Saya ingin menulis, berdiskusi, dan mencoba menjawab pertanyaan yang mencuat dalam sebuah artikel karya Ditya Permana yang diterbitkan di sini beberapa pekan lalu, mengenai ketidaktepatan pemilihan indikator kinerja.
Permasalahan yang coba diungkapkan, sependek pemahaman saya, adalah bahwa sebuah entitas atau institusi atau organisasi lebih memilih indikator outcome dibanding output. Bahkan dibilang bahwa institusi tersebut memilih “by product” sebagai indikator kinerja.
Indikator tersebut, meski memenuhi unsur indikator yang baik: SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realistic, dan Timely), namun tidak tepat atau kurang tepat digunakan sebagai ukuran.
Penulis kemudian menjelaskan lebih lanjut, bahwa terdapat indikator lain yang lebih tepat: indikator internal sistem, mulai dari indikator input: harga kepala, eh, kelapa. Kemudian Indikator proses: biaya pegawai dan persediaan dibanding jumlah output (efisiensi), hingga indikator output: penjualan yang terjadi.
Pemilihan Indikator untuk Pengambilan Keputusan
Indikator memiliki fungsi utama sebagai dasar pengambilan keputusan bagi pembaca informasi. Indikator bensin di mobil kita memberi kita informasi yang kita gunakan untuk mengambil keputusan kapan tepatnya melakukan pengisian kembali. Indikator yang sederhana belum tentu salah.
Dalam hal ini pengisian bensin, selain melihat indikator bensin, kalau iseng, kita juga bisa langsung melongok ke tangki bensin. Atau lebih iseng lagi, kita bisa juga kita menghitung rata-rata kilometer pemakaian per liter bensin.
Kemudian untuk mencari tahu sisa bensin di tangki, kita melakukan perhitungan dengan rumus bahwa sisa bensin sekarang adalah sisa bensin terakhir dikurangi jumlah kilometer berjalan dibagi berapa rata-rata kilometer per liter bensin.
Tampak sophisticated, namun mungkin kita tidak akan pernah melakukan perhitungan sedetail ini, kecuali ketika kita sedang belajar menerapkan atau menguji sebuah teori yang kita buat dan kita ingin membuktikannya.
Misalnya, menguji konsistensi rerata penggunaan bensin per kilometer, yang kemudian kita gunakan untuk mengambil keputusan soal kondisi mobil, apakah perlu perbaikan?
Kompleksitas vs Simplifikasi
Kompleksitas pengukuran indikator biasanya diperlukan ketika kita menghadapi masalah yang kompleks juga. Misalnya kita ingin mengetahui kondisi mobil, apakah secara sistem keseluruhan masih dalam kondisi normal, atau mulai ada yang bermasalah.
Sedangkan untuk pengisian bensin, sesuatu yang simple seharusnya tidak perlu melakukan pengukuran yang kompleks.
Dari sudut pandang ini, pemilihan indikator bagi pengambil keputusan adalah simplifikasi proses dalam pengambilan keputusan.
Melongok ilmu psikologi dan penjualan, kita mengenal bahwa proses pengambilan keputusan oleh pembeli seringkali bukan berdasar alasan rasional dengan proses ndakik-ndakik, scientific dengan membandingkan harga produk, fungsionalitas serta after sales-nya.
Pembeli akhirnya membeli seringkali malah dengan alasan karena temannya membeli. Ketika temannya memiliki Iphone, maka dia juga membeli Iphone.
Jadi apakah memilih membeli karena teman-temannya membeli adalah hal yang salah?
Apakah proses terbaik yang seharusnya terjadi adalah pengambilan keputusan dengan proses rigorous, detail, dan sophisticated?
Jawabannya seringkali justru lebih baik untuk menggunakan simplifikasi pengambilan keputusan, demi mempercepat proses dan menyimpan energi fokus dan effort ke hal lain yang lebih dirasa penting bagi entitas.
Dengan membeli apa yang temannya beli, maka si pembeli akan kehilangan kegalauan dalam memilih produk a atau b.
Dia bisa mengalihkan waktu yang perlu disempatkan untuk melakukan riset perbandingan harga dan fungsi, serta waktu untuk berdiskusi panjang lebar dan tinggi untuk melihat positif negatif dari produk a dan b, untuk hal lain yang lebih menyenangkan seperti ngopi cantik.
