Usai dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia di periode keduanya tahun 2019 – 2024 Presiden Jokowi memberikan pidato yang menarik untuk dicermati. Pidato yang disampaikan di gedung parlemen tersebut berisi garis besar rencana kerjanya selama lima tahun mendatang.
Sebagai seorang birokrat, tentu saya lebih berfokus pada bagian pidato yang menyinggung apa yang terjadi pada birokrasi di Indonesia. Presiden merasakan bahwa birokrasi Indonesia hanya sekadar melaksanakan tugas dan kewajiban menjalankan program dan kegiatan. Artinya, program dan kegiatan dianggap tuntas manakala selesai sesuai alokasi anggaran dan sudah ada laporan akuntabilitasnya, tanpa melihat hasil atau outcome-nya terhadap masyarakat.
Dalam hal ini Presiden menyatakan, “Setelah dicek di lapangan, setelah saya tanya ke rakyat, ternyata masyarakat belum menerima manfaat. Ternyata rakyat belum merasakan hasilnya.” Sebab itu, lebih lanjut Presiden Jokowi menngingatkan bahwa program dan kegiatan yang dikerjakan oleh birokrasi atau aparatur pemerintah harus mengutamakan hasil, bukan proses.
Dalam Pidato tersebut Presiden juga menganalogikan kinerja birokrasi dengan pengiriman pesan singkat, yaitu berhasil jika kinerja kita delivered, bukan sebatas sent. Artinya tercipta kemanfaatan program pemerintah untuk masyarakat.
Revolusi Industri 4.0 dan Penerapan Government 3.0 di Korea
Dalam Revolusi Industri, kita mengenal Revolusi Industri dari 1.0., 2.0, 3.0, sampai dengan 4.0. Revolusi Industri 1.0 ditandai dengan penemuan mesin uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin uap ini.
Revolusi Industri 2.0 terjadi dengan penemuan tenaga listrik. Mesin uap pun berganti dengan mesin listrik. Revolusi Industri 3.0 dimulai dengan penemuan mesin bergerak otomatis, yaitu komputer dan robot.
Terakhir, Revolusi Industri 4.0 dimulai dengan tren dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber, yang memungkinkan penanaman teknologi cerdas yang dapat terhubung dengan berbagai bidang kehidupan manusia.
Bila Revolusi Industri pasti bergerak maju dan tak dapat mundur lagi, bagaimana dengan sistem pemerintahan atau sistem birokrasi?
Saat ini, kita mengenal sistem pemerintahan sudah mencapai level 3.0 atau di dunia dikenal dengan istilah Government 3.0. Menurut Alamsyah Saragih, Tahapan pertama (Government 1.0) adalah fase di mana pemerintah berjalan berdasarkan suatu pengambilan keputusan secara terpisah.
Informasi atas penyelenggaraan dilakukan sepihak dan publik hanya dapat menerima hasil akhir tanpa mampu mempengaruhi lebih dari sekedar feedback. Inilah bentuk akuntabilitas statik.
Periode ini terjadi pada rezim tertutup. Sedikit lebih maju dari tahap ini adalah diperkenalkannya metode-metode pooling atau mekanisme penanganan pengaduan online dalam penyelenggaraan negara.
Generasi kedua (Government 2.0) ditandai dengan bergesernya posisi penyengggaraan negara menjadi lebih fasilitatif dalam pengambilan keputusan. Interaksi antara elemen masyarakat (pasar dan masyarakat sipil) dalam forum-forum pengambilan keputusan menjadi lebih interaktif dan memasuki tahap perumusan kebijakan hingga tahap pelaksanaan.
Pola-pola kolaborasi berkembang di suatu ruang yang bernama negara. Inilah yang menjadi pertanda dari tahap kedua, negara sebagai media sosial. Pascareformasi, situasi ini mulai terjadi di berbagai sektor di Indonesia namun masih bersifat artifisial. Tahap ini ditandai dengan sistem akuntabilitas sosial yang semakin dinamis.
Tahap ketiga (Government 3.0) akan ditandai dengan terintegrasinya masing-masing platform tiap sektor pengambilan keputusan menjadi satu platform besar, yakni negara.
Generasi ini ditandai dengan kehadiran suatu aplikasi yang terkoneksi dengan aplikasi lain di cabang-cabang kelembagaan negara. Jika semula relasi dibagi menjadi tiga elemen: negara, pasar dan masyarakat sipil, maka pada generasi ini negara telah menjadi platform besar yang semakin co-managed oleh kedua elemen, yakni pasar dan masyarakat sipil.
Ke depan negara bukan saja telah menggeser berbagai informasi dan data pemerintah ke ruang publik, tapi negara telah mulai menjadi ruang publik itu sendiri.
Republik Korea saat ini tengah mengimplementasikan sistem Government 3.0 atau disingkat dengan Gov 3.0. Melalui Gov 3.0 diharapkan peran civil society akan semakin kuat karena saluran untuk menyalurkan aspirasi dengan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) semakin terbuka lebar. Jadi, Gov 3.0 tidak lepas dari Revolusi Industri 4.0.
Gov 3.0 pada Pemerintahan Republik Korea yang bertujuan menyediakan layanan publik sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap individu dan dapat memfasilitasi penciptaan lapangan kerja, serta berkembangnya ekonomi kreatif. Hal ini dicapai dengan membuka akses dan membagi informasi publik serta menghilangkan sekat-sekat birokrasi antar kementerian/departemen.
Pemerintah Republik Korea membangun sistem pelayanan yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Dalam perencanaannya, masyarakat diminta memberikan masukan mengenai pelayanan yang mereka inginkan.
