Lik Yanto dan Cerita yang Tersapu Malam

by | Sep 24, 2025 | Birokrasi Bersih | 0 comments

Kampung Kelurahan Larahan. Pertengahan September 2025. Suatu malam minggu yang ceria dengan langit bertabur bintang dan rembulan sedang purnama.

Di kampung itu, setiap malam seperti punya playlist-nya sendiri, begitu pun malam itu. Suara jangkrik, aroma tanah basah terguyur gerimis tadi sore, obrolan bapak-bapak di warung kopi, dan bacaan tilawah Qur’an dari surau yang mengalun seperti musik latar. Lampu neon di kantor kelurahan berkelip pelan.

Di halaman, seorang tukang sapu berjaket lusuh merapikan dedaunan. Orang mengenalnya sebagai Yanto. Anak-anak memanggilnya Lik Yanto, sama sekali tidak ada sungkan atau merasa asing ketika berada di dekatnya.

Lepas maghrib petang itu, Lik Yanto masih sibuk membersihkan dedaunan dengan sapunya. Biasanya paling sore jam lima, sehabis itu tidak elok lagi menyapu halaman. Bu Lurah berkali-kali mengingatkan untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum matahari terbenam.

Tapi kali ini karena habis hujan, halaman kelurahan, warung kopi dan sekitarnya masih akan ramai didatangi orang-orang, Yanto merasa perlu memperpanjang jam bertugasnya memastikan kerapian pelataran.

Bubaran dari musola, anak-anak menghampiri Lik Yanto, melihatnya sejenak lalu menarik sapu sambil bercanda,

Lik-lik.. kok sih kerjo bengi-bengi…

Tak ewangi nyapu yo, ben ndang melu cangkruk ndek warung kopi.”

Lik Yanto cuma tersenyum. Bagi warga, dia hanyalah petugas kebersihan kelurahan. Tidak ada yang curiga kalau pria berjaket lusuh itu sesungguhnya intel negara—semacam detektif bayangan yang disewa untuk menyelidiki kasus-kasus yang jarang disentuh.

Pekerjaannya menuntutnya untuk berbaur, mendengar, menyerap cerita tanpa banyak bicara. Sapu jadi alat penyamaran yang sempurna: semua orang jadi merasa nyaman bercerita di dekatnya, seperti curhat ke tukang cukur.

Setelah tugasnya beres, Yanto biasanya nongkrong di warung kopi dekat kelurahan. Warungnya kecil, dindingnya masih dari papan, televisi tuanya kadang buram. Tapi di situlah ia mengumpulkan informasi sambil menyeruput kopi hitam.

Malam itu, Gunawan si bakul buah yang tinggal di rumah sebelah warung kopi, duduk di sampingnya sambil menyalakan rokok kretek.

“Yanto, wis krungu kabar durung?” tanya Gunawan.
“Kabar opo?” Yanto pura-pura santai.
“Itu lho, tetangga kita Pak Djumadi ketangkap aparat. Main judi. Ironisnya, kok ya main judinya kemarin malam sehabis tahlilan!”

Yanto tersenyum samar. Dalam hati ia bergumam,
“Doa masih di bibir, kartu sudah di tangan. Multi-tasking level dewa. Bisa-bisanya mencampuradukkan kebaikan dan kriminal”

“Tapi hebatnya,” sambung Gunawan, “Tadi pagi-pagi dia sudah di rumah. Sakti juga tangisan istrinya ya… Banyak yang nolong.

Katanya dibantu markus, opo iku, Makelar Kasus. Ada yang ‘ngurusin’ supaya Pak Djumadi dan kawan-kawan cepat dibebaskan. Satu orang kena 15 juta katanya.”

Yanto mengaduk kopinya pelan. Dalam hatinya muncul senyum miris. “Andai saja urusan KTP, SIM, dan izin usaha bisa secepat itu juga…,” pikirnya.

Ia paham betul, untuk urusan yang “itu” jalannya justru secepat kilat karena ada yang ‘ngurusin’. Sebaliknya, untuk urusan warga kecil yang sah dan resmi, justru sering tersendat tanpa pelicin. Dunia memang lucu.

