
“Jadi, risiko itu selalu buruk, ya?” tanya seorang peserta, sejenak menghentikan presentasi saya.
Saya tersenyum. “Tidak selalu,” jawab saya sambil menulis dua kata besar di papan: Risiko Positif. Sontak rekan-rekannya di dalam kelas ikut memperhatikan, penasaran. Mata mereka berkerut, seolah kata-kata itu bertentangan dengan logika.
“Apa contohnya?” tanya seorang lain, dengan nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Saya mengambil nafas dalam, lalu mulai mendongeng.
“Bayangkan Anda seorang entrepreneur. Anda punya ide brilian, tapi Anda tidak tahu apakah pasar akan menerimanya. Ada risiko gagal, tapi ada juga peluang untuk sukses besar. Nah, risiko yang membawa peluang inilah yang kita sebut risiko positif.”
Beberapa peserta mulai mengangguk, tapi yang lain masih tampak bingung.
“Jadi, ini seperti judi?” tanya seorang pria di sudut ruangan.
Saya tertawa kecil.
“Tidak persis. Judi mengandalkan keberuntungan. Risiko positif mengandalkan persiapan, strategi, dan keyakinan.”
Saya membiarkan mereka mencerna sejenak, lalu melanjutkan.
“Contoh lain: ketika Anda memutuskan untuk belajar skill baru. Ada risiko waktu dan tenaga Anda terbuang, tapi ada juga peluang karier Anda melesat. Atau ketika Anda memilih untuk pindah ke kota atau bahkan negara lain. Ada risiko merasa tersesat, tapi ada juga peluang menemukan kehidupan yang lebih baik.”
Saya memandang sekeliling ruangan, mencoba membaca ekspresi.
Beberapa masih tampak bingung, sementara yang lain mulai terlihat penasaran. “Mari kita bahas lebih dalam,” kata saya, mencoba mengembalikan fokus mereka.
“Risiko positif adalah ketidakpastian yang bisa membawa hasil menguntungkan. Jadi, istilah ini bukan tentang menghindari bahaya, tapi tentang melihat peluang di balik ketidaktahuan.”
Saya mengambil spidol dan menggambar diagram sederhana di whiteboard: di satu sisi ada “Risiko Negatif” (ancaman, kerugian), dan di sisi lain ada “Risiko Positif” (peluang, keuntungan).
“Keduanya adalah dua sisi dari koin yang sama,” jelas saya.
“Tapi sering kali, kita terlalu fokus pada sisi negatif, sampai lupa bahwa ada sisi lain yang bisa kita manfaatkan.”
Seorang peserta mengangkat tangan.
“Tapi bukankah risiko tetaplah risiko? Bagaimana kita bisa yakin bahwa peluangnya lebih besar daripada ancamannya?”
Saya mengangguk, menghargai pertanyaan yang terlontar. “Itulah seninya,” jawab saya.
“Kita tidak pernah bisa yakin 100%. Tapi kita bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misalnya, sebelum meluncurkan produk baru, kita melakukan riset pasar, uji coba, dan menyiapkan rencana cadangan. Dengan begitu, meski ada ketidakpastian, kita sudah meminimalkan risiko negatif dan memaksimalkan peluang positif.”
Beberapa peserta mulai mencatat, sementara yang lain masih mempertimbangkan.
Saya melanjutkan, “Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi risiko positif tanpa menyadarinya. Misalnya, ketika Anda memutuskan untuk menikah. Ada risiko konflik dan perbedaan, tapi ada juga peluang kebahagiaan dan pertumbuhan bersama menggapai surga yang dirindukan.
Atau ketika Anda memilih untuk berinvestasi. Ada risiko kehilangan uang, tapi ada juga peluang keuntungan besar.”
Tiba-tiba, seorang peserta di barisan depan tersenyum.
“Jadi, risiko positif itu seperti… taruhan yang terukur?” Saya mengangguk antusias. “Tepat sekali! Tapi bukan sekadar taruhan. Ini tentang kesiapan, strategi, dan keyakinan bahwa ketidakpastian bisa menjadi teman, bukan musuh.”
Tiba-tiba, seorang peserta mengangkat tangan. “Kalau begitu, apakah konsep ini baru? Atau sudah ada sejak dulu?”