Salah satu bentuk nyata dari proses tersebut adalah layanan “Happy Childbirth One Stop Service”, di mana ibu yang membutuhkan biaya untuk melahirkan bisa mendapatkan dana tambahan yang bisa diurusi melalui satu pintu saja. Unit ini mampu memangkas 9 perizinan yang semula ada.
“Untuk mewujudkan hal di atas, kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan partisipasi masyarakat juga menjadi elemen penentu dalam perubahan tersebut. Perubahan yang seperti itu dapat terjadi dengan adanya kepemimpinan yang kuat, hasrat masyarakat yang terus diperlihatkan, serta PNS yang mau berkonsentrasi“, Ujar Hong Yun-Sik, Menteri Dalam Negeri Korea dalam suatu kesempatan.
Presiden Korea Park Geun-hye dalam acara Government 3.0 Expo di Seoul (20/06/2016) mengatakan bahwa dia telah melihat beberapa perubahan yang dibuat selama beberapa tahun terakhir dimana pegawai pemerintah bekerja mengalami perubahan.
Dari sisi ruang kerja, partisi dihancurkan dengan maksud agar lebih dekat satu sama lain untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam berkomunikasi.
Park mengatakan, “Kami akan menciptakan sistem di mana kami dapat menyediakan layanan yang diperlukan untuk individu dan menyesuaikannya dengan tahapan pertumbuhan masing-masing orang. Sehingga, layanan dapat digunakan dengan lebih mudah sebagai layanan satu atap.”
Dia berjanji agar pemerintah dapat bekerja “lebih pintar daripada sebelumnya” dengan memanfaatkan teknologi baru, seperti Internet of Things (IoT), Cloud Computing, Big Data dan Mobile Technology.
Mencari Leadership 3.0 di Indonesia
Bagaimana dengan birokrasi atau pemerintahan Indonesia saat ini? Apakah sudah memasuki Gov 3.0 atau masih berkutat di Gov 2.0?
Sebagaimana disampaikan Alamsyah di atas, Indonesia baru saja memasuki Gov 2.0 setelah reformasi bergulir. Walaupun secara perlahan mulai menerapkan tipe Gov 3.0, tetapi hanya sebatas pintu pembuka saja. Lihat saja penerapan OSS (Online Single Submission), judulnya menggunakan perizinan secara daring tetapi praktiknya tetap saja lebih banyak menggunakan offline, seperti dalam hal pengeluaran rekomendasi teknis.
Hong Yun-Sik mengatakan bahwa perlu kepemimpinan yang kuat untuk mentransformasi Gov 3.0. Artinya, untuk menerapkannya perlu rekrutmen kepemimpinan kuat dari level bawah hingga atas. Birokrasi hanyalah “mesin”. Siapa yang menjalankan mesin itu adalah yang terpenting.
Sayangnya, potret kepemimpinan di Indonesia menampakkan wajah yang suram. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan bahwa pihaknya telah memproses hukum 119 orang kepala daerah sejak mulai berdiri pada 2002 silam (09/10/2019).
Data Kementerian Dalam Negeri lebih menghebohkan lagi. Sejak tahun 2005 hingga 2019, 421 kepala daerah/wakil kepala daerah terkena kasus hukum atau 76% dari 542 daerah otonom. Terdiri dari 35 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 230 Bupati, 62 Wakil Bupati, 67 Walikota, dan 20 Wakil Walikota. Ini harus menjadi catatan untuk merubah regulasi terkait rekrutmen pemimpin publik.
Reformasi Birokrasi harus digerakkan lebih terarah lagi, terutama dalam hal rekrutmen pemimpin. Keinginan Presiden Jokowi dengan melakukan pemangkasan birokrasi dan prosedur yang panjang, meskipun bagus tapi itu saja belumlah cukup.
Perlu pemimpin yang berintegritas kuat, memiliki profesionalisme dan disiplin mengawal program pembangunan berorientasi masyarakat. Rekrutmen pemimpin daerah, pusat, dan politik pun perlu direformasi. Leadership 3.0 butuh pemimpin yang mampu menggerakkan orang lain secara sukarela, tanpa paksaan, taat dan patuh mengikuti kebijakannya. Pemimpin yang memancarkan kharisma internal.
Stephen J. Samson (2011), seorang psikolog dan pionir Social Intelligence Skills, menyebutkan ada enam aspek yang mendukung kehadiran Leadership 3.0, yaitu aspek physicality (fisik lahiriyah), intellectuality (kemampuan intelektual), emotionality (pengendalian emosi), sociability (kemampuan membangun jaringan sosial), personability (hakikat diri), dan moralability (integritas moral).
Epilog
Apalah birokrat yang kuat tanpa pemimpin yang berintegritas, seperti menaiki kapal perompak besar, berlayar untuk mencari keuntungan sang nahkoda.
Apalah birokrasi yang sederhana tanpa profesionalisme pemimpinnya. Laksana menumpang mobil dengan supir tanpa memiliki surat izin mengemudi, siap-siap celaka seluruh isi penumpang.
Apalah birokrasi yang handal tanpa pemimpin yang berkedisiplinan. Hanya seperti daun kering terombang ambing di aliran sungai, ikut hanyut terbawa arus menuju lautan luas tanpa tujuan.
Ya… Government 3.0 tak hanya butuh birokrat yang kuat, sederhana, dan handal, tapi juga pemimpin yang berintegritas, professional, dan disiplin.
ASN pada Pemerintah Provinsi Banten. Sepanjang kariernya dalam birokrasi, selalu bersentuhan dengan politik dalam negeri sehingga memberikan pengaruh pada tulisan-tulisannya yang kebanyakan bergenre politik, demokrasi, dan pemerintahan daerah.
0 Comments