“Gimana portofolio lu hari ini?”
“Wah hari ini parah nih, hampir semuanya merah! Lu gimana?”
“Sama aja bro!”
Obrolan seperti ini bukan hal yang asing terdengar di sela-sela percakapan anak-anak muda dalam kurun waktu setahun belakangan ini. Topik tentang investasi, khususnya soal saham tiba-tiba menjadi akrab di kehidupan masyarakat Indonesia berbarengan dengan pandemi yang melanda negeri.
Tak ketinggalan para ASN millennials pun ikut meramaikan dunia investasi saham. Tentu animo yang besar ini merupakan hal yang positif bagi perekonomian Indonesia. Nah, pertanyaannya, apakah investasi ini bakal berdampak positif juga bagi perekonomian para ASN millennials itu? Jawabannya, belum tentu.
Investasi Berisiko Tinggi
Investasi saham dikategorikan sebagai salah satu jenis investasi yang berisiko tinggi. Tentu risikonya bisa positif atau negatif. Artinya saham yang kamu beli harganya bisa melonjak naik atau bisa terjun bebas tak berbatas. Oleh karena itu, pemahaman kita soal saham tentu juga harus cukup.
Untuk tahu saham apa yang harus dibeli tentu juga harus tahu perusahaannya seperti apa, bagaimana kinerjanya. Kita beli bukan cuma untuk gaya-gayaan kan ya? Jangan sampai kita memilih saham karena ikut-ikutan teman, atau karena namanya lucu, misalnya SBAT.
Karena kata Komika Yudha Keling, jika dibaca akan terdengar mirip istilah sebat yang digunakan dalam kalimat “sebat dulu ya”, yang artinya merokok satu batang dulu.
Analisis Fundamental Jadi Dasar
Banyak indikator-indikator yang bisa kita gunakan untuk menentukan saham mana yang berpotensi dapat memberi kita cuan. Indikator-indikator itu dapat kita peroleh dari berbagai analisis. Dua analisis yang familiar kita dengar mungkin analisis fundamental dan teknikal.
Dalam tulisan ini, kita akan fokus membahas tentang salah satu indikator dalam analisis fundamental. Secara definisi, analisis fundamental adalah teknik analisis untuk melihat kinerja keuangan perusahaan yang dilakukan mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan menggunakan alat ukur rasio keuangan yang ada di laporan keuangan.
Saya menyarankan agar kita paham dulu analisis fundamental, baru nantinya melengkapi ilmu soal analisis teknikal. Namanya juga fundamental, artinya kita harus punya pondasi yang kokoh dulu kan?
Rasio yang digunakan ada berbagai jenis, ada current ratio, debt to equity ratio, Earnings per Share (EPS), Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE) dan masih banyak lagi. Indikator-indikator ini bisa pembaca pelajari diberbagai sumber di internet. Dalam beberapa dekade terakhir, kinerja perusahaan sering dilihat melalui perspektif keuangan yang bersumber dari laporan keuangan.
Dari informasi itu, pihak-pihak terkait akan melakukan perhitungan dan analisis dengan berbagai indikator pengukuran seperti profit margin ratio yang didapatkan melalui perbandingan antara net income dengan sales (total pendapatan/penjualan).
Interpretasi dan Analisis
Perbandingan ini menggambarkan bagaimana efektivitas perusahaan meminimalkan beban-beban operasi sehingga nilai keuntungan (net income) tidak jauh dari total penjualannya (sales). Misalnya, Perusahaan B pada tahun 2020 menghasilnya penjualan dari operasi bisnisnya sebesar Rp100 miliar, dan keuntungan bersihnya sebesar Rp20 miliar.
Melalui perhitungan profit margin ratio, diperoleh angka 20%. Artinya, 20% dari penjualan yang diterima oleh perusahaan B dapat dikonversi menjadi keuntungan bersih. Tidak ada nilai yang menjadi batas minimal atau ideal, namun dapat dipahami bahwa semakin besar persentase rasionya maka lebih efektif kinerja perusahaan dalam menekan biaya-biaya operasionalnya.
Rasio lainnya yang juga sangat populer adalah Return on Assets atau ROA. ROA hampir sama dengan profit margin, hanya perbedaannya adalah dalam pengukuran ini net income dibandingkan dengan total aset perusahaan.
Dalam indikator ini, perusahaan dapat dinilai melalui seberapa efektif perusahaan menggunakan asetnya untuk mendapatkan keuntungan. Kedua pengukuran ini sangat populer digunakan sebagai alat ukur kinerja keuangan perusahaan, sampai beberapa pihak mulai memahami kekurangan pengukuran ini.
Banyak pihak menyadari bahwa laporan keuangan sangat rentan dimanipulasi oleh manajemen. Misalnya, bisa saja untuk memperoleh angka yang besar dalam *net income-*nya, perusahaan dengan sengaja mencatat penjualan yang lebih besar dari seharusnya, atau sengaja menahan pengeluaran yang seharusnya dimasukkan dalam periode tersebut.
Meningkatnya Popularitas Tobin’s Q
Mulai turunnya ‘popularitas’ kedua rasio tersebut untuk digunakan sebagai alat ukur perusahaan memunculkan alat ukur dengan perspektif yang berbeda. Pengukuran itu dikenal dengan sebutan Tobin’s Q ratio, yang pertama kali diperkenalkan oleh Nicholas Kaldor pada tahun 1966.
Kaldor memperkenalkan rasio ini dalam artikelnya “Marginal Productivity and the Macro-Economic Theory of Distribution: Comment on Samuelson and Modigliani“. Dua tahun kemudian, rasio ini diperkenalkan kembali oleh James Tobin (1968), seorang ekonom Amerika yang memenangkan Nobel Memorial Prize in Economics pada tahun 1981 untuk analisis pasar keuangan dan secara khusus untuk pengembangan teori pemilihan portofolio.
