Masa Lalu sebagai Masa Depan? Politik Nostalgia di Indonesia dan Jebakan Nostalgi(l)a

by Dendy Raditya Atmosuwito ♥ Associate Writer | May 23, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

remember when text

Pernah merasa kembali ke masa lalu ketika mendengarkan lagu-lagu dari penyanyi dan band yang populer pada masa remaja Anda? Pernah merasa bahwa kehidupan masa lalu Anda lebih baik dari masa sekarang ketika ada cuplikan film kartun atau anime lawas yang lewat di linimasa media sosial Anda?

Perasaan-perasaan tersebut sering kita rangkum dalam satu kata: nostalgia. Istilah “nostalgia” merujuk pada perasaan kerinduan terhadap masa lalu, yang sering kali dilihat sebagai periode yang lebih baik, lebih stabil, dan lebih sejahtera dibandingkan dengan masa kini yang penuh ketidakpastian.

Nostalgia ternyata tidak hanya kita alami sebagai individu, tetapi juga bisa kita lihat dalam praktik kolektif yang sangat mempengaruhi kehidupan kita yaitu politik. Pada politik Indonesia, nostalgia sering kali digunakan untuk menciptakan narasi yang menyatukan kelompok tertentu dan memobilisasi dukungan untuk kepentingan politik tertentu.

Fenomena ini terutama muncul dalam bentuk wacana politik
yang menggambarkan masa lalu sebagai “golden era“, sebuah masa yang penuh dengan stabilitas politik, kemajuan ekonomi, dan ketertiban sosial. 

Menilik apa yang dikemukakan oleh Boym (2001), nostalgia tidak hanya tentang kerinduan terhadap masa lalu, tetapi juga tentang menghidupkan kembali nilai-nilai tertentu yang dianggap hilang atau terancam di masa kini.

Hal ini sering kali digunakan untuk menciptakan identitas kolektif yang berakar pada masa lalu yang dianggap lebih baik, dengan harapan dapat membawa Indonesia kembali ke jalur yang lebih stabil dan makmur.

Contoh terbaru dari politik nostalgia di Indonesia adalah poin pertama dari tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang baru-baru ini viral dan menjadi pemberitaan (tentu saja yang lebih viral adalah poin kedelapan).

Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 asli sebagai tata hukum politik dan tata tertib pemerintahan, begitu bunyi poin pertama dari tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI tersebut. 

Di Indonesia, politik nostalgia memang sering kali berfokus pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.

Meskipun masa tersebut diwarnai dengan kekuasaan yang otoriter dan pelanggaran hak asasi manusia, banyak kalangan yang mengingat kembali periode tersebut dengan nostalgia, mengaitkan stabilitas politik dan kemajuan ekonomi sebagai suatu keadaan yang patut untuk dikembalikan. 

Pada praktiknya seperti yang diungkapkan oleh de Vries dan Hoffmann (2018), politik nostalgia sering kali menggunakan narasi masa lalu sebagai cara untuk menanggapi ketidakpastian masa kini, dengan cara memandang masa lalu sebagai periode yang lebih stabil, lebih teratur, dan lebih mapan.

Dalam konteks ini, nostalgia berfungsi sebagai alat untuk meredakan ketegangan dan ketidakpastian yang muncul di tengah perubahan sosial dan politik yang pesat, serta sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat dalam sebuah narasi yang lebih terstruktur dan harmonis.

Setelah Reformasi 1998, Indonesia memasuki era demokratisasi
yang membuka ruang bagi pluralitas politik dan kebebasan berbicara. Namun, transisi menuju demokrasi ini tidak berjalan mulus.

Dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk masih kuat dan terus menguatnya oligarki (Robinson & Hadiz, 2004), nostalgia terhadap masa lalu, terutama masa pemerintahan Orde Baru, tetap hidup dalam berbagai segmen masyarakat Indonesia. 

Meskipun Orde Baru dikenal dengan rezim otoritarianisme yang mengekang kebebasan politik dan melanggar hak asasi manusia, banyak kalangan yang mengenang periode tersebut dengan rasa nostalgia karena stabilitas politik dan kemajuan ekonomi yang dicapainya.

Era Soeharto, meskipun penuh dengan kontroversi, diingat oleh banyak pihak sebagai masa di mana Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, peningkatan infrastruktur yang signifikan, dan stabilitas sosial yang memberi rasa aman kepada banyak lapisan masyarakat.

Salah satu bentuk
politik nostalgia yang sering digunakan adalah
analogi kebijakan publik.

