Aparatur Sipil Negara (ASN) mempunyai tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk melayani pemangku kepentingan, utamanya masyarakat. Untuk dapat melaksanakan tugas ini secara optimal, sumber daya manusia (SDM) para ASN tersebut harus ditingkatkan dari segi kapasitas dan kapabilitasnya sehingga menjadi lebih profesional, tangguh, dan bertanggung jawab. Untuk itu, diperlukan manajemen kepegawaian negara yang fleksibel, adaptif, dan cepat tanggap.
Namun sayangnya, sistem penilaian akuntabilitas kinerja pegawai saat ini masih belum jelas karena belum mampu mencerminkan kinerja pegawai yang sesungguhnya. Sistem imbalan dan hukuman juga belum memberikan keadilan dan kepastian. Pengembangan kompetensi pegawaipun seringnya tidak tepat sasaran.
Belum tertata dengan baiknya manajemen kepegawaian negara tersebut akan menjadi sangat rentan bagi negara dalam menghadapi tantangan di era global yang semakin kompetitif serta perkembangan teknologi yang semakin pesat. Padahal, peran ASN seharusnya menjadi penggerak utama dalam pembangunan nasional dan pelayanan kepada masyarakat, bukan justru hanya menjadi beban bagi negara.
Dalam paradigma good governance negara memiliki peran yang sangat strategis dalam menciptakan lingkungan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan yang kondusif sehingga dua pilar yang lain, yaitu society dan corporate dapat berfungsi secara optimal.
Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan SDM yang tangguh dan andal di organisasi pemerintahan sehingga dapat menghadapi era persaingan global yang semakin kompetitif tentunya dengan membutuhkan proses dalam mengembangkan kompetensi SDM yang sudah ada sehingga ke depannya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi organisasi pemerintahan.
Manajemen SDM berbasis kompetensi saat ini sedang gencar dijalankan di berbagai institusi pemerintahan. Kompetensi yang merupakan pendekatan manajemen SDM merupakan ekstraksi dari hasil penelitian di berbagai lembaga swasta dan lembaga pemerintahan di banyak negara sehingga dapat berlaku dan dapat diterapkan di berbagai organisasi publik dan organisasi swasta.
Tulisan David C. MC Clelland pada tahun 1973 yang berjudul “Testing for Competence Rather Than Intelligence” menjadi fondasi dalam kerangka kompetensi yang berkembang saat ini.
Pada intinya, tulisan tersebut mempertanyakan alat ukur yang selama ini dipercaya seperti tes sikap, tes bakat, tes pengetahuan, dan tes sejenisnya; yang dinilai tidak mampu memprediksikan tentang kinerja SDM yang baik. Alat ukur tersebut juga belum berhasil memprediksikan SDM yang akan sukses dalam pekerjaan di organisasi.
Kompetensi sebagai Arsitektur Strategi Pengelolaan SDM
Menurut Spencer (1993) kompetensi dapat dibedakan menjadi dua bagian:
- Kompetensi minimum (threshold), yang menunjukkan suatu tingkat kompetensi atau karakteristik penting yang dibutuhkan oleh seseorang dalam kaitan pekerjaannya agar terlaksana secara efektif (tepat sasaran), tetapi belum membuat individu tersebut memiliki performa yang superior atau diatas rata-rata; dan
- Kompetensi diferensiasi, yaitu tingkat kompetensi yang sudah membuat seorang individu memiliki performa yang superior atau di atas rata-rata individu yang lainnya.
Kompetensi ini kemudian dijadikan sebagai acuan dalam standar persyaratan seleksi, pengembangan karir, pendidikan dan pelatihan (diklat), evaluasi kinerja, dan sistem penghargaan. Sesuai dengan pemikiran Spencer, kompetensi dapat diterapkan dalam mendesain arsitektur strategi SDM.
Adapun menurut Becker (2001), arsitektur strategi SDM bertumpu pada kompetensi, yang terdiri dari tiga mata rantai nilai strategi, yaitu: fungsi SDM, sistem SDM, dan perilaku SDM.
Fungsi SDM terkait upaya menciptakan profesionalisme dengan strategi kompetensi. Sistem SDM terkait dengan kebijakan, praktik, dan manajemen kinerja yang relevan dengan strateginya. Sistem SDM juga menyangkut mendesain sistem SDM sehingga SDM dapat maksimal dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan perilaku SDM merupakan output dari sistem dan fungsi SDM.
Perencanaan SDM dan Analisis Jabatan
Tahapan paling awal dalam menentukan arah, strategi, serta proyeksi kebutuhan SDM adalah perencanaan sumber daya manusia sebagai bagian integral dari fungsi manajemen SDM atau manajemen secara umum.
Perencanaan SDM menjadi langkah yang kritis dalam menentukan strategi SDM jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek umumnya dalam periode satu tahun sampai dengan lima tahun sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) Organisasi.
Sementara, strategi jangka panjang umumnya dalam periode lebih dari 10 tahun sesuai dengan kebutuhan organisasi yang telah ditetapkan. Tentunya dalam tahap perencanaan tidak hanya menitikberatkan kepada kuantitas jumlah pegawai tetapi juga kompetensi pegawai.
Strategi perencanaan dan pengembangan SDM dengan pendekatan kompetensi saat ini dinilai sudah cukup valid dalam memprediksikan variabel kesuksesan seseorang dalam bekerja. Kompetensi sudah dijadikan dasar manajemen SDM mulai dari analisis jabatan, penetapan kebutuhan pegawai, seleksi dan pengadaan, pendidikan dan pelatihan, pengembangan karier, mutasi dan penataan, evaluasi kinerja serta kesejahteraan, penghargaan dan kompensasi.