Tobin merumuskan bahwa nilai pasar gabungan (combined market value) dari semua perusahaan di pasar saham harus sama dengan biaya penggantian (replacement costs) mereka. Rasio Q dihitung sebagai nilai pasar (market value) suatu perusahaan dibagi dengan nilai pengganti (replacement value) aset perusahaan.
Pada awalnya, Tobin’s Q diperoleh melalui perhitungan:
Namun, perhitungan ini kemudian disimplifikasi karena tidak mudah memperoleh nilai pasar dari utang perusahaan, sehingga perhitungannya diubah menjadi:
Market value diperoleh melalui:
Total Nilai Pasar (Total Market Value) digunakan untuk mengacu pada kapitalisasi pasar atas perusahaan yang diperdagangkan secara publik, diperoleh melalui pengalian jumlah saham perusahaan yang beredar dengan harga saham saat ini (untuk perhitungan ini digunakan harga saham pada tanggal 31 desember tahun tersebut).
Sebagai gambaran, sebuah perusahaan Maju Mundur tercatat memiliki market value sebesar Rp6 miliar, total hutang (liabilities) sebesar Rp.4 miliar, dan total aset sebesar Rp10 miliar. Maka melalui perhitungan Tobin’s Q diperoleh rasio sebesar 1 (satu).
Nilai ini menggambarkan bahwa perusahaan tersebut telah dinilai sama antara nilai perusahaan tercatat dengan nilai perusahaan di pasar. Jika hasil dari rasio tersebut dibawah 1 (satu) maka berarti perusahaan tersebut undervalued atau di pasar nilai perusahaan dibawah nilai tercatat.
Sebaliknya, jika rasionya diatas 1 (satu) artinya perusahaan tersebut dinilai lebih tinggi di pasar daripada nilai perusahaan tercatat (overvalued).
Sebagai contoh, Ace Hardware, selama tahun 2013, 2014, dan 2015 berturut-turut memperoleh nilai rasio Tobin’s Q sebesar 4.37, 4.83, dan 4.59. Artinya, di pasar saham Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan retail tersebut dinilai empat kali lipat dari nilai buku perusahaan.
Contoh sebaliknya, Ristia Bintang Mahkotasejati (RBMS), selama periode yang sama memperoleh rasio sebesar 0.38, 0.34, dan 0.19. Nilai ini menggambarkan pada tahun 2013 dan 2014, di mata pasar, RBMS hanya dinilai sepertiga dari nilai buku perusahaannya. Bahkan semakin buruk di tahun 2015, seperlimanya.
Memahami Lebih Dalam Tobin’s Q
Melalui penjelasan dan contoh di atas, Tobin’s Q memiliki keunggulan. Berbeda dari Profit Margin, ROA atau indikator keuangan yang berdasarkan pada historical accounting performance lainnya, Tobin’s Q merefleksikan ekspektasi pasar sehingga relatif bebas dari kemungkinan manipulasi oleh manajemen perusahaan.
Nilai Tobin’s Q dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, jika pembaca berjiwa trader, artinya berinvestasi untuk mendapatkan cuan jangka pendek, dapat mengartikan perusahaan yang undervalued sebagai perusahaan potensial.
Seorang pakar ekonomi dan investasi asal Amerika Serikat, Frank J. Fabozzi, menjelaskan bahwa suatu saham undervalued akan cenderung bergerak menuju nilai intrinsiknya. Nilai intrinsiknya di sini adalah fair value atau nilai wajar dari saham tersebut, maka potensi kenaikan nilai saham jauh lebih besar.
Namun, menyikapi ini perlu kehati-hatian, karena perlu dikombinasi dengan analisis fundamental lainnya. Pada perspektif keduanya, duo peneliti asal Negeri Jiran, Tahir dan Razali, menyatakan bahwa melalui rasio Q, sebuah perusahaan dikatakan telah berhasil menciptakan value jika return of investment lebih besar daripada cost of investment-nya, disebut juga perusahaan yang overvalued.
Sebaliknya, perusahaan disebut gagal mencapai tujuan value-maximising jika nilai dari Q lebih kecil dari 1 (satu). Hal ini juga yang memberikan penjelasan bahwa perusahaan yang undervalued belum tentu potensial.
Bisa jadi, perusahaan tersebut mungkin tidak memiliki prospek bisnis yang tumbuh di masa depan atau kurang likuid. Artinya, di satu sisi perusahaan dengan saham undervalued dianggap potensial, tetapi di sisi lain bisa saja hal itu terjadi karena pasar tidak menaruh kepercayaan terhadap perusahaan tersebut.
Kuncinya, kumpulkan informasi lalu lakukan analisis dari berbagai sisi, insyaAllah apapun hasilnya nanti tidak membuat sakit hati. Selamat Berinvestasi para ASN Masa Kini.
Sumber:
- http://www.investopedia.com/terms/q/qratio.asp
- https://absel-ojs-ttu.tdl.org/absel/index.php/absel/article/viewFile/715/684
- https://diskartes.com/2021/01/rasio-analisis-saham/
- https://diskartes.com/2021/03/mengenali-saham-undervalued/
- Tahir, I. M., and A. R. Razali. (2011), “The Relationship between Enterprise Risk Management and Firm Value: Evidence from Malaysian Public Listed Companies”. International Journal of Economics and Management Sciences, 1(2): 32-41.
- Nilai Tobin’s Q diolah dengan sumber data Datastream Thomson Reuters tahun 2013-2015
0 Comments