Saya tersenyum lagi.
“Pertanyaan bagus,” kata saya.
“Sebenarnya, teori ini sudah tertulis sejak 15 abad yang lalu.”
Mata mereka membelalak.
“Di mana?” tanya mereka serempak.
Saya menulis di whiteboard:
Lailatul Qadr
Sekilas, terlihat ekspresi tak percaya, tak menyangka ilmu kekinian bergeser jadi ceramah keagamaan. “Dalam manajemen risiko modern,” saya mulai, “ada beberapa strategi (risk response) untuk memanfaatkan risiko positif yaitu eksploitasi (exploit) peningkatan (enhance), berbagi (share), dan penerimaan (accept).
Nah, menariknya, semua ini juga bisa kita temukan dalam cara kita menyambut Lailatul Qadr.” Mata mereka berbinar, penasaran. “Mari kita bahas satu per satu,” lanjut saya, sambil menulis keempat kata itu di papan.
“Pertama, eksploitasi,” saya menjelaskan. “Ini tentang bagaimana memaksimalkan peluang dengan cara berusaha memastikan risiko positif tersebut terjadi. Dalam konteks Lailatul Qadr, berarti kita berusaha sekuat tenaga untuk beribadah di semua malam terakhir Ramadan.
Kita tidak tahu malam mana yang menjadi Lailatul Qadr, jadi kita ‘mengeksploitasi’ semua malam itu dengan I’tikaf, shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan berdoa.
Misal kemungkinan awalnya yaitu 20% (1 dari 5 malam ganjil), maka dengan melaksanakan ibadah-ibadah tersebut pada seluruh malam ganjil, kemungkinannya jadi 100%. Katakanlah seperti investor yang membeli semua saham potensial, karena tidak tahu mana yang akan melesat.”
Beberapa peserta tersenyum, mulai melihat benang merahnya.
“Kedua, peningkatan,” lanjut saya, “yaitu upaya yang ditempuh untuk memaksimalkan Return On Investment. Dalam Lailatul Qadr, karena waktu (window of opportunities) terbatas, maka upaya yang bisa ditempuh adalah meningkatkan kualitas ibadah kita.
Tidak hanya sekadar shalat, tapi juga memperbaiki niat, menghadirkan hati, dan memperbanyak amal kebaikan. Kalau diibaratkan perusahaan, kita tidak hanya meningkatkan produksi, tapi juga meningkatkan kualitas produknya.”
Seorang peserta mengangguk, seolah baru menyadari sesuatu. “Jadi, ini bukan hanya tentang kuantitas, tapi juga kualitas?” tanyanya.
“Tepat sekali,” jawab saya.
“Kuantitas tanpa kualitas hanya akan membuat kita lelah, tanpa hasil yang maksimal. Hal ini juga yang menjadikan I’tikaf di masjid sebagai ibadah Ramadhan favorit Rasulullah, karena hanya dengan berdiam diri, berkhalwat dengan Yang Maha Kuasa, dianggap pahala beribadah penuh, apalagi ditambah ibadah yang lain”
“Ketiga, berbagi,” saya melanjutkan.
“Dalam bisnis, biasanya dilakukan dengan cara bermitra untuk mengoptimalkan peluang. Dalam Lailatul Qadr, dapat diterjemahkan menjadi ajakan kepada keluarga, teman, atau komunitas untuk bersama-sama mencari malam itu.
Kita bisa shalat berjamaah, saling mengajak, saling membangunkan, atau bahkan hanya dengan sekedar mengingatkan:
-malam ini malam ganjil lho!-
Dengan berbagi, kita tidak hanya meningkatkan peluang diri sendiri, tapi juga membantu orang lain meraih berkah yang sama. Ingat, ada pahala tersendiri bagi ajakan menuju kebaikan”. Beberapa peserta tersenyum mengingat Ramadan mereka bersama orang terdekat.
“Terakhir, penerimaan,” saya menutup penjelasan.
“Ini tentang berserah diri setelah berusaha sekuat tenaga. Dalam Lailatul Qadr, kita tidak pernah tahu pasti apakah kita telah bertemu malam itu. Tapi setelah berjaga, berdoa, dan berusaha, kita harus bisa menerima bahwa hasilnya ada di tangan Allah.”
