem sosial.
Dalam kondisi sedemikian, teori ini justru akan merangsang terjadinya mal-integrasi dalam sistem sosial. Itulah mengapa, teori ini kurang dapat menjawab sekaligus mengatasi munculnya konflik dalam pembentukan budaya di komunitas sosial.
Teori Interaksionisme Simbolik
Berbeda dengan fungsionalisme struktural, teori yang diusung oleh George Herbert Mead (1863-1931) ini lebih menitikberatkan pada kapasitas mental aktor dan hubungannya dengan interaksi. Paradigma yang diusung oleh interaksionisme simbolik adalah interaksi manusia dipahami dari sudut proses berpikir secara aktif.
Interaksi dipahami sebagai proses di mana kemampuan berpikir manusia dikembangkan dan diperlihatkan. Pemikiran akan membentuk interaksi yang memerlukan proses mental, bukan struktur. Artinya, internalisasi nilai dan norma tidak dapat berjalan jika dipaksakan oleh sebuah struktur.
Interaksi tersebut juga memerlukan adanya simbol untuk diberi makna. Dengan simbol, manusia bertindak dengan cara khas manusia. Karena adanya simbol, manusia tidak memberikan respons secara pasif terhadap realitas, tetapi aktif mencipta ulang dunia di tempat mereka berperan.
Simbol yang dimaksud adalah objek sosial yang digunakan manusia untuk merepresentasikan sesuatu. Simbol dapat berupa benda fisik, tindakan fisik, maupun kata-kata. Pemaknaan simbol bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, melainkan berasal dari interaksi. Jadi, perhatian bukan dipusatkan pada bagaimana proses mental mengartikan simbol, tapi bagaimana manusia mempelajari selama ada interaksi/selama proses sosialisasi.
Sosialisasi dalam teori ini bukan sekedar memberi informasi satu arah yang kemudian dapat berpengaruh pada tindakan para individu, melainkan lebih kepada merangsang kemampuan berpikir manusia untuk mengembangkan cara hidup mereka. Sosialisasi adalah proses dinamis di mana para individu menyesuaikan informasi dengan kebutuhan mereka.
Dalam mempelajari sesuatu tersebut, manusia juga akan memperhatikan situasi nyata (pengalaman) yang dialaminya, yang bisa jadi terkait dengan infrastruktur yang secara eksternal mempengaruhi proses berpikirnya.
Selain itu, individu akan memiliki arti yang banyak dan berbeda akan adanya informasi yang datang kepadanya. Perlu ada definisi jelas terhadapnya yang kemudian disepakati bersama melalui proses interaksi.
Sebagai contoh di organisasi, profesionalitas sebagai nilai juga sebetulnya adalah simbol yang dapat dimaknai secara beragam oleh banyak individu. Mereka akan menangkap makna profesional melalui interaksi sosial, bukan pemaksaan definisi dan standar oleh suatu struktur tertentu.
Tangkapan makna ini dapat menemui kesepakatan melalui pemikiran mereka, komunikasi melalui bahasa dalam interaksi, yang kemudian menjelma menjadi tindakan kongkrit.
Apa yang dilakukan oleh organisasi melalui teori ini adalah menciptakan dan memelihara interaksi antarindividu dalam komunitas. Menstimuli para individu untuk berpikir dan berinteraksi menjadi hal yang lebih penting dibanding memaksakan nilai dan norma melalui ancaman dan labelisasi.
Dari pembahasan teori ini, budaya dapat diartikan sebagai proses interaksi dalam pemaknaan simbol yang secara aktif dicipta ulang dan kemudian mempengaruhi tindakannya. Salah satu konsep manajemen dalam pengembangan budaya organisasi yang menurut saya mengarah pada teori ini adalah konsep Organisasi Pembelajar (Learning Organization) yang dikembangkan oleh Peter Senge.
Kajian Budaya (Culture Studies)
Adapun Culture Studies, bukanlah suatu teori yang monolitik seperti dua teori di atas. Alih-alih berdiri sebagai sebuah teori, ia adalah sebuah pandangan/mahzab/aliran yang membentang yang tujuannya mengisi celah-celah pemahaman yang tidak terlihat oleh para pakar sosiologi atau budaya, termasuk pada dua teori sebelumnya.
Kajian ini terus berkembang, dan kini tetap menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri yang cukup banyak diminati dan digunakan oleh pakar sosiologi dan budaya.
Kajian yang dipelopori oleh Richard Hoggart, Raymond Williams, dan Stuart Hall di tahun 1964, yang pusat pengembangan kajiannya dikenal dengan Centre for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham **ini, memandang budaya tidak secara estetis, tetapi lebih kepada praktik hidup sehari-hari yang penuh dengan pergumulan atau konflik.
Itulah mengapa, kajian budaya ini memandang budaya secara politis. Artinya, budaya sengaja dibentuk/dikonstruksi oleh sekumpulan aktor tertentu yang kemudian akan direspons oleh sasarannya dengan berbagai macam bentuk.
Ia akan memproduksi dan mereproduksi hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kajian ini, budaya tidak akan membentuk sebagai sebuah keteraturan, melainkan bergerak secara dinamis dari satu keseimbangan menuju keseimbangan lainnya.
