Lika-Liku Komunikasi Risiko Terkait COVID-19: Bagaimana Mengoptimalkannya?

by Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer | Mar 23, 2020 | Birokrasi Berdaya | 1 comment

Penyebaran virus corona (COVID-19) merupakan risiko yang tak perlu lagi diperdebatkan kemungkinan keterjadiannya, pun demikian dengan dampaknya. Skala penyebarannya bahkan tidak main-main lagi, sudah di level global, menyebar rata keseluruh penjuru dunia. Indonesia pun kini sedang berjuang untuk menanggulanginya – berupaya mengusir jauh-jauh virus itu dari negeri kita tercinta.

Dalam pembahasan kali ini, saya ingin mengajak pembaca untuk mencoba berpikir bersama tentang bagaimana Indonesia berupaya melawan COVID-19, termasuk mengomunikasikannya dengan publik utama, masyarakat. Diskusi ini mengambil perspektif pengomunikasian risiko (risk communication).

Kritik Terhadap Komunikasi Publik Tentang Corona

Diskusi ini dilatarbelakangi dengan derasnya kritikan yang datang dari berbagai pihak tentang komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah terkait corona di Indonesia. Misalnya, Ketua Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyayangkan sejumlah pejabat publik yang sering menimbulkan ketidakpastian informasi terkait COVID-19.

Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan berpendapat bahwa seharus Kemenkominfo dan Kemenkes harus bertindak sebagai pintu informasi tunggal yang bisa dipercaya masyarakat. Kedua kementerian ini diharapkan bisa mengikuti keresahan publik yang tercermin di media sosial maupun komunikasi nyata yang berkembang di masyarakat.

Firman mencontohkan, 10 hari lebih sejak Presiden Jokowi mengumumkan adanya 2 penderita positif COVID-19, wacana yang dibangun pemerintah belum beranjak dari ‘jangan panik dan tetap waspada’. Tidak lebih dari itu.

Pentingnya komunikasi dari Pemerintah juga ditegaskan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena. Ia menekankan bahwa komunikasi intensif pemerintah pusat dalam mencegah penyebaran sangat dibutuhkan guna mengantisipasi penyebaran virus corona semakin luas lagi.

Urgensi Pengomunikasian Risiko

Beberapa kritikan di atas dapat menjadi dasar yang kuat bagi kita untuk yakin bahwa pengomunikasian risiko, dalam hal ini peyebaran virus corona, merupakan hal yang fundamental.

The International Risk Governance Council (IRGC) dalam kerangka tata kelola risikonya menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah elemen terpenting ketika membangun kepercayaan dalam mengelola risiko. Hal ini karena komunikasi risiko memberi wewenang kepada para pemangku kepentingan untuk memahami risiko dan tanggung jawab masing-masing.

Hal ini diperdalam oleh Asselt dan Renn (2011), yang menjelaskan bahwa tujuan komunikasi adalah untuk memberikan pondasi yang lebih baik dalam memperkuat kepercayaan dan dukungan publik, terkait dengan pengelolaan ketidakpastian (uncertainty), kompleksitas (complexity), dan ambiguitas (ambiguity) dari suatu risiko.

Lalu siapa saja pemangku kepentingan yang ikut dilibatkan? Hal itu bergantung pada karakteristik risikonya. Misalnya, untuk risiko yang sederhana, organisasi hanya perlu melibatkan pembuat kebijakan dan pakar yang terkait.

Sedangkan untuk risiko yang penuh dengan kompleksitas, ketidakpastian, dan ambiguitas, ruang lingkup keterlibatan harus lebih luas lagi, seperti ilmuwan / peneliti dari pihak eksternal, pemangku kepentingan yang terkena dampak, dan masyarakat umum. Komunikasi yang efektif dapat menyediakan sharing informasi terkait risiko dan opsi alternatif untuk memitigasinya.

Lalu, termasuk kategori apakah risiko penyebaran virus corona di Indonesia? Pada awalnya, ketika belum ada warga yang dinyatakan positif, kemungkinan pendekatan yang dipilih adalah membatasi pemangku kepentingan yang dilibatkan.

Bisa jadi, untuk meminimalisasi adanya kepanikan yang justru dapat berdampak merugikan (atau optimisme bias?). Namun, ketika sudah ada yang dinyatakan positif, pemerintah mulai melihat risiko ini sebagai risiko yang kompleks, sehingga mulai mengajak masyarakat untuk ikut terlibat.

