Melek Literasi Digital di Ujung Jari Ibu

by Fatma Ariana ◆ Active Writer | May 6, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Tahun 2020-2021 menjadi tahun yang istimewa untuk kita semua. Utamanya untuk kaum ibu. Semenjak pandemi melanda 2 tahun lalu, ibu-ibu mendadak bertambah perannya, atau bisa dibilang dipaksa bertambah peran, sekaligus skillnya. Dari semula hanya ibu rumah tangga atau ibu bekerja, sekarang bertambah peran menjadi guru dan penjual online.

Literasi Digital Di Era Pandemi

Cara belajar anak-anak yang semula konvensional secara tatap muka, ketika PPKM diterapkan harus berubah menjadi online. Otomatis, orangtua –dan mayoritas di antaranya adalah kaum ibu– harus cepat menguasai teknologi, dari memantau tugas dan materi pelajaran di Whatsapp, mengoperasikan gadget untuk meeting online, sampai mempelajari aplikasi tertentu untuk mengolah foto atau dokumen menjadi laporan perkembangan belajar anak untuk kemudian disetor kepada gurunya.

Pengalaman saya mendampingi anak-anak belajar di rumah (anak usia SD dan TK), minimal harus rajin memantau pengumuman guru di Whatsapp grup kelas, harus mulai familiar dan menguasai cara penggunaan aplikasi semacam zoom dan google meet, dan sedikit demi sedikit belajar membuat kolase foto, pun harus pintar-pintar membujuk dan mengondisikan anak agar saat membuat video atau foto untuk penugasan sekolah dapat menggambarkan pemenuhan tugas sesuai arahan gurunya.

Ibarat kata, dalam pelaporan tugas sekolah online ini ibu harus menjadi penulis naskah, pengarah gaya, fotografer, kamerawoman, sutradara, sampai editornya sekaligus.

Tak cukup sampai di situ, seakan peran guru, operator, dan sutradara masih dirasa kurang, banyak di antara teman saya yang mendadak menjadi penjual online, kebanyakan menjual makanan jadi hasil olahan sendiri dan dipasarkan lewat  Whatsapp. Luar biasa.

Indonesia Dalam Pusaran Literasi Digital Di Dunia          

Dengan atau tanpa adanya pandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi pengguna internet terbesar di dunia. Menurut laporan We Are Social, terdapat 204,7 juta pengguna internet di tanah air per Januari 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, 62,10 persen penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas mengakses internet dalam kuartal pertama 2021, terjadi peningkatan sekitar 16 persen dibanding periode yang sama pada 2020.

Data tersebut menunjukkan bahwa interaksi penduduk Indonesia dengan dunia digital terbilang cukup tinggi, atau dengan kata lain, mayoritas penduduk sudah sedemikian akrab dengan media digital. Permasalahannya, apakah tingginya angka penggunaan perangkat dan akses konten digital tersebut sekaligus menunjukkan tingginya literasi digital masyarakat kita?.

Jika ukurannya hanya sekedar keterampilan teknis dalam menggunakan perangkat dan mengakses konten digital, bisa jadi jawabannya “ya”. Namun, jika kecakapan dalam mengendalikan dampak yang timbul akibat penggunaan media digital menjadi ukuran, kecakapan literasi masyarakat kita masih patut dipertanyakan.

Pandemi memang berhasil memaksa kita menguasai keterampilan teknis dalam menggunakan perangkat dan mengakses konten digital dalam waktu singkat, akan tetapi kita, kaum ibu, sebagai garda utama dalam pengasuhan anak dan pihak yang paling banyak berinteraksi dengan anak dituntut harus juga melek literasi digital.

Kaum Ibu yang Rentan

Menurut Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo (Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia), ditemukan sebuah data yang diambil dari penelitian-penelitian kampus Indonesia yang menyebutkan bahwa usia yang paling rentan terkena berita hoaks adalah usia di atas 35 tahun, dimana pada usia tersebut, mayoritas sudah menjadi orangtua.

Lalu jika dibandingkan sesuai gender, perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan pria sebagai penyebar berita hoaks. “Berusia di atas 35 tahun” dan “Perempuan”. Lengkap sudah. Kriteria yang “ibu-ibu banget”.

Tradisi bersosialisasi yang berubah, yang tadinya tatap muka berubah menjadi online lewat grup-grup Whatsapp membuat kaum ibu yang sejak dulu kala dianggap sebagai biang gosip, kini dianggap sebagai bagian dari penyebaran berita hoaks.

Makanya, tak jarang kita jumpai joke satir di media sosial, kalau ada berita yang terkesan bombastis, biasanya akan ada netizen yang berkomentar: “Jangan sampai Emak gue tahu nih,” atau “Wah, berita ini jangan sampai tersebar di grup WA keluarga, bisa rame”. Harus diakui, kaum ibu memang rentan menjadi korban sekaligus pelaku penyebaran berita hoaks.