Budaya lebih dipandang sebagai arena konsensus sekaligus resistensi. Budaya adalah tempat makna bersirkulasi, dari proses produksi, konsumsi, regulasi, dan reproduksi. Di dalam proses pemaknaan juga akan terjadi pergumulan ideologi, karena makna yang dikonsumsi belum tentu sama dengan yang dikehendaki oleh produsen makna. Proses pemaknaan inilah yang disebut dengan representasi, sebagai salah satu pusat perhatian kajian.
Dengan demikian, suatu budaya di komunitas akan menemui keseimbangannya justru ketika konsensus menemui resistensi, ketika satu ideologi berpapasan dengan ideologi lainnya. Budaya menjadi sebuah proses negosiasi yang berlangsung terus menerus dalam interaksi sosial.
Di sinilah kajian budaya menemui ciri khasnya, yakni mencermati lekatnya budaya dengan kuasa (power). Melalui kajian ini, budaya tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berada di ruang hampa. Artinya, sebuah pembentukan budaya jelas tidak lepas dari kepentingan sekelompok aktor tertentu, yang kemudian melalui proses representasi, kepentingan tersebut menjadi jelas terlihat dan ditentang.
Culture Studies Peduli pada Pengalaman Nyata
Justru di situlah letak kekuatan kajian ini, karena pengalaman nyata para individu (subjektivitas) diletakkan sebagai sentral kajian. Tidak seperti teori manajemen pada umumnya yang justru meminggirkan pengalaman nyata individu demi pandangan objektifnya yang serba menginginkan keteraturan.
Misal tentang profesionalitas di birokrasi pemerintahan, kata ‘profesionalitas’ sebagai sebuah nilai dapat dimaknai oleh para pegawai sebagai suatu hal yang terkesan diskriminatif. Kesan tersebut didapati dari berbagai pengalaman nyata yang dirasakan sehari-hari oleh pegawai.
Sebagian kelompok pegawai yang telah merasa menerapkan standar profesionalitas merasa diperlakukan tak sama dengan kelompok lain yang juga menerapkan standar profesionalitas yang sama.
Makna profesionalitas bergeser dari ‘penerapan keahlian yang dimiliki yang digunakan dalam pelaksanaan tugas’, menjadi bekerja banting tulang dengan imbalan seadanya. Hal itu dipengaruhi oleh adanya tunjangan kinerja (tukin) yang berbeda-beda diterima oleh para pegawai, yang secara kultural, tukin merupakan sebuah simbol profesionalitas.
Munculnya istilah baru, yakni PGPS (penghasilan government pekerjaan swasta), juga ‘kemensultan’ dan ‘umbi-umbian’ adalah beberapa contoh simbol budaya yang muncul dari pemaknaan profesionalitas.
Sekelompok pegawai dengan rentang usia tertentu yang merepresentasikan dirinya dengan istilah ‘umbi-umbian’ mencoba ‘melawan’ budaya dominan di birokrasi. Mereka juga ‘melawan’ narasi dominan tentang profesionalitas pegawai dengan cara yang sangat kultural, yakni melalui proses pemaknaan tertentu dalam percakapan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, sekelompok pegawai ini memunculkan apa yang disebut oleh kajian budaya sebagai sebuah sub-culture, yakni budaya tertentu yang menjadi bagian dari budaya dominan. Sub-culture ini nantinya dapat membawa sebuah keseimbangan baru dalam budaya birokrasi.
Demkianlah kajian budaya, ia bertugas mencermati berlangsungnya warna-warna budaya melalui ceruk yang selama ini jarang terlihat dan diperhatikan.
Jika kajian ini ditarik dalam pengembangan budaya organisasi, maka paradigma yang semestinya muncul adalah bukan hanya menghargai keaktifan pemikiran individu, akan tetapi juga menghargai perbedaan pengetahuan, ideologi, serta pengalaman nyata sebagai latar belakang pemikiran dan tindakan.
Selain itu, melalui kajian budaya, kita menjadi semakin peka dengan simbol-simbol, baik simbol yang sengaja dibentuk maupun simbol baru yang muncul dalam proses sosialisasi budaya.
Dengan demikian, melalui kajian budaya, pengembangan budaya di organisasi akan berlangsung lebih cair, lebih arif dan bijaksana, terutama tidak selalu bersikap anti pada resistensi. Hal itu dikarenakan resistensi selalu inheren dalam setiap interaksi sosial. Resistensi justru dapat menghadirkan warna baru dalam sebuah sistem di organisasi.
Epilog
Akhir kata, ketiganya saya hadirkan dalam tulisan ini sebagai gambaran perjalanan paradigma yang dapat berguna untuk memahami kembali budaya organisasi.
Secara praktis, teori interaksionisme simbolis dapat digunakan dalam pengembangan budaya di organisasi masa kini. Teori tersebut berfungsi untuk mendudukkan kembali arti dan fungsi budaya dalam organisasi, sekaligus digunakan untuk melakukan berbagai pembenahan.
Pembenahan yang dimaksud adalah berbenah diri setelah selama ini pemahaman budaya organisasi banyak dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural, yang terbukti memiliki banyak kelemahan.
Adapun kajian budaya (culture studies), dapat digunakan sebagai proses reflektif bagi elite organisasi yang bermaksud menata organisasi melalui serangkaian pendekatan budaya. Proses reflektif tersebut berfungsi agar budaya di organisasi dikembangkan melalui cara-cara hidup manusia yang sejatinya, yang justru akan berdampak positif terhadap efektivitas sosialisasi nilai-nilai budaya di organisasi.
Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].
0 Comments