Alasannya, karena pencegahan yang dilakukan masyarakat, dengan hidup sehat, menjaga jarak interaksi, dan stay at home, merupakan kunci utama untuk menghambat penyebaran virus tersebut. Masalahnya, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam menerapkan pengomunikasian risiko, yang jika gagal diatasi dapat berdampak buruk.

Pada awalnya, pengomunikasian risiko dilakukan dengan tujuan mengedukasi dan membujuk masyarakat. Namun, pendekatan tersebut lebih sering gagal dilakukan karena persepsi dan perilaku risiko bukan hanya soal fakta, tetapi juga tentang perasaan, naluri, dan keadaan kehidupan pribadi manusia.

Selain itu, pengomunikasian risiko perlu dikembangkan dengan cara yang lebih komunikatif, terutama dalam format komunikasi dua arah yang dapat menjadi jembatan antara latar belakang organisasi – dalam hal ini pemerintah, dengan pengetahuan publik.

Breakwell (2007) berpendapat bahwa telah terjadi transformasi perspektif publik yang awalnya sebagai target komunikasi untuk dipengaruhi, berubah menjadi publik sebagai mitra dalam proses manajemen risiko.

Pengemasan Pesan dan Media Penyalurannya

Nah, ini tentu menjadi tantangan yang tidak mudah, Pemerintah sebagai pengirim pesan, perlu memahami karakteristik publik atau masyarakat sebagai responden. Hal ini penting untuk digunakan sebagai dasar mengolah dan membentuk pesan yang tepat bagi penerimanya.

Breakwell (2007) berpendapat bahwa menggunakan ketakutan (fear) sebagai wajah suatu pesan yang ingin disampaikan dapat memberikan dua kemungkinan, berhasil atau gagal.

Masyarakat cenderung memiliki rasa takut terhadap suatu hal, sehingga pesan dalam komunikasi dapat dibungkus dengan ketakutan ini. Namun, rasa takut tidak selalu berguna sebagai bagian dari pesan. Sebuah pesan yang bernuansa ketakutan tetapi tidak diimbangi dengan jalan keluar atas ancaman justru akan memunculkan penolakan.

Masalahnya lagi, manusia cenderung buruk dalam memperkirakan kerentanan mereka yang dipengaruhi oleh kekebalan subyektif (subjective immunity) dan optimisme yang bias (optimistic bias), sehingga pesan-pesan berbalut ketakutan cenderung malah meleset dari target utamanya.

Sebagai gambaran, Kanselir Jerman Angela Merkel menyampaikan bahwa 70 persen masyarakat Jerman berpotensi terinfeksi Corona. Tentu sebuah pernyataan yang cukup berani dari seorang pemimpin negara, seakan-akan menakuti-nakuti rakyatnya.

Yang patut ditiru, masyarakat di sana merespon pernyataan itu dengan penerimaan yang tepat yaitu meningkatkan kewaspadaan. Pertanyaannya, apakah ini dapat dilakukan di Indonesia?.

Tantangan berikutnya adalah amplifikasi pesan dengan menggunakan media massa. To the point saja, media massa merupakan hal yang rumit dalam pengomunikasian risiko. Di satu sisi, media massa adalah saluran utama penyebaran informasi karena memiliki jangkauan publik yang luas.

Namun, di sisi lain, media massa memiliki caranya sendiri untuk menyampaikan apa yang ingin mereka bagikan, dari sudut pandang mereka. Media massa sebagai pemancar (transmitter) memiliki dua peran dalam proses komunikasi; yang pertama sebagai penerima informasi, dan yang kedua adalah pengirim informasi yang telah  mereka proses, untuk disampaikan kepada publik.

Menariknya, informasi yang dihasilkan oleh pemancar menyiratkan proses sadar dan tidak sadar yang cenderung menangkap ‘cerita menakut-nakuti’ sebagai informasi utama yang kemungkinan meng-hiperbola informasi aslinya. Selain itu, ada kemungkinan bahwa ketika menerjemahkan bahasa teknis ke dalam bahasa awam, media massa bisa saja (sering) membuat salah tafsir (Breakwell, 2007; Renn, 2008).