Di dalam perencanaan SDM terdapat kegiatan analisis jabatan yang menentukan kualifikasi dalam tiap-tiap jabatan. Dengan menggunakan analisis jabatan saat ini, organisasi telah menjadikan kompetensi sebagai basis persyaratan.
Sebelumnya, organisasi pemerintahan masih menggunakan uraian tugas yang lebih mendasarkan kepada persyaratan administratif sehingga pegawai yang dihasilkan kurang sesuai dengan jabatan yang akan ditempati. Apabila standar kompetensi telah dimiliki, pemegang jabatan nantinya akan sesuai dengan persyaratan standar kompetensi.
Analisis kebutuhan SDM merupakan kegiatan untuk menentukan seberapa jumlah kualifikasi kebutuhan SDM dalam satuan organisasi. Analisis ini umumnya menggunakan analisa beban kerja tiap jabatan yang sebelumnya telah ditentukan kualifikasinya berdasarkan kompetensi.
Analisis ini menjadi sangat fundamental dan kritis bagi organisasi karena merupakan tahapan dalam membentuk profil SDM yang akan berkontribusi bagi organisasi atau justru sebaliknya menjadi beban bagi organisasi.
Dengan menggunakan teknologi informasi, tentunya memperkecil peluang kecurangan dalam tahap ini sehingga dapat menghasilkan SDM yang lebih sesuai kompetensi yang dibutuhkan.
Keputusan seleksi dan penempatan juga perlu didasarkan kepada kecocokan dan kesesuaian (fit and proper) antara persyaratan kompetensi jabatan dengan kompetensi kandidat yang akan mengisi jabatan tersebut.
Pendidikan Pelatihan dan Pengembangan
Prinsip perbaikan terus menerus (continuous improvement) perlu diterapkan dalam rangka memaksimalkan kualitas SDM secara komprehensif dan sistematik dengan berbagai cara; baik dengan pendidikan, pelatihan, pengembangan, maupun pemberdayaan.
Pendidikan dan pembelajaran dilaksanakan untuk meningkatkan upaya tiap individu dalam meningkatkan kesadaran diri, melakukan identifikasi permasalahan, serta memberikan solusi atas permasalahan yang timbul.
Pendidikan untuk meningkatkan knowledge dapat ditempuh dengan menggunakan jalur pendidikan formal dan membutuhkan waktu dalam pembelajarannya. Pelatihan merupakan cara untuk meningkatkan keterampilan individu sesuai dengan jabatan atau tugasnya saat ini.
Pengembangan merupakan kesempatan belajar untuk membantu pegawai dapat berkembang dengan fokusnya lebih ke jangka panjang sehingga tidak mesti harus sesuai dengan jabatan atau tugas yang ada saat ini.
Dalam hal ini, permasalahan yang timbul adalah kecenderungan pengembangan pegawai yang hanya mengarah kepada peningkatan keahlian dengan metode pelatihan masih menggunakan format yang cenderung sama, serta belum mengakomodasi pengembangan emosional dan spiritual yang sama-sama penting dengan pengembangan skill dalam rangka membantu meningkatkan kapasitas pegawai.
Perlu juga dilaksanakan pendefinisian ulang terhadap jenis atau model diklat yang telah ada saat ini apakah telah sesuai apabila dilihat dari sisi kebutuhan dan model pembelajaran agar mampu meningkatkan kontribusi pegawai secara aktual.
Evaluasi SDM
Evaluasi SDM perlu dilaksanakan untuk terus meningkatkan dan memaksimalkan tujuan organisasi. Evaluasi SDM merupakan tahapan berkelanjutan untuk terus menjaga kualitas SDM yang telah dimiliki organisasi.
Evaluasi dilakukan secara periodik atas hasil kinerja dan prestasi tiap pegawai. Evaluasi yang ideal sebaiknya dilakukan oleh semua pihak baik atasan, bawahan, rekan kerja selevel, staf, maupun pengguna layanan.
Dengan cara ini akan diperoleh hasil yang menjadi cerminan tiap individu dalam pelaksanaan tugasnya, dan dapat dijadikan pedoman bagi evaluasi jabatan dan pengembangan karir ke depannya.
Namun, saat ini dalam pelaksanaan evaluasi masih cenderung peer to peer. Setiap pegawai hanya memilih beberapa orang tertentu untuk menilai kinerja dirinya sehingga akan muncul celah di mana penilaian dapat diatur untuk dapat saling menguntungkan satu sama lain.
Apabila hasil evaluasi yang dilaksanakan telah lebih objektif dan mengakomodir kepentingan berbagai pihak, diharapkan akan adanya imbalan dan kompensasi yang dapat diterima setiap pegawai sesuai dengan nilai kinerjanya.
Individu cenderung merespon insentif sehingga apabila insentif yang diberikan sesuai dengan apa yang dilakanakan oleh pegawai, maka hal tersebut akan menjadi pemicu bagi setiap pegawai untuk berkerja secara maksimal.
Melihat bentuk penghargaan bagi pegawai yang saat ini hanya terbatas diberikan berdasarkan masa pengabdian, ke depannya dapat dipersiapkan penghargaan dengan kriteria yang lebih luas lagi.
Penghargaan semestinya dianugerahkan kepada pegawai yang lebih kontributif dan kompeten, bukan semata-mata soal berapa lama telah bekerja. Perubahan ini penting untuk menghilangkan stigma “rajin atau malas penghasilan tetap sama”. Selanjutnya, setiap pegawai akan termotivasi untuk selalu bekerja maksimal untuk berkontribusi bagi organisasinya.
0 Comments