Trade off dalam Pemilihan Indikator yang Sophisticated
Seorang bendahara yang saya kenal, bercerita bahwa meski dia memiliki dan menggunakan banyak rekening (BRI, BCA, dan Mandiri) sekaligus untuk mengumpulkan dana sosial, namun pengecekan yang dia lakukan cukup dengan melihat bukti transfer, mengumpulkannya ke dalam sebuah tabel, menjumlahkannya, kemudian mentransfer kembali uang yang terkumpul dari salah satu rekening.
Langkah yang lebih detail dan presisi tentu dia seharusnya mengumpulkan seluruh data transfer tersebut kedalam satu tabel, membandingkannya dengan bukti transfer ke buku rekening di masing-masing bank, baru setelah semuanya oke, dia baru mentransfer uang terkumpul tersebut.
Tapi tidak, bagi bendahara tersebut, indikator bukti transfer sudah cukup. Tidak perlu ada pengujian atau rekonsiliasi ke buku bank yang dia miliki di 3 rekening berbeda. Bahwa ada risiko pemalsuan bukti transfer, iya dia memahaminya, namun menerimanya.
Dia mengatakan hanya akan melakukan peristiwa yang lebih menyiksa diri, berupa rekonsiliasi, bila dan hanya bila nantinya ketahuan ada kasus pemalsuan.
Dengan simplifikasi proses ini maka hidupnya lebih ringan, proses juga menjadi lebih cepat karena tidak ada waktu yang termakan oleh proses rekonsiliasi.
Dalam tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa pemilihan indikator by product, atau outcome, atau “coro bodon” bukanlah indikator mengada-ada tidak berguna, tapi adalah sebuah simplifikasi.
Sebagai sebuah simplifikasi tentu saja seringkali tidak benar-benar tepat. Tapi kuncinya adalah apakah sudah cukup akurat dalam batasan waktu dan sumberdaya yang dimiliki dalam pengambilan keputusan.
Indikator sebagai Pengendalian Kinerja
Berbeda dengan indikator dalam konteks pengambilan keputusan seperti contoh di atas, indikator di dunia manajemen organisasi modern menjadi bagian penting dari organisasi untuk mengendalikan dan mengarahkan effort elemen organisasi ke dalam satu irama bersama guna pencapaian tujuan bersama.
Indikator-indikator ini digunakan sebagai ukuran untuk memberikan reward and punishment, gula dan pecut, stick and carrot dalam memotivasi pegawai.
Menurut Merchant, dalam teori Sistem Pengendalian Manajemen, masalah pengendalian pada pegawai bisa dikategorikan dalam 3 hal yaitu masalah arahan, masalah kompetensi, dan terakhir masalah motivasi.
Suatu pekerjaan dapat diselesaikan oleh orang yang paham apa yang harus dia lakukan, memiliki kompetensi, dan termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Pekerjaan menyeduh Kopi Americano dapat dilakukan oleh barista yang memahami bahwa dia diminta untuk membuat kopi Americano bukan kopi Tubruk, memiliki pengetahuan, memiliki akses atas alat dan bahan serta kemampuan untuk membuatnya, serta terakhir memiliki motivasi untuk melakukannya.
Salah satu saja dari unsur tersebut terciderai, maka Kopi Americano tidak akan tersaji secara memuaskan dari barista kita.
Dari cerita ini kita bisa mengira-ngira bahwa indikator kepuasan pelanggan tentu menjadi indikator utama dalam menilai pegawai barista tersebut. Pelanggan yang tahu apakah memang yang jadi adalah kopi Americano atau malah Latte.
Ketika pelanggan puas, artinya barista kita telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Kopi Americano tersaji sesuai keinginan pelanggan. Tapi apakah sebagai pemilik kedai kopi Anda akan puas hanya dengan indikator kepuasan pelanggan?
Tentu anda berpikir mengenai keuangan. Beli bahan, bayar pegawai, hingga sewa tempat, dan mungkin juga bayar hutang alat dari mana duitnya? Apa uang penjualan sudah masuk semua?
Maka sebagai pemilik Anda kemudian menggunakan indikator lain, misalnya menggunakan aplikasi keuangan dan kemudian membayar akuntan untuk menghitung uang yang bebas dapat digunakan (free cashflow), yaitu uang di tangan (cash in hand) yang didapat dari penjualan setelah dikurangi segala macam biaya tetek bengek dari operasi, biaya bunga, hingga biaya ekspansi.
Penggunaan indikator ini membantu pemilik dan investor di warung kopi untuk mengetahui dan mengira-ngira masa depan si warung.
Atau lebih simpel lagi, dia bisa menghitung uang harian yang dia pegang dari penjualan hari itu, dikurangi biaya harian (gaji harian barista, bahan, sewa), kemudian menilai apakah masih nutup atau tidak.
Simple.