Jika begitu, menyampaikan langsung tanpa perantara media massa adalah solusi? Nanti dulu. Lofstedt (2015) mengklaim bahwa kegagalan komunikasi risiko tidak hanya disebabkan oleh masalah isi pesan tetapi juga ketidakpercayaan masyarakat pada sumber informasi.

Hal ini biasanya didasarkan pada kurangnya kredibilitas atau sepak terjang sebelumnya dari sumber informasi. Publik yang kurang memiliki pengetahuan tentang bahaya akan mengenali dan mempertimbangkan informasi yang disampaikan jika informasi tersebut berasal dari pihak yang dipercaya, yang berarti kepercayaan merupakan faktor penting dalam menyampaikan risiko tersebut.

Praktik Terbaik Pengomunikasian Risiko

Dari bermacam-macam tantangan di atas, risiko dapat dimitigasi dengan belajar dari praktik terbaik yang ada terkait pengomunikasiannya. Berikut ialah beberapa.

Meminjam teori dari Hopkin (2012), pemerintah perlu mengidentifikasi pemangku kepentingan internal dan eksternal dan memahami latar belakang dan concern mereka. Artinya, pemerintah harus memastikan bentuk dan isi informasi yang tepat untuk masing-masing pihak, termasuk penyederhanaan informasi yang terlalu teknis tetapi tidak mengurangi makna informasi tersebut.

Kemudian, Lofstedt (2015) menyatakan bahwa pemerintah perlu melakukan komunikasi proaktif, yaitu perlu menginformasikan semuanya kepada publik, karena menutupi beberapa informasi akan menyebabkan ketidakpercayaan jika publik akhirnya nanti tahu tentang itu.

Ini juga berarti bahwa informasi tersebut perlu dikomunikasikan dengan jelas dan jujur, menunjukkan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah, dan tidak memberikan pernyataan seperti ‘tidak ada risiko’ atau ‘kondisinya benar-benar aman’. Sebab, pemerintah perlu memperhitungkan ketidakpastian yang melekat dalam risiko (Sellnow et al., 2009; Hokin, 2012).

Lebih lanjut, Sellnow et al. (2009) menjelaskan bahwa pemerintah perlu terbuka dan dapat dijangkau oleh publik. Dalam melakukan diskusi dengan publik, pemerintah perlu memahami masalah utama yang ada dan mengidentifikasi pertanyaan yang mungkin ditanyakan dan jawabannya, termasuk berkomitmen untuk memberikan informasi lebih lanjut jika selama diskusi belum mendapatkan jawaban yang lengkap (Hopkin, 2012; Lofstedt, 2015).

Nah, selanjutnya, pemerintah perlu membangun kolaborasi aktif dengan media massa. Masalahnya adalah media massa menjadi penulis pengomunikasian risiko dengan pendekatannya sendiri.

Untuk menghindari penciptaan rasa takut yang tidak disengaja karena kesalahan penerjemahan media massa, pemerintah harus menyiapkan informasi yang sederhana, tetapi akurat atau mungkin memberikan informasi yang ‘siap digunakan’ seperti siaran pers (Breakwell, 2007).

Renn (2008) menjelaskan bahwa siaran pers adalah komunikasi tertulis antara organisasi dan media massa terkait yang berisi informasi yang telah diekstraksi ke pesan-pesan penting sehingga mudah dipahami.

Praktik terbaik terakhir adalah pemerintah harus membangun dan mempertahankan kepercayaan publik. Komunikasi risiko yang efektif, terutama dalam kondisi krisis, sangat tergantung pada apa yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum krisis terjadi, salah satunya adalah kepercayaan publik (Hopkin, 2012). Hal ini dikonfirmasi oleh Renn (2008) yang berpendapat bahwa pengomunikasian risiko bukan (hanya) masalah hubungan masyarakat.

Produk dari hubungan masyarakat seperti iklan dan pengemasan informasi dapat meningkatkan pengomunikasian risiko tetapi tidak dapat mengatasi ketidakpercayaan publik. Kelay dan Fife-Schaw (2010) merekomendasikan beberapa langkah kunci untuk mempromosikan kepercayaan publik.