Di televisi warung yang menggantung miring, berita tentang penegakan hukum berputar tanpa suara. Caption-nya bergulir cepat: kasus besar ini, kasus besar itu. Di linimasa media sosial, tagar tentang keadilan trending lagi.

Sesekali masih diberitakan sisa-sisa demonstrasi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya: orang hilang, gedung dan fasilitas umum hangus terbakar, kendaraan dibalikkan, batu berserakan di jalan. Cukup kontras dengan keadaan Kelurahan Larahan yang adem ayem malam itu.

Namun begitu, para penikmat warung kopi tidak absen dari pengamatan dan mengkritisi, seolah tidak mau kalah dengan trending topic semua orang di penjuru negeri. Di pojok warung kopi itu, obrolan pun mengalir seperti biasa:

“Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas,” kata Pak Gandhi, pelanggan warung kopi yang paling gempal badannya, sembari menunjuk-nunjukkan jarinya ke atas dan ke bawah.

“Sekarang malah bisa digulung kayak tikar, Pak,” celetuk yang lain. “Pejabat pamer kekayaan di medsos, kita pamer cicilan di pinjol. Opo kuwi jenenge, Bank Thithil (rentenir)”.

Pak Gandhi terhenyak sejenak mendengar curhatan Santoso, juniornya di persawahan bawang selatan sungai. Setiap hari mereka berangkat dan pulang bersama, tapi cerita soal keuangan keluarga memang jarang diceritakan kecuali di warung kopi.

Lha piye, wayahe mbayar SPP. Urung panen brambang”, tukas Santoso membela diri.

Tawa pun pecah. Tawa getir yang sudah jadi kebiasaan. Yanto ikut tertawa kecil mendengarkan obrolan Gandhi dan Santoso. Bukan karena lucu, tapi karena kalau tidak ikut tertawa, ia bisa jadi terlalu serius. Mencurigakan penyamaran yang sudah dia buat hampir 2 tahun lamanya.

Bagi Yanto, tugasnya berat tapi tidak boleh kelihatan berat. Ia mengumpulkan bukti, menyelidiki orang, merangkai fakta. Seperti menyusun puzzle dengan potongan-potongan yang sering sengaja dihilangkan.

Ia tahu hasil pekerjaannya bisa berhenti di meja pimpinan, bisa dipakai lawan politik untuk menjegal seseorang dari kekuasaannya, bisa juga dihancurkan dengan shredder atau dibakar karena dianggap lebih baik tidak pernah ada. Semua tergantung keberanian mereka yang berkuasa.

Kadang ia merasa seperti tukang gali sumur: makin dalam galiannya, makin besar kemungkinan ketemu ular. Sepertinya selain menyamar jadi tukang sapu, ia perlu belajar menjadi pawang ular juga. Biar komplit.

Sesekali ia berkata pada dirinya sendiri, “Aku ini detektif atau tukang sapu sungguhan? Makin rajin menyapu, makin banyak sampah ketahuan.”

Masih lekat dalam ingatannya sekitar sebulan yang lalu seorang pejabat kecamatan ditangkap paksa beberapa orang berseragam. Persis ketika sedang bertransaksi dengan beberapa lembar dokumen surat tanah dan segepok uang seratus ribuan. Mereka datang berkat informasi akurat yang dikirimkan oleh Yanto pada seorang kawannya di ibukota provinsi.

Namun, tiga hari kemudian pejabat kecamatan itu sudah kembali hadir di apel pagi. Memberikan sambutan yang menggebu-gebu soal kerja bakti dan semangat bekerja bagi anak-anak muda. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Dalam penyamaran, Yanto menyaksikan wajah-wajah rakyat kecil yang masih berdoa meski getir, aparat yang masih mencoba jujur meski sistem menekan, dan juga kawan-kawan seperjuangan yang tetap menulis kebenaran meski laporan mereka tak selalu didengar dan dibaca.

