Masihkah Negara-negara Arab bersama Palestina?

by | Aug 2, 2025 | Politik | 0 comments

Menarik namun pahit, ketika kita menilik peran negara-negara Arab tetangga Palestina seperti Mesir, KSA, UAE, Qatar, dan Kuwait dalam konflik Israel-Palestina. 

Di satu sisi, mereka memiliki kapasitas ekonomi-militer signifikan
dan ikatan budaya-religius mendalam dengan Palestina. Namun di sisi lain, kontribusi nyata mereka terhadap penyelesaian konflik berkelanjutan terasa
minim dan tidak proporsional. 

Hanya Qatar yang terlihat proaktif sebagai mediator gencatan senjata dan saluran bantuan seperti pembayaran gaji pegawai publik Gaza (reuters.com). Sementara negara Arab lainnya terkesan menjadi penonton atau bahkan mengambil langkah yang melemahkan posisi Palestina.

Mari kita telaah lebih lanjut, mengapa dominasi kepentingan nasional pragmatis seakan menyandera mereka? 

Mesir: Stabilitas Keamanan 

Prioritas Kairo adalah stabilitas Sinai dan netralisasi ancaman Hamas di Gaza, yang diasosiasikan dengan Ikhwanul Muslimin sebagai lawan politik rezim Sisi. Karenanya, dapat dikatakan bahwa Blokade Rafah adalah produk simbiosis kepentingan keamanan Mesir-Israel (carnegieendowment.org). 

Hal ini karena Mesir melihat Hamas sebagai ancaman keamanan domestik, sehingga mediasi Mesir bersifat reaktif dan fokus pada “mengelola” konflik, bukan “menyelesaikan” pendudukan. 

Tak mengherankan ketika aparat keamanan Mesir menghalau peserta Global March to Gaza pada pertengahan Juni 2025 yang lalu.

Arab Saudi: Vision 2030

Ambisi “Vision 2030” dan pertarungan geopolitik melawan Iran menyedot energi Riyadh. Status “Penjaga Dua Kota Suci” menjadikan Palestina isu sensitif namun sebatas simbolis. 

Saudi memilih jalur diplomatik hati-hati dan bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang besar melalui UNRWA untuk menghindari gesekan dengan AS-Israel (unrwa.org). 

UAE & Abraham Accords

Abraham Accords (2020) adalah “pengkhianatan” terhadap Inisiatif Perdamaian Arab Tahun 2002 yang mensyaratkan solusi dua negara sebelum normalisasi  (aljazeera.com). 

UAE, Bahrain, dan Maroko memilih akses ekonomi-teknologi dan aliansi keamanan guna berjaga-jaga melawan Iran yang ditawarkan Israel. Implikasinya, Accords mencabut leverage kolektif Arab. Israel mendapat normalisasi dan legitimasi tanpa perlu “membayar” harga politik. Palestina terdegradasi menjadi “masalah kemanusiaan”. 

Bahkan klaim UAE bahwa Accords menghentikan aneksasi Tepi Barat terbukti kosong, karena pemukiman dan de-facto aneksasi kian masif (btselem.org).

Kuwait dan Qatar: Donor dengan Pengaruh Terbatas

  • Kuwait mempertahankan posisi tradisional pro-Palestina dan menjadi donor penting dengan menyalurkan miliaran dolar bantuan. Namun memiliki pengaruh politik yang terbatas. 
  • Sementara itu, Qatar aktif sebagai mediator karena memiliki jaringan komunikasi dengan Hamas dan AS dan penyandang dana kemanusiaan besar, hingga $360 juta/tahun untuk Gaza sebelum perang 2023 (reuters.com). Sayangnya Qatar terjebak persaingan regional, terutama dengan blok Saudi-UAE yang membatasi efektivitasnya, seperti terlihat saat krisis diplomatik Teluk 2017-2021 (bbc.com).

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa fragmentasi regional, ketergantungan vital pada AS berupa penjualan senjata dan jaminan keamanan, serta ketidakberdayaan menghadapi militer Israel yang didukung AS, mempersempit ruang gerak negara Arab. 