Dari informasi itu baru dia menelusur apabila ternyata uangnya masih kurang masalahnya di mana, apa pembelinya terlalu sedikit, atau ada banyak biaya tak terduga seperti biaya preman, atau masalah lain.
Sesuai Elemen dan Proses Bisnis
Kembali ke masalah indikator. Indikator untuk mengelola Warkop berbeda dengan indikator untuk mengendalikan kinerja pegawai. Si barista kita tadi, tidak bisa disuruh bertanggung jawab atas free cashflow.
Kita harus menggunakan indikator yang lebih fair, dan mungkin lebih sophisticated, mulai dari kepuasan pelanggan, efisiensi penggunaan bahan, disiplin kerja, dan seterusnya, untuk mengendalikan kinerjanya.
Indikator untuk mengendalikan kinerja elemen organisasi tentu akan berbeda dengan indikator para pengambil keputusan. Indikator untuk mengendalikan pegawai akan lebih sophisticated di dunia organisasi manajemen.
Mengapa?
Karena Pemilik Warung akan ada jauh di antah berantah dan memercayakan kepada CEO untuk mengatur para kepala cabang untuk mengatur manajer untuk mengatur para supervisor hingga akhirnya untuk mengatur/mengendalikan barista kita.
Semua proses itu haruslah menjadi sebuah sistem sehingga pemilik warung tidak perlu menunggui warung kopi supaya baristanya bekerja dengan baik. Oleh karena itu, muncullah balanced scorecard yang meramu seluruh proses dalam sistem itu kedalam indikator-indikator yang saling terkait.
Dari cerita panjang lebar ini, kita dapat menyimpulkan bahwa indikator bagi pengendalian kinerja akan sophisticated, rigorous, dan njelimet. Seperti montir yang menjadikan indikator njelimet macam bukaan intake udara dengan mencolokkan laptop ke mesin mobil.
Montir lakukan itu karena dia perlu tahu kenapa mesinnya sangat boros, tidak hanya sekadar mencari tahu kapan harus mengisi bensin.
Dan dalam sudut pandang ini, hidup menjadi lebih kompleks bagi manajer, karena dia berusaha mengendalikan manusia yang jauh lebih unpredictable dibandingkan besi-besi dari mesin mobil yang tidak bisa berbohong.
Epilog: Pintar-pintar Memilih Indikator
Kembali ke persoalan utama kita, masih perlukah kita mengukur indikator sabut kelapa tersebut? Jawabannya tergantung pada tujuan dan kebutuhan dari pengukuran tersebut. Apakah digunakan sebagai pengambilan keputusan level tertinggi, atau untuk mengendalikan pegawai?
Bagi pengusaha pengeskpor santan ini, dalam artikel bung Ditya Permana mungkin, tidak punya cukup sumber daya dan waktu, dan tidak terdapat masalah yang signifikan mengenai keseluruhan proses yang ada. Dia melihat bahwa tidak ada komplain mengenai kualitas produk, dan marjin keuntungannya terus membaik.
Dengan jumlah pegawai yang masih terbatas dan sementara belum ada rencana untuk melakukan peningkatan kapasitas produksi (ekspansi), maka penggunaan indikator byproduct sabut kelapa adalah indikator yang mungkin sudah cukup optimal, karena tidak hanya memasukkan unsur internal (jumlah kelapa yang diproses), namun juga eksternal (bahwa entitas memiliki byproduct yang berguna bagi entitas lain).
Namun bila si pengusaha memang sedang ingin mengendalikan pegawai yang dia miliki, maka indikator-indikator sophisticated dari input, proses, output menjadi sangat penting, untuk mengetahui ketika perusahaannya merugi, proses mana yang bermasalah?
Pegawai bagian mana yang perlu ditingkatkan kinerjanya? Apakah bagian pembelian? Bagian produksi? Atau bagian penjualan?
Sebagai catatan akhir, meskipun lebih tepat, kita tetap juga tetap harus berpintar-pintar memilih indikator internal sistem dalam mengendalikan kinerja pegawai. Karena setiap pengukuran ini akan memunculkan biaya mulai dari waktu, tenaga, hingga uang.
Seperti sudah disampaikan sebelumnya, banyaknya indikator, meskipun lebih sophisticated tapi terkadang malah jadi penghambat pencapaian akhir. Karena dalam pengukuran indikator tersebut ternyata keuntungan yang didapatkan (presisi) tidak lebih banyak dari kerugian yang muncul.
Orang Akuntansi dan Auditor yang terjerumus belajar Finance dengan hobi mengupas kulit anggur.
0 Comments