Ia melihat semuanya seperti potongan film yang diputar lambat, di antara aroma kopi dan bunyi sendok di mengitari gelas. Khas. Berdenting. Sering diabaikan meskipun sejatinya indah ketika terdengar memecah kesunyian.

Keesokan harinya, Minggu jam setengah tujuh pagi.

Baru saja Yanto menuntaskan sarapan pecel dan membuang bungkusnya, lalu keluar dari warung kopi. Tiba-tiba langkahnya dihentikan seorang pria berperut buncit, tinggi besar, dan mengenakan seragam kecamatan—orang yang dulu pernah ia laporkan diam-diam. Dengan nada membentak, orang itu melabrak:

“Lik Yanto… atau siapa pun kamu sebenarnya. Jangan kira aku enggak tahu kelakuanmu! Kamu pikir kamu pahlawan? Berani-beraninya main belakang!”

Beberapa warga yang pagi itu sudah nongkrong di warung kopi kaget dan spontan berdiri. Gunawan mendekat. Anak-anak kecil yang sedang bermain sepeda mengerem mendadak, lalu menatap penuh tanda tanya. Pak Gandhi yang gempal ikut maju.

“Pak Camat, sampun ngoten! Lik Yanto iki wong apik.

Saben dinten mbantu ngresiki kelurahan. Wong koyo ngene kok malah dimarahi?”

“Iya, Pak,” timpal Santoso.

“Dia malah jadi contoh buat anak-anak kampung. Kalau bersih-bersih saja rajin, apalagi soal berbuat jujur. Jangan-jangan Pak Camat yang sudah ngibuli kita-kita.”

Suasana jadi hening sesaat. Pak Camat menatap sekeliling, mendapati tatapan warga yang kini berbalik menjadi benteng buat Yanto. Ia mendengus, menahan marahnya, lalu pergi sambil menggerutu. Warga pun kembali duduk, sebagian menepuk bahu Yanto.

“Sabar, Lik. Wong bener mesthi akeh musuhe,” kata Gunawan pelan.

Yanto hanya tersenyum kecil, memandang sapu yang disandarkan di bahunya. Di balik jaket lusuhnya, dadanya hangat bukan karena marah, tapi karena merasa masih ada yang peduli. Ia tidak sendiri.

Kedua bocah cilik yang tadinya bersepeda lantas mendekat.

“Lik Yanto, kapan cerita lagi yang lucu-lucu?” tanya salah satunya polos.
Yanto tersenyum lebar.

“Nanti, kalau Lik Yanto enggak sibuk nyapu Markus ya,” candanya ringan.

Anak-anak itu tertawa cekikikan, seolah mengerti apa yang sedang dibicarakan.

Yanto melangkah pelan melewati jalan tanah yang basah. Matahari mulai meninggi, ayam jago berkokok dari kejauhan. Hanya sisa aroma kopi dan suara burung yang menemani.

Dalam hati ia berdoa singkat: semoga hari ini lebih baik, semoga orang-orang kecil tetap punya harapan, semoga anak-anak itu tumbuh besar sebagai orang terpelajar dan semoga ia sendiri selalu diberi keberanian untuk tetap berbuat sebagaimana seharusnya—meski hanya seorang “tukang sapu” di pojok warung kopi.

Karena ia percaya, ada Tuhan yang Maha Menyaksikan. Kalaupun di dunia ini keadilan tak bisa ditegakkan sempurna, kelak semua akan diadili dengan seadil-adilnya.

Keyakinan itu yang membuatnya tetap berjalan santai, menyapu dedaunan, mendengar cerita orang, tertawa kecil, dan tetap bekerja di balik jaket lusuhnya. Seolah-olah ialah Yanto cuma seorang tukang sapu kelurahan. Padahal, entah berapa kasus sudah ia selidiki sambil pura-pura menggoyang sapu.

7
0
Sofia Mahardianingtyas ◆ Expert Writer

Sofia Mahardianingtyas ◆ Expert Writer

Author

Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus D-3 & D-4 STAN, program beasiswa master LPDP PK-84 pada MPKP FEUI dan program MMSI Binus University. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal pada sebuah BUMN di sektor keuangan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post