Andaikata seorang pegawai terbukti memiliki kinerja yang tinggi, kompetensi yang luar biasa, dan kualifikasi yang memadai untuk jabatan yang lebih tinggi, rekomendasi pengembangan apa yang pas bagi dia?
Jawabannya seharusnya bukan tergantung pada siapa pejabat yang berwenang memberikan rekomendasi, siapa atasan langsungnya saat itu, atau siapa yang berpendapat lebih dulu pada saat rapat pembahasan.
Ironi Pengelolaan SDM Pemerintahan
Rekomendasi pengembangan SDM semestinya berjalan secara profesional dan cermat sesuai dengan strategi dan kebutuhan organisasi. Namun, keadaan “tergantung siapa yang berpendapat” bisa ditemukan di banyak organisasi.
Rekomendasi atas pegawai yang sama bisa sangat beragam dan lebih bergantung pada pejabat yang memberikan rekomendasi dibanding kapabilitas pegawai yang akan direkomendasikan.
Sebuah ironi bahwa di mana ada pertimbangan manusia, di situ akan ada noise ⎯ tanpa terkecuali dalam pengelolaan SDM di sektor pemerintahan.
Padahal, jumlah aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia yang mencapai 3.995.634 orang sudah sepatutnya menjadi alasan perlunya pengelolaan SDM yang lebih objektif dan berkeadilan.
Kompleksitas Pengelolaan SDM
Sayangnya, pengelolaan SDM di sektor pemerintahan justru cenderung hanya berfokus pada fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Persoalan ini senantiasa hanya bergulat dengan regulasi, aturan, pedoman, dan petunjuk teknis tentang tata kelola SDM, namun terkesan abai dalam pengelolaan SDM yang lebih strategis dan substansial.
Pengelolaan SDM di sektor pemerintahan memang mempunyai satu tantangan tersendiri karena orientasi sektor pemerintahan pada dasarnya lebih kompleks dibanding sektor swasta yang umumnya hanya berorientasi profit.
Selain itu, secara fundamental, sektor swasta selalu dituntut untuk survive, sementara sektor pemerintahan hanya dituntut untuk serve. Di zaman yang serba instan dan cepat ini, sektor swasta dituntut harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian agar tidak tenggelam dalam persaingan, sehingga segala hal harus ditarik ke level tertingginya.
Hal ini sulit kita dapati di sektor pemerintahan karena sektor pemerintahan hanya dituntut untuk melayani, tanpa tekanan dan ancaman yang berarti.
Lebih jauh, penerapan indikator kinerja di sektor pemerintahan umumnya bersifat open jobdesk, yang membuat pegawai dengan pendidikan paling rendah dimungkinkan untuk mengerjakan tugas yang paling rumit, sehingga seluruh hasil pekerjaan berpotensi ditarik ke level terendahnya.
Sistem pengelolaan SDM yang dijalankan juga masih menyimpan sejumlah persoalan karena belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem pengelolaan kinerja, padahal ia seharusnya dilihat sebagai sebuah siklus.
Hasil penilaian kinerja menjadi salah satu tools dalam sistem pengelolaan SDM yang lebih luas dan sistem pengelolaan SDM pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan kinerja individu dan organisasi secara menyeluruh.
Permasalahan Integrasi Data dan Favoritisme
Persoalan integrasi data juga masih terjadi pada sistem informasi kepegawaian di berbagai level yang masih berjalan sendiri-sendiri dan masih terbatas pada data administratif semata, sehingga belum sepenuhnya dapat dijadikan alat untuk memetakan kualitas pegawai.
Efeknya, fungsi strategis pengelolaan SDM seringkali didasarkan pada rekomendasi pejabat atau pimpinan unit semata, dengan risiko tidak semua orang dapat terpetakan secara objektif karena tidak disertai basis data yang akurat.
Pengelolaan SDM dengan basis data yang minim ini
akan menimbulkan favoritisme pimpinan utamanya pada pegawai-pegawai yang telah lama menduduki satu posisi.
Selain itu, belum optimalnya integritas data, utamanya dalam proses penilaian oleh peers dan atasan, membuat sistem pengelolaan kinerja yang secara formal menjadi refleksi kinerja pegawai cenderung dijalankan sebagai bentuk formalitas semata.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pegawai yang secara nyata menunjukkan inisiatif dan kontribusi sangat baik, tidak serta merta menjadi bagian dari pegawai yang memiliki nilai kinerja yang baik pula pada sistem pengelolaan kinerja.
