Sejak tahun 1997 Indonesia memiliki regulasi yang secara khusus mengatur tentang penyandang disabilitas, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-undang ini menggunakan pendekatan kesehatan sehingga penyandang disabilitas dianggap sebagai individu yang sakit dan patut dikasihani.
Namun hampir satu dekade berselang, arah kebijakan pun berubah. Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi terhadap United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD), Indonesia mengundangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menggunakan pendekatan sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Disetarakan dengan Individu Lainnya
Dalam kebijakan yang lebih baru ini, penyandang disabilitas dipandang sebagai bagian dari keberagaman yang memiliki hak asasi yang sama dan setara dengan individu lainnya.
Dengan konsep baru ini, kerangka hukum di Indonesia tidak lagi menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang sakit dan tidak mampu. Berjalannya waktu, hingga kini pemerintah telah menetapkan sebanyak sembilan peraturan turunan dari undang-undang tersebut.
Mewujudkan pembangunan yang inklusif
bagi penyandang disabilitas telah menjadi salah satu prinsip
kerangka pembangunan global Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB).
Penggunaan prinsip pembangunan yang inklusif ini ditujukan untuk memperbaiki kondisi ketidakmerataan yang terjadi akibat ketidakseimbangan kekuatan, suara, dan pengaruh antar individu/antarkelompok (termasuk individu/kelompok penyandang disabilitas) dalam proses pembangunan.
Pembangunan inklusif diharapkan dapat memperkuat tidak hanya tatanan ekonomi, tetapi juga tatanan sosial dan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan (United Nations, 2016).
Studi Kasus: Australia
Dari perspektif perbandingan politik luar negeri, beberapa negara maju memiliki rencana pembangunan nasional inklusif. Di bawah skema Australia’s Disability Strategy 2021-2031 dan National Disability Insurance Scheme (NDIS), pemerintah Australia melakukan penguatan kapabilitas, keberdayaan, dan kemandirian penyandang disabilitas.
Kegiatan tersebut dilakukan melalui penyediaan dukungan dana, penyediaan informasi dan jejaring, serta peningkatan kapasitas penyandang disabilitas.
Setiap negara bagian di Australia memiliki rencana aksi pembangunan jangka menengah yang inklusif sejalan dengan Australia’s Disability Strategy 2021-2031. Tidak hanya itu, dalam rencana aksi yang ditetapkan terdapat fokus-fokus area yang bersifat unik disesuaikan dengan profil masing-masing negara bagian.
Hal ini tentu saja melewati berbagai proses analisis kebijakan publik yang didasarkan dari data disabilitas, serta klasterisasi jenis dan kebutuhannya.
Situasi di Indonesia
Sementara di Indonesia, sebagaimana dikutip dari laman ofisial Satu Data Indonesia bagian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, data dan strategi pembangunan untuk disabilitas tidak tersedia dengan rinci.
Pada Buku Metadata Indikator Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2024, beberapa indikator pembangunan yang menyentuh kepentingan bagi penyandang disabilitas adalah sebagai berikut:
- Tingkat Kemiskinan Penduduk Penyandang Disabilitas;
- Pemerintah Daerah yang Menerapkan Prinsip Inklusif; dan
- Persentase penduduk usia 7-18 tahun yang bersekolah, dalam Indikator Indeks Pembangunan Kebudayaan.
Hal ini menunjukkan bahwa perspektif kebijakan nasional bagi penyandang disabilitas dilakukan dengan penalaran deduktif, di mana skema-skema terkait disabilitas dimasukkan secara parsial ke dalam semua target yang mendukung pembangunan inklusif.
Perspektif di atas memilih penalaran deduktif, alih-alih menggunakan logika induktif, di mana secara umum terdapat Grand Design pembangunan nasional yang khusus ditujukan bagi penyandang disabilitas dengan berbagai spektrum pembangunan di dalamnya meliputi sektor ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesejahteraan, kepegawaian, dan sebagainya.
Lalu, bagaimana dengan aspek layanan publik?
Mengutip dari laman ofisial Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pada tahun 2024 Pemerintah pusat melakukan Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pelayanan Publik (PEKPPP) yang didasarkan pada sembilan layanan yang diprioritaskan dalam arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).
Sembilan layanan tersebut adalah layanan pendidikan, kesehatan, layanan bantuan sosial, layanan kepolisian, administrasi kependudukan, layanan transaksi keuangan negara, administrasi pemerintahan, pertukaran data, serta portal layanan publik.
Indikator evaluasi pelayanan publik ini adalah kebijakan pelayanan, profesionalisme sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana, sistem informasi, konsultasi pengaduan, serta inovasi dari unit penyelenggara pelayanan.
Nilai indeks pelayanan publik yang nantinya diterima oleh unit, dilihat pula dari penilaian atau persepsi masyarakat, komitmen tata kelola, dan penilaian ahli sesuai bukti dukung serta kesesuaian jawaban.
