Maraknya Operasi Tangkap Tangan KPK, Sebuah Indikasi Kesemuan Beragama Masyarakat Indonesia

by Moch. Soedarno ▲ Active Writer | Aug 13, 2017 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Ketaatan beragama seharusnya mendorong manusia menjadi pribadi yang religius. Pribadi yang religius selalu menebarkan kebaikan kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Mereka itu hidupnya selalu bermanfaat, membawa berkah, dan menghadirkan suasana suka-cita bagi lingkungannya.

Seseorang yang mengaku religius, tetapi kehidupannya dihiasi dengan berbagai pelanggaran adalah gagal menginternalisasikan ajaran agama yang dianutnya. Karenanya, tidaklah layak ia mengklaim sebagai seorang yang religius. Ia hanyalah mempraktikkan keberagamaan yang semu.

Selama ini masyarakat Indonesia diidentikkan sebagai masyarakat yang religius. Tampaknya, klaim sebagai masyarakat religius ini layak diuji. Artikel ini menunjukkan bukti bahwa masyarakat Indonesia ternyata bukanlah masyarakat yang religius dan karenanya korupsi dan operasi tangkap tangan KPK masih akan terus berlanjut.

 

Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang marak akhir-akhir ini telah memberikan stigma negatif pada birokrasi. Masyarakat beranggapan bahwa birokrasi sudah menjadi lahan subur praktik korupsi.

Apakah kita benar-benar memiliki kesungguhan memberantas korupsi? Ketika ditanya demikian, maka seorang pemimpin maupun pejabat pemerintahan akan menjawab: Sudah! Salah satu buktinya, kita akan ditunjukkan dengan pembentukan lembaga yang independen KPK, yang terbukti telah banyak menangkap-tangan pelaku korupsi.

Akan tetapi, bukti tersebut masih sulit meyakinkan publik. Sebab, belakangan ini upaya pelemahan terhadap KPK terus dibangun, yaitu tampak dari usulan revisi UU KPK dan hak angket KPK yang sedang bergulir. Bahkan, investigasi kasus teror membutakan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, masih terkatung-katung. Negara sepertinya lumpuh dalam mengatasi para mafia di negeri ini.

Tampak dengan jelas bahwa negara tidak sepenuhnya ‘hadir’ untuk mengungkap kasus tersebut. Munculnya gagasan dari Kapolri Jenderal Tito Karnivan untuk membentuk badan khusus yang bernama Densus Anti Korupsi semakin dipandang oleh sebagian komunitas pegiat anti korupsi sebagai dagelan baru.

Predikat ‘korup’ karenanya begitu melekat pada birokrasi kita. Korupsi terjadi secara sistemik dan masif. Banyak sudah birokrat yang tersangkut kasus hukum tindak pidana korupsi.

Itu pun sebenarnya masihlah puncak gunung es saja. Korupsi kecil-kecilan di kalangan birokrasi tidak terhitung jumlahnya. Yang bernasib baik karena belum terjerat hukum juga masih banyak. Mereka masih bebas melenggang kangkung.

Kesemuan Beragama

Di sisi lain, selama ini masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius. Akan tetapi, praktik korupsi yang terus berulang itu memancing pertanyaan, apakah masih pantas kita mengklaim sebagai masyarakat yang religius? Jika birokrasi kita adalah birokrasi religius, kenapa korupsi masih terus berulang?

Sepertinya, selama ini klaim sebagai masyarakat yang religius itu tidak berbanding lurus dengan praktik korupsi. Idealnya, semakin religius masyarakat, maka semakin rendah korupsinya.

Sebab, seseorang yang religius mestinya tidaklah materialistis. Mereka tidak akan terpancing berbuat korupsi demi sebuah materi. Mereka menjalankan ajaran agamanya secara ‘kaaffah’, yaitu holistik dan tidak sepenggal-sepenggal. Mereka adalah pribadi yang ikhlas.

