Libur Idul Adha 2024 membawa suasana yang berbeda di Jakarta. Jalanan yang biasanya padat dengan kendaraan bermotor mendadak lengang. Namun, di balik kelengangan ini, ada masalah serius yang masih mengintai: polusi udara yang tetap buruk meskipun lalu lintas berkurang.
Berdasarkan data US AQI, Indeks AQI tanggal 17 juni 2024 berada di angka 158 dan tanggal 18 Juni berada di angka 175. Angka tersebut berada pada kategori unhealthy. Fenomena ini mengungkapkan bahwa polusi di Jakarta bukan hanya disebabkan oleh kendaraan bermotor saja.
Jakarta, sebagai kota dengan populasi yang padat dan aktivitas ekonomi
yang tinggi, memiliki sumber polusi yang beragam.
Selain kendaraan bermotor, pabrik-pabrik, pembakaran sampah, dan aktivitas konstruksi juga menyumbang polusi yang signifikan.
Selama libur Idul Adha, meskipun jumlah kendaraan berkurang drastis, polusi dari sumber-sumber lain tetap ada. Kondisi cuaca juga memainkan peran penting; angin yang lemah dan suhu yang tinggi dapat memperburuk kualitas udara dengan menjebak polutan di atmosfer. Jadi sepertinya ada benarnya jika ada yang bilang “angin tidak punya KTP”.
Udara Jakarta vs Everybody
Regulasi mengenai pengendalian polusi di Jakarta sudah ada, salah satunya PP nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun implementasinya masih jauh dari optimal.
Misalnya, pembatasan emisi kendaraan dan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan seringkali tidak diawasi dengan ketat. Selain itu, regulasi mengenai pabrik dan industri juga perlu diperketat, terutama terkait pengelolaan limbah dan emisi gas buang.
Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta (2023), ada 48 perusahaan yang ditemukan tidak taat terhadap regulasi lingkungan dan hal ini menjadi penyumbang yang signifikan terhadap polusi udara. Dari total 114 perusahaan yang diawasi, hanya 66 yang dinyatakan memenuhi standar (bisnis.com).
Dari sisi lingkungan, Jakarta memiliki jumlah ruang terbuka hijau yang minim. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyebut, luas ruang terbuka hijau (RTH) di wilayah Ibu Kota mencapai 33,34 juta meter persegi atau hanya sebesar 5,2% dari total luas provinsi (katadata).
Taman-taman dan hutan kota yang seharusnya menjadi paru-paru kota, masih sangat kurang dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya. Upaya reboisasi dan penghijauan seringkali terkendala oleh minimnya lahan yang tersedia dan ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah.
Koordinasi antarlembaga pemerintah yang seringkali berjalan tidak efektif, masih menjadi hambatan terbesar dalam mengatasi polusi di Jakarta. Perbedaan kebijakan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jakarta dan Pemerintah Daerah di sekitar Jakarta, menyebabkan banyak program yang tidak berjalan sesuai rencana.
Ditambah, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan juga masih rendah. Banyak warga yang belum memahami dampak buruk dari polusi udara terhadap kesehatan mereka.
Kendala lain yang tidak kalah penting adalah masalah anggaran. Pengelolaan lingkungan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Baik untuk pengawasan, penegakan hukum, maupun untuk program-program penghijauan dan edukasi masyarakat.
Menurut situs Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tahun 2019, total anggaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH), suku dinas DLH, dan UKPD di bawahnya sebesar Rp 3,49 triliun (katadata). Dalam kondisi ini, alokasi anggaran untuk lingkungan yang dirasa sudah cukup besar, nyatanya tidak dapat mengentaskan permasalahan polusi udara di DKI Jakarta.
Menciptakan Udara yang Lebih Sehat
Untuk mengatasi masalah polusi di DKI Jakarta yang sangat kompleks ini, pemerintah baik itu pusat dan daerah harus mengambil langkah-langkah strategis.
- Pertama, pengawasan dan penegakan hukum yang tegas. Pemerintah harus berperan dan meningkatkan pengawasan terhadap emisi kendaraan bermotor dan emisi dari sektor industri. Jika melanggar dari regulasi yang ada harus diberikan sanksi yang tegas sesuai peraturan yang berlaku.
- Kedua, perbaikan dan peningkatan alat transportasi publik. Perlu adanya perbaikan dan peningkatan kualitas transportasi publik. Jika jangkauan transportasi publik lebih baik maka dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Selain itu faktor keamanan di transportasi publik juga perlu ditingkatkan.
- Ketiga, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Sosialisasi atas dampak polusi yang ditimbulkan dari masyarakat seperti kebiasaan membakar sampah perlu dilaksanakan secara masif. Selain itu pemerintah harus tidak bosan-bosannya mengajak Masyarakat untuk terus peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
- Keempat, menerapkan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip whole of government. Diperlukan sinergi dan Kerjasama yang baik antar lembaga pemerintah, baik pusat, daerah, maupun pihak swasta dan pihak terkait lainnya untuk melaksanakan kebijakan dan pengendalian atas polusi yang ada di DKI Jakarta.
Potret AQI pada saat libur Idul Adha 2024 menjadi pengingat bagi kita semua bahwa mengatasi polusi di Jakarta bukanlah tugas mudah. Dengan komitmen dan kerjasama yang baik dari semua sektor mulai dari pemerintah, swasta dan masyarakat, masalah polusi dapat diatasi dan dapat terkendali.
Semua sektor harus bahu-membahu untuk mewujudkan Jakarta dan Indonesia yang lebih sehat di masa depan.
Eh, bagaimana kalau ternyata polusi udara yang tetap terjadi ketika idul Adha kemarin, asalnya dari pembakaran sate qurban? Kalau misalnya begitu, mungkin kita sudah berfikir kejauhan sampai polusi industri dan lalu lintas Jakarta.
Jangan-jangan, kita saja yang perlu mengubah cara untuk menikmati daging kurban?
Dari disate menjadi disemur, direndang, atau disop.
0 Comments