Maka, dapat dikatakan bahwa Abraham Accords adalah puncak pragmatisme yang mengorbankan hak Palestina.

Mitos “Bantuan Tersembunyi”

Klaim bantuan besar “tak ter-publish” sering menjadi pembenaran ketidakaktifan politik negara-negara Arab. Memang benar bahwa Negara Arab adalah kontributor utama UNRWA dan lembaga kemanusiaan lainnya yang menyalurkan ratusan juta dolar. 

Mungkin juga ada upaya negosiasi terselubung atau aliran dana tak resmi ke faksi tertentu. Namun, bantuan tersebut tidak menyentuh akar masalah, yaitu pendudukan militer, blokade Gaza, dan ekspansi pemukiman ilegal oleh Israel. 

Proyek infrastruktur besar Qatar di Gaza, seperti kompleks perumahan Hamad City, yang hancur dalam siklus kekerasan perang membuktikan ketidakberlanjutan program di bawah pendudukan (aljazeera.com). Uang juga seharusnya bukan pengganti tekanan politik, ekonomi, dan diplomatik.  

Mereka enggan menggunakan leverage ekonomi seperti ancaman boikot, atau tekanan diplomatik dengan menarik duta besar, atau bahkan menginisiasi resolusi PBB secara keras.

Potensi Kepemimpinan Diplomatik Indonesia 

Di tengah mandeknya peran kolektif negara Arab dan menguatnya isu normalisasi yang mengabaikan hak Palestina, Indonesia memiliki potensi unik dan tanggung jawab moral untuk mengisi kevakuman kepemimpinan diplomatik tersebut. 

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar,
anggota G20, pemimpin ASEAN dan Gerakan Non-Blok, serta pendukung konsisten Palestina
(tanpa hubungan diplomatik dengan Israel), Indonesia harus
berperan lebih strategis.

Indonesia perlu mengamplifikasi suara di Forum Global. Keanggotaan di PBB, OKI, G20, ASEAN, dan G77, dapat dimanfaatkan untuk mendesak lahirnya tindakan nyata berdasarkan hukum internasional. 

Penegakan resolusi PBB relevan dan mendukung proses di International Court of Justice (ICJ) terkait pendudukan Israel adalah dua contoh. 

Indonesia bisa memimpin upaya untuk menyoroti inti masalah, yaitu pendudukan ilegal dan pelanggaran HAM yang sistematis oleh Israel. 

Selain itu, Indonesia juga bisa memobilisasi dukungan politik dari negara berkembang di luar dunia Arab yang berkomitmen pada dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri. 

Penting untuk membangun koalisi luas di PBB guna menekan Israel dan AS untuk memenuhi kewajiban internasional. 

Dalam hal ini, Indonesia bisa menjadi penggerak strategi voting kolektif. Dari sisi internal bangsa Palestina, Indonesia bisa memanfaatkan hubungan yang relatif seimbang dengan Fatah dan Hamas untuk mendorong dialog internal kritis menuju kesatuan strategis. Tanpa kesatuan Palestina, diplomasi eksternal akan lemah dan mudah dipecah-belah Israel.

Terakhir, Indonesia mesti menjadi penjaga prinsip dan penyeimbang narasi normalisasi tanpa syarat. 

Caranya adalah dengan terus konsisten menegaskan di semua forum bahwa perdamaian sejati harus melibatkan penyelesaian konflik Israel-Palestina berdasarkan solusi dua negara yang adil, di mana batas tahun 1967, Yerusalem Timur adalah ibu kota Palestina. 

Indonesia bisa mengingatkan negara penandatangan Abraham Accords akan kontradiksi mereka, dan mendesak mereka untuk menggunakan akses ke Israel guna memperjuangkan hak Palestina. 

Saat negara Arab tersandera kepentingan sendiri, dunia dan rakyat Palestina menantikan langkah berani. Waktunya bagi Indonesia bergerak melampaui pernyataan sikap, menuju kepemimpinan aksi diplomatik nyata dan transformatif.

0
0
Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post