Lho, ibu-ibu jadi pelaku? Kok bisa? Tahun 2018, dari 16 pelaku penyebar hoaks penculikan anak yang ditangkap Polisi, ironisnya mayoritas pelaku adalah ibu rumah tangga yang tersebar di Tasikmalaya, Sukabumi, Blitar, sampai Makassar.

Tahun 2020, dari 5 kasus penyebaran hoaks tentang Covid-19, 2 di antaranya melibatkan ibu rumah tangga di Lampung dan Surabaya, dan salah satunya melibatkan anggota DPD RI yang seorang perempuan dan seorang ibu. Para pelaku ini menyebar menyebarkan hoaks lewat media sosial mereka baik itu lewat Whatsapp, Facebook, atau Twitter.

Motifnya kebanyakan hanya karena iseng dan juga kekhawatiran berlebihan. Hal ini tentu memprihatinkan, hoaks meski sering disepelekan, bisa memicu tindakan kriminalitas bahkan sampai kerusuhan sosial.

Bayangkan, jika para ibu, yang sehari-hari berkutat langsung dengan pengasuhan dan pendidikan anak, terus menerus dicekoki berita hoaks dan tidak bisa memilih dan memilah informasi mana yang baik dan benar bahkan dengan mudahnya membagikan berita hoaks yang menyebarkan keresahan dan ketakutan di masyarakat, akan jadi apa anak-anak kita di masa depan?

Mengapa Kaum Ibu Harus Melek Digital?

Kemudahan mengakses internet mengakibatkan kita dibanjiri begitu banyak informasi. Hanya lewat ujung jari, kita bisa mencari informasi tentang apapun. Perkembangan teknologi tidak bisa dibendung, namun pilihan untuk memilah dan memilih informasi yang baik dan benar ada di tangan kita.

Anak-anak juga tak luput dari hal ini. Anak-anak masa kini akrab dengan sosial media dan Youtube. Semakin banyaknya konten-konten negatif bahkan kejahatan di dunia maya juga mengincar anak-anak kita. Sebagai ibu, tentu sudah menjadi tugas kita untuk menyaring konten-konten apa saja yang baik dan bermanfaat untuk anak-anak kita.

Media sosial juga seharusnya tak membuat kita keblinger membagikan hal-hal yang sifatnya privasi ke ranah publik. Bijak bermedia sosial dengan hanya membagikan hal-hal yang bermanfaat dan bahkan bisa berkarya, membanjiri ruang digital dengan konten positif dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan ekonomi seperti berjualan hasil masakan yang diunggah ke media sosial seperti yang dilakukan teman-teman saya.

Menurut Lila Nirmandari, CFO Elevania, penjual online di Indonesia sejumlah 23% adalah perempuan dan 60% dari penggerak Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah juga perempuan, namun sayang belum menggunakan koneksi digital untuk penjualannya, padahal menurut riset KIC-Kredivo, KIT, dan Tokopedia, transaksi di e-commerce didominasi oleh perempuan.

Hal ini menunjukkan jika perempuan, utamanya kaum ibu mau dan dapat memanfaatkan teknologi digital ini dengan optimal, peran perempuan dalam menjadi motor penggerak jual beli online sekaligus penopang ekonomi sektor riil di Indonesia tidak dapat disepelekan.

Hal ini sejalan dengan pesan Presiden dalam peluncuran Program Literasi Digital Nasional tahun 2021 lalu. Presiden menyampaikan bahwa keberadaan koneksi digital harus dapat memberikan manfaat dan nilai tambah bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan meningkatkan produktivitas masyarakat dan membuat UMKM naik kelas sehingga bisa memberi nilai tambah ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat.

Menilik fakta-fakta di atas, tak berlebihan rasanya jika kecakapan literasi digital seharusnya menjadi kewajiban bagi kaum ibu. Ibu yang melek literasi digital akan mampu menjadi pendamping utama pendidikan putra putrinya. Ibu yang melek literasi digital akan mampu membentengi keluarganya dari informasi yang menyesatkan dan konten-konten negatif.

Ibu yang melek literasi digital akan menjadi inspirator dan kreator konten positif yang mampu membagikan ide, gagasan, dan informasi yang bermanfaat bagi sekitarnya. Ibu yang melek literasi dapat menjadi motor penggerak ekonomi keluarga bahkan mampu menopang ekonomi negara. Mari Bu, belajar terus untuk menjadi ibu yang berdaya. Surga di telapak kakimu. Indonesia yang melek literasi digital ada di ujung jarimu.   

5
0
Fatma Ariana ◆ Active Writer

Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.

Fatma Ariana ◆ Active Writer

Fatma Ariana ◆ Active Writer

Author

Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post