  1. Pertama, keterusterangan yang berarti menyampaikan semua informasi walaupun itu bisa saja akan merugikan pemerintah. Kedua, pemerintah harus memahami dan menyadari dampak yang akan dialami oleh publik, selalu terbuka dan terjangkau untuk mendengarkan masalah publik.
  2. Pemerintah juga disarankan untuk menunjuk juru bicara sebagai wajah organisasi sehingga publik lebih nyaman berdiskusi dengan perwakilan daripada berurusan dengan organisasi tanpa wajah (faceless organisation). Hal inilah yang menjadi dasar penunjukan Achmad Yurianto sebagai Juru Bicara Pemerintah terkait COVID-19.

Dengan penunjukan juru bicara ini, diharapkan terbangunnya narasi tunggal, tidak ada narasi lain yang justru mengakibatkan kebingungan. Alasan lainnya, hal ini lekat kaitannya dengan kepercayaan publik yang sudah dibahas sebelumnya.

Selama ini, komunikasi publik pemerintah masih sering dinilai tidak transparan, sehingga kepercayaan publik atas informasi yang disampaikan masih rendah. Penunjukan juru bicara yang kredibel seperti Achmad Yurianto, yang dianggap paham secara konteks dan substansi, merupakan solusi untuk mem-booster kepercayaan publik tersebut. Mencoba melepaskan bayang-bayang humas pemerintah yang tidak objektif.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, diharapkan memberikan pemahaman bagi pembaca tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah, jika dilihat dari perspektif pengomunikasian risiko.

Melalui perspektif itu juga, kita bisa mencoba untuk menganalisis latar belakang opsi-opsi komunikasi yang dipilih oleh pemerintah selama ini. Sudah efektifkah? Tentu tidak, atau mungkin belum. Masih banyak celah-celah yang dapat dioptimalisasi untuk dapat mengefektifkan komunikasi tersebut.

Karena sesuai teorinya, setiap komunikasi yang dilakukan tentu ada tujuannya. Dalam hal ini, pemerintah selaku komunikator ingin memengaruhi masyarakat selaku komunikan untuk dapat memahami bahaya dari penyebaran virus corona, mendukung upaya yang dilakukan pemerintah terutama bekerja, belajar, dan beribadah di rumah, serta membangun partisipasi masyarakat agar mau ikut mengambil peran aktif dalam pencegahan penyebaran virus corona tersebut.

*) Penulis adalah pemerhati bidang manajemen risiko dan komunikasi. Segala opini dalam tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak terkait dengan organisasi tempat penulis bekerja.

Referensi

Asselt, Marjolein B.A. van and Renn, Ortwin. (2011),”Risk governance”, Journal of Risk Research. 14:4. 431-449.

Breakwell, Glynis M. (2007). The Psychology of Risk. Cambridge: Cambridge University Press.

Hopkin, Paul. (2012). Fundamentals of Risk Management: Understanding, Evaluating, and Implementing Effective Risk Management. 2nd ed. London: Kogan Page Limited.

International Risk Governance Council (2008). An introduction to the IRGC Risk Governance Framework. Geneva: IRGC.

Lofstedt, Ragnar. (2015),”Effective Risk Communication and CCS: the road to success in Europe. Journal of Risk Research. Vol 18 (6). Pp 675-691.

Kelay, Tanika and Fife-Schaw, Chris. (2010). Effective Risk Communication: A Guide to Best Practice. TECHNEAU.

Renn, Ortwin. (2008). Risk Governance: Coping with Uncertainty in a Complex World. London: Earthscan.

Sellnow, Timothy L., Ulmer, Robert R., Seeger, Matthew W., and Littlefield, Robert S. (2009). Effective Risk Communication: A Message-Centered Approach. Springer.

2
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

1 Comment

  1. Avatar

    Setuju dengan kerangka pikir tersebut, ketidakadaan juru bicara menyebabkan kesimpangsiuran informasi kepada masyarakat. dampaknya muncul rasa kawatir, panik, gelisa dan sebagainya. Sampai-sampai daerah mengambil kebijakan yang didasarkan pada kesepahaman dan daya dorong untuk membentengi masyarakat dengan menghentikan arus mudik manusia masuk dan keluar suatu daerah dipersalahkan oleh Pemerintah Pusat. pada hal alasan adanya kebijakan daerah sudah jelas terurai di Surat keputusan bersama oleh komponen masyarakat bersama pemerintah daerah.
    kiranya tulisan tersebut memberi pencerahan bagi para pengambil kebijakan

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post