Ruangan pun hening sejenak, merenungkan makna di balik kata-kata itu.
“Jadi,” saya menyimpulkan, “Lailatul Qadr bukan sekadar malam yang penuh misteri. Ia adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan kita tentang seni menghadapi ketidakpastian.
Dengan eksploitasi, kita memaksimalkan peluang. Dengan peningkatan, kita memperkuat kualitas. Dengan berbagi, kita memperluas dampak. Dan dengan penerimaan, kita menemukan kedamaian dalam kepasrahan.”
Saya memandang sekeliling ruangan, mencoba menangkap setiap ekspresi yang terpancar. Ada yang masih merenung, ada yang tersenyum, dan ada yang menatap saya dengan mata berbinar.
“Jadi, apa pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari semua ini?” Seorang peserta mengangkat tangan. “Bahwa ketidakpastian bukanlah musuh, tapi teman,” jawabnya.
Saya mengangguk antusias.
“Tepat sekali. Ketidakpastian adalah ruang di mana mukjizat dan peluang lahir. Tapi hanya bagi mereka yang berani mengambil risiko: risiko untuk percaya, risiko untuk berusaha, dan risiko untuk berserah.”
“Lailatul Qadr mengajarkan kita bahwa hidup bukanlah tentang menunggu kepastian,” lanjut saya. “Tapi tentang keyakinan bahwa ketidakpastian adalah suatu anugerah, bahwa setiap langkah kita—meski terasa goyah—akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Lailatul Qadr bukan hanya tentang malam seribu bulan, tapi tentang cara kita menjalani hidup: dengan keberanian untuk mencoba, kesabaran untuk menunggu, dan keikhlasan untuk menerima.”
“Maka, di sisa Ramadan ini, mari kita berlomba-lomba mengejar Lailatul Qadr. Jangan biarkan ketidakpastian membuat kita ragu, tapi jadikan ia sebagai motivasi untuk berbuat lebih banyak. Bangunlah di sepertiga malam, bacalah Al-Qur’an dengan khusyuk, dan panjatkan doa-doa terbaikmu.
Karena siapa tahu, mungkin malam ini adalah malam seribu bulan. Mungkin malam ini adalah saat di mana takdirmu diubah, doa-doa lama dijawab, dan hidupmu diberi makna baru.” Ruangan pun hening, seolah semua orang sedang merenungkan janji besar di balik kata-kata itu.
“Maka, jika kau sedang bergulat dengan ketidakpastian—entah itu doa yang belum terjawab, mimpi yang belum terwujud, atau harapan yang masih menggantung—ingatlah Lailatul Qadr.
Ingatlah bahwa ketidakpastianmu hari ini bisa menjadi keajaibanmu besok. Dan ingatlah bahwa Allah tidak pernah tidur. Ia melihat setiap usahamu, mendengar setiap doamu, dan mencatat setiap tetes keringatmu.”
“Lailatul Qadr menunjukkan bahwa risiko positif bukan hanya konsep bisnis atau manajemen. Ia adalah cerminan dari iman kita: iman bahwa di balik setiap ketidakpastian, ada rencana Allah yang lebih indah. Iman bahwa usaha kita tidak akan sia-sia, meski hasilnya tidak selalu terlihat seketika.”
“Lailatul Qadr adalah bukti bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya dalam ketidakpastian tanpa petunjuk,” lanjut saya.
“Allah memberi kita Lailatul Qadr itu sebagai hadiah, tapi juga sebagai ujian: Seberapa dalam kita bersedia percaya? Seberapa besar kita bersedia berusaha? Dan, seberapa ikhlas kita bersedia berserah?”
Beberapa peserta terlihat tersentuh, mata mereka berkaca-kaca.
Epilog
Dan ketika kau berjaga di malam-malam terakhir Ramadhan ini, ingatlah: risiko positif terbesar dalam hidupmu bukanlah yang mengubah karier atau keuanganmu, tapi yang mengubah takdirmu di sisi-Nya.
Maka, jadilah seperti pencari Lailatul Qadr: berani, tekun, dan penuh keyakinan. Karena di balik kabut ketidakpastian, ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan.
0 Comments