Mereka taat beragama juga bukan hanya sekedar untuk menjalankan ritual atau formalitas semata, tetapi selalu membawa makna untuk lingkungannya. Karenanya, seorang pelaku korupsi akan diragukan sebagai pribadi yang religius. Bisa saja, ia tampak religius di permukaan, tetapi pada dasarnya ia hanya menjalankan agamanya secara semu.

Operasi tangkat tangan KPK di Pamekasan Madura baru-baru ini memberikan bukti kesemuan beragama yang terjadi di Indonesia selama ini. Penangkapan ini telah membuktikan bahwa  masyarakat Indonesia religius hanyalah tampak di permukaannya saja.

Memang, masyarakat Madura dikenal religius. Budaya dan keseniannya kental dengan pengaruh Islam. Begitu pula dengan kepatuhan masyarakat Madura kepada kyai atau pemuka agamanya.

Orang Madura juga menjunjung tinggi harga diri, yang tergambar dari falsafah hidup katembheng pote mata, angok pote tolang (lebih baik putih mata dibanding putih tulang). Ia mirip pepatah: lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu. Akan tetapi, kesan ini sebenarnya dibangun dengan sejarah yang panjang.

Sebagai keturunan Madura, bersama beberapa orang asli Madura yang saya temui, saya sepakat mengenai hal yang sama: klaim orang Madura sebagai orang yang religius cenderung hanyalah tampak di permukaannya. Itu hanyalah kesan yang terlihat dari pakaiannya saja dan bisa dibilang sebagai sebuah ‘mitos’.

Masyarakat Madura sepertinya masih kurang dalam pemahaman agamanya. Mereka menjadi muslim, sepengetahuan saya, lebih karena keturunan. Tak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa ritual-ritual yang mereka lakukan sudah dianggap baik dan benar sesuai ajaran agama walaupun sesungguhnya dalam agama tidak ada tuntunannya. Relasi kekuasaan kyai terhadap santrinya, maupun ‘blater’ atau mafia lokal pun masihlah kental.

Keberagamaan semu masyarakat Madura tersebut pun tampaknya juga melanda hampir sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya. Hal ini tidak memandang agama maupun suku tertentu saja. Karenanya, masyarakat Indonesia sepertinya masih belum bisa mengklaim dirinya sebagai masyarakat yang religius.

Hal itu karena belum diamalkannya ajaran agama dalam individu masing-masing, kehidupan masyarakat, dan negara. Agama hanyalah dijadikan simbol formalitas dan tampilan luar semata, seperti ketika kita mempraktikkan sumpah jabatan.

Karenanya, dalam menyambut hari raya idul kurban tahun ini, kita sebagai birokrat perlu memaknai kembali secara mendalam makna religius itu. Utamanya, memaknai kata ‘berkurban’ untuk kepentingan masyarakat luas.

Seorang birokrat haruslah mampu mengemban makna kurban, yaitu mau berkorban untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani yang toto tentrem kerto raharjo. Mental mau berkorban atau altruistis merupakan cerminan dari pengamalan ketaatan agama secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Untuk mengklaim sebagai masyarakat religius, kita juga perlu memaknai kembali arti amanah. Sebuah hadis pantas diperhatikan oleh seorang birokrat:

Abu Dzar berkata: “Ya Rasulallah, tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku?” Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai  amanat yang pada hari qiyamat hanya akan menjadi kemenyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya, dan memenuhi tanggung jawabnya.”

Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa jabatan itu hanyalah diberikan kepada seseorang yang mampu menunaikan hak dan kewajibannya serta memenuhi tanggung-jawabnya.

Ingatlah, bahwa ritual sumpah jabatan yang diucapkan seorang birokrat pun kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Karenanya, birokrat harus mau berkorban untuk menjalankan amanah yang diberikan padanya.

Wallahu’alam bishowab.

 

*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja atau lembaga lain.

 

 

0
0
Moch. Soedarno ▲ Active Writer

Moch. Soedarno ▲ Active Writer

Author

Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa. Tulisannya lebih banyak diwarnai dengan gagasan birokrasi bersih, efisien, dan berdaya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post