Pertanyaan selanjutnya, apakah instrumen penilaian PEKPPP memiliki aspek pengukuran inklusivitas layanan? Tentu saja, bahkan dari enam aspek penilaian layanan publik yang terdiri dari:
- Aspek Kebijakan Pelayanan;
- Aspek Profesionalitas SDM;
- Aspek Sarana dan Prasarana; Aspek Pengendalian;
- Aspek Pengaduan dan Konsultasi; dan
- Aspek Inovasi,
secara keseluruhan didorong untuk menyediakan layanan yang sama dan setara bagi penyandang disabilitas. Namun pada koridor apa?
Secara keseluruhan unsur inklusi dalam penilaian PEKPP baru menyentuh aspek fisik. Penilaian mencakup ketersediaan akses bagi penyandang disabilitas tanpa mempertanyakan lebih lanjut bagaimana institusi memastikan layanan yang diberikan tepat guna dan tepat sasaran disesuaikan dengan kebutuhan dan profil disabilitas.
Tentu saja hal ini penting karena pada prinsipnya berbicara mengenai pemenuhan hak disabilitas tidak hanya bicara tentang pemenuhan sarana berwujud seperti: kursi roda; ram; guiding block; layanan braille; maupun layanan bahasa isyarat.
Namun lebih dari itu, diperlukan sebuah framework dan tata kelola yang lebih filosofis. Bila pemangku kebijakan hanya berfokus pada pemenuhan hal-hal yang nampak / tangible, maka seluruh regulasi dan kebijakan yang dihasilkan berpotensi tidak memiliki ruh manajemen publik yang inklusif.
Partisipasi Pemerintah dalam Pembangunan Inklusif
Secara umum partisipasi pemerintah dalam pembangunan inklusif khususnya sektor manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur patut dipertanyakan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai angka 22,5 juta jiwa atau sekitar 5% dari keseluruhan jumlah penduduk.
Sayangnya, sejak 2019 hingga 2023 Buku Statistik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dirilis oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak pernah menyajikan data pegawai ASN berdasarkan jenjang dan derajat disabilitasnya.
Hal ini ironis karena melalui kebijakan Satu Data Indonesia yang disahkan dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia dan Peraturan BKN Nomor 13 Tahun 2022 tentang Satu Data Bidang ASN, pemerintah jelas berkomitmen dalam menyediakan dan menggunakan data sebagai media pembangunan nasional.
Tidak hanya itu, dalam sektor manajemen kepegawaian,
sejak era Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 hingga Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023
tentang ASN, aspek inklusi paling signifikan yang dilaksanakan adalah
ketersediaan minimal 2% formasi disabilitas dalam
seleksi nasional Calon ASN.
Selain hal tersebut, bentuk layanan inklusi dibangun hanya dalam tataran infrastruktur fisik. Belum nampak secara signifikan komitmen pemerintah dalam merumuskan masterplan manajemen kepegawaian nasional yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Dilihat dari beberapa sudut pandang, bisa dikatakan politik hukum manajemen kepegawaian di Indonesia belum disusun berdasarkan paradigma manajemen kepegawaian yang inklusif.
Untuk mencapai hal tersebut Indonesia memerlukan cetak biru yang secara khusus menjadi garis pedoman bagi seluruh pemangku kebijakan dalam menyusun dan menerapkan regulasi yang ramah disabilitas.
Diperlukan dimensi turunan berupa instrumen terstandar yang berguna untuk menyusun serta menganalisa pemenuhan aspek disability awareness dalam rangkaian peraturan kepegawaian. Tentu saja yang tidak kalah penting adalah menjadikan disability awareness tersebut sebagai identitas dan nilai dasar, layaknya core value BerAKHLAK bagi ASN.
Jadi mari kembali pertanyakan ke diri sendiri, sudahkah kita inklusif?
Luar biasa. 🙏🙏🙏. Tuhan berkati teris karyanya👏👏
Such an inspiration
Izin, saya Ade Wirawan seorang aktivis Tuli Bali untuk terfokus kesejahteraan Tuli di Provinsi Bali berhak dari kelahiran dalam Negara.
Saya Setuju! Kebijakan sudah disah tapi tidak melaksanakan harus melanggar. tambahan Convention on The Right of Persons with Disabilities (CRPD)
UU No.19 tahun 2001 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251);
Dan saua menharapkan pemerintah bisa pendekatan dengan organisasi disabilitas tidak ke dinas sosial lagi untuk pelatihan memahami dan interaksi dengan ragam disabilitas.
Terima kasih Ade atas tambahan informasinya. Betul saya setuju sekali, saat ini pemerintah masih belum maksimal dalam menerapkan amanat UU 19 tahun 2011 dan UU 8 tahun 2016, khususnya terkait keterlibatan OPDis dalam penyusunan kebijakan. Mari kita kawal bersama-sama, karena ini PR semua pihak.
Luar biasa🙏🏻🙏🏻tetaplah mrnjadi pioneer….
Siap suksma senior 🙏🏻🙏🏻