Kajian Barnes dan Hicks (2021) menunjukkan bahwa penggunaan analogi kebijakan publik, seperti perbandingan antara kebijakan pemerintah saat ini dengan masa lalu yang dianggap lebih stabil, dapat memberikan rasa kenyamanan pada masyarakat yang mengalami ketidakpastian.

Dalam konteks Indonesia, nostalgia digunakan sebagai cara untuk mengaitkan masa lalu yang dianggap lebih baik dengan situasi saat ini yang lebih ambigu dan penuh tantangan.

Di sini, nostalgia berfungsi untuk menghidupkan kembali perasaan yang dihubungkan dengan stabilitas dan ketertiban masa lalu, yang menjadi landasan bagi sejumlah pihak yang merasa bahwa Indonesia telah kehilangan arah pasca-Orde Baru.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi sebagian orang, pembangunan infrastruktur fisik dan pencapaian ekonomi yang pesat pada masa Soeharto adalah simbol keberhasilan yang ingin mereka kembalikan.

Infrastruktur besar yang dibangun pada masa itu, seperti jalan tol, pelabuhan, dan pembangkit listrik, menjadi simbol kemajuan yang sering kali dikaitkan dengan keberhasilan pemerintah Orde Baru dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi pasca-Reformasi yang sering kali dianggap penuh ketidakpastian dan ketidakstabilan politik. 

Ketidakpastian politik dan ekonomi pasca Reformasi sering diiringi dengan ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada.

Dalam konteks ini, nostalgia menjadi alat bagi sejumlah kelompok masyarakat (termasuk juga politisi tentu saja) untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap keadaan yang dianggap semakin runyam dan kacau.

Seperti yang diungkapkan oleh Boym (2001) bahwa nostalgia sering kali bukan hanya kerinduan terhadap masa lalu, tetapi juga sebagai ekspresi terhadap kekhawatiran dan ketakutan terhadap masa depan.

Bagi sebagian pihak di Indonesia, nostalgia terhadap Orde Baru adalah cara paling ampuh untuk menanggapi rasa tidak aman yang semakin meningkat pasca Reformasi. Dengan mengembalikan ingatan akan stabilitas ekonomi dan sosial yang tercipta di masa lalu, nostalgia berfungsi sebagai penghiburan dan penguatan identitas politik bagi mereka yang menginginkan kembalinya masa-masa tersebut.

Beberapa politisi seringkali menggunakan nostalgia ini
dalam kampanye mereka untuk meraih dukungan politik. Mereka memanfaatkan rasa kehilangan terhadap masa lalu untuk membangun narasi bahwa stabilitas yang pernah tercipta di bawah
Orde Baru harus dipulihkan.

Selanjutnya nostalgia berfungsi sebagai pembenaran bagi kebijakan yang lebih otoriter dan terpusat, yang dipandang sebagai cara untuk mengembalikan Indonesia ke jalur yang lebih stabil. Dengan merujuk pada masa Orde Baru sebagai masa yang lebih teratur dan penuh kemajuan ekonomi, politisi berusaha menggugah rasa nostalgia yang bisa memobilisasi dukungan.

Analogi ini berfungsi untuk menegaskan bahwa masa lalu yang lebih stabil, seperti masa Orde Baru, seharusnya dijadikan acuan dalam menghadapi krisis politik dan ekonomi saat ini. 

Pada akhirnya perlu menjadi perhatian kita semua bahwa, seperti yang dijelaskan oleh Boym (2001), politik nostalgia sering kali menutupi kompleksitas masa lalu.

Dalam konteks Indonesia, politik nostalgia sering kali mengaburkan kenyataan bahwa Orde Baru, meskipun memberikan kestabilan politik, juga dibangun di atas pelanggaran hak asasi manusia dan pembungkaman kebebasan sipil.

Oleh karena itu politik nostalgia memiliki risiko untuk memperkuat narasi yang menyesatkan yang jauh dari realita sejarah. Lebih parah lagi, kemampuan kita untuk menemukan solusi-solusi untuk pemecahan masalah-masalah publik kontemporer bisa terhambat karena kita terjebak pada gambaran masa lalu yang salah.

Hati-hati bernostalgia agar tidak terjebak dalam nostalgi(l)a!

1
0
Dendy Raditya Atmosuwito ♥ Associate Writer

Dendy Raditya Atmosuwito ♥ Associate Writer

Author

Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di Yogyakarta

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post