Urgensi Pengelolaan Grand Design SDM
Untuk menjawab tantangan tersebut, pengelolaan SDM di sektor publik sejatinya telah familiar dengan sistem meritokrasi yang dijalankan melalui implementasi manajemen talenta yang menjadi salah satu mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Sayangnya, dalam berbagai peraturan turunan dari UU tersebut, secara spesifik ditetapkan bahwa manajemen talenta hanya untuk pengisian jabatan struktural, sedangkan lingkup pelaksana dan jabatan fungsional, khususnya jenjang pertama pada kategori ahli, serta jenjang mahir, terampil, dan pemula pada kategori terampil belum diatur secara spesifik.
Konsekuensinya, pengelolaan SDM pada tingkat pelaksana dan jabatan fungsional pertama ke bawah belum memiliki sistem tata kelola yang baku, terukur, dan berkelanjutan.
Hal tersebut menyulitkan dalam memastikan arah pengembangan SDM, pola mutasi, pemberian reward & punishment, hingga kualitas rekomendasi regenerasi kepemimpinan.
Domain pengelolaan SDM untuk jenjang pelaksana dan jabatan fungsional pertama ke bawah ini menjadi domain yang penuh dengan noise dan bias karena tidak bersandar pada sistem dan arah yang jelas, dan bahkan justru lebih bergantung pada siapa pejabat yang membidangi pengelolaan SDM.
Untuk itu, penulis melihat adanya urgensi untuk mendesak adanya grand design pengelolaan SDM yang bertaraf internasional ⎯ sistem yang mampu memberikan arah dan kepastian dalam pengelolaan SDM secara komprehensif sampai ke jenjang pelaksana.
Manajemen Talenta sebagai Solusi
Manajemen talenta yang dijalankan sampai ke level pelaksana setidaknya menghilangkan kerancuan pada pengelolaan SDM yang selama ini selalu disandarkan pada kekuasaan semata.
Integrasi data perlu dilakukan bukan hanya antar instrumen data kepegawaian yang ada, melainkan juga dengan mengintegrasikan komponen kinerja, kompetensi dan kualifikasi sehingga mampu memberikan kepastian arah dan konsistensi pengelolaan SDM dengan adanya basis data yang mampu memotret seluruh ASN dari berbagai aspek.
Lebih jauh, manajemen talenta dapat digunakan sebagai basis pengembangan SDM yang mampu memberikan keadilan dengan menyeimbangkan dua aspek penting yaitu visi organisasi dan aspirasi pegawai.
Berkaca pada kasus hukum di Amerika Serikat, seorang ahli hukum pernah menunjukkan ketidakadilan atas keragaman hukuman terhadap orang-orang yang mirip karena adanya diskresi tanpa batas yang diberikan hukum kepada hakim dalam menetapkan dan menjalankan hukuman.
Dengan skema yang sama, diskresi tanpa batas yang diberikan terhadap pengelola SDM di sektor publik sudah sepantasnya memantik kita agar mampu menyandarkan sistem pengelolaan SDM pada penerapan manajemen talenta sampai jenjang pelaksana sebagai instrumen utama dalam pengelolaan SDM strategis dan berkelanjutan.
Manajemen talenta, dengan integritas dan integrasi data, dapat menjadi solusi
untuk mengurangi subjektivitas dalam pengelolaan SDM dan
di saat yang sama dapat mengakselerasi implementasi sistem meritokrasi.
Pada akhirnya, manajemen talenta diharapkan mampu menciptakan talenta-talenta di sektor publik yang memiliki kepala, tangan, dan hati ⎯ kepala sebagai representasi dari kompetensi, tangan dan kaki yang merepresentasikan komitmen dalam mengerjakan sesuatu, dan hati sebagai representasi kesediaan untuk terus berkontribusi.
meski miris
tapi baladanya mikin meringis
klo makin kritis malah jadi krisis
tolong jangan main mistis
saat gerimis
ternyata sang pengabdie yang lurus bisa kurus
kadang auto pilot menjadi sensasi tersendiri
para petinggi yang makin kesana tidak kesini
bijaksana tak bijaksini
balada pengabdi di negri ini
Saya pikir tulisan ini sangat menggambarkan permasalahan yang terjadi di birokrat kita. Meskipun baru berkecimpung, saya sudah bisa merasakan banyaknya bias dalam penilaian/favoritisme, campur tangan kekuasaan, lepas/oper tanggungjawab, senioritas, dll. Hal tsb menghambat tumbuhnya kader2 berkualitas dan optimisme terhadap perubahan untuk birokrat yang lebih baik