“Kita tidak akan bisa maju kalau sistemnya masih kayak begini…”
“Sistem yang kita miliki tidak mendukung adanya perubahan dan modernisasi…”
“Sistem kita itu jauh dari kata sempurna.”
Contoh-contoh kalimat di atas pasti seringkali kita jumpai dalam berbagai pertemuan, diskusi, dan forum-forum seminar yang membahas birokrasi dan tata kelolanya. Banyak pihak berpendapat bahwa akar permasalahan dari berbagai kondisi tidak ideal di dalam birokrasi ini terjadi akibat sistem yang digunakan oleh birokrasi tersebut, yang dianggap kurang mampu menjadi mesin penggerak menuju birokrasi yang maju, modern dan berdaya guna.
Sistem ataupun prosedur dalam birokrasi pun kemudian acapkali berganti-ganti. Dengan mengusung misi penyempurnaan, berbagai konsep, paradigma, maupun dukungan teknologi informasi pun dikembangkan.
Akan tetapi, masih saja terdapat berbagai permasalahan yang kemudian berujung kembali pada pernyataan awal, “Sistem kita masih belum sempurna dan mendukung adanya perubahan”. Kalau sudah demikian, apakah benar kesalahannya ada pada sistem?
Evolusi Birokrasi, Pendorong Perubahan Sistem Birokrasi
Menurut Pierre dan Peters (2000) dalam bukunya Governance, Politics and the State, tahapan evolusi birokrasi dibagi menjadi 4 (empat) fase: yaitu fase tradisional, fase konsolidasi demokrasi, fase marketisasi, dan fase entrepreneurships. Di era reformasi ini, mungkin masih dapat diperdebatkan, sebenarnya berada di fase manakah birokrasi indonesia.
Akan tetapi, grand design reformasi birokrasi merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa wajah feodalisme yang angkuh pada birokrasi tradisional, akan diganti dengan konsep birokrasi yang menjunjung tinggi aspek pelayanan publik.
Dengan demikian, birokrasi indonesia sebetulnya telah mulai menjalankan proses evolusinya menuju fase birokrasi yang lebih modern, adaptif, dan melayani.
Perubahan fase evolusi birokrasi kemudian semakin didorong dengan munculnya era revolusi industri 4.0 yang bercirikan penggunaan teknologi informasi yang cepat dan masif. Berbagai sistem informasi dibuat untuk kelancaran proses administrasi birokrasi, meskipun masih terdapat kelemahan dalam sinergitas antar sistem informasi yang telah terbuat.
Akan tetapi, bila kita melihat jauh ke belakang di masa orde lama ataupun orde baru, tentu kita sepakat bahwa sistem birokrasi sekarang jauh lebih modern dibandingkan masa-masa tersebut.
Konsep dan paradigma yang berlaku di dalam birokrasi indonesia menurut pandangan pribadi saya sebetulnya telah berada pada rel yang benar. Penekanan kepada aspek pelayanan publik yang cepat, akurat, dan akuntabel telah banyak diupayakan.
Paradigma New Public Management, New Public Service, maupun neo weberian state telah diadopsi meskipun tidak secara menyeluruh dan radikal. Kalau sistem yang kita gunakan sebetulnya telah begitu selaras dengan perkembangan zaman, lantas di manakah sebetulnya error yang menghambat kemajuan itu terjadi?
Benarkah Sistem Birokrasi Kita Buruk?
Pada tulisan saya sebelumnya tentang budaya adhocrachy, saya menyampaikan posisi Government Effectiveness Index kita yang tidak mengalami perkembangan berarti dalam perspektif peringkat. Tentu hal ini dapat dimaknai bahwa kualitas birokrasi kita belum memiliki keunggulan kompetitif atau masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain.
Akan tetapi, hanya membebankan kesalahan pada sistem birokrasi tentu sebuah kesimpulan yang masih perlu ditelaah kembali. Berdasarkan identifikasi pribadi saya, terdapat 3 (tiga) jenis penyebab gagalnya birokrasi.
Pertama, human error atau kesalahan manusia. Di balik berjalannya sebuah sistem, manusia merupakan aspek penting sebagai pelaku atau enabler sebuah sistem. Kegagalan manusia dalam menjalankan sistem dapat mendatangkan musibah ataupun kegagalan.
Kedua, system error atau kesalahan sistem. Hal ini terjadi dimana sistem (terkait konsep, paradigma, kebijakan, prosedur, regulasi, tata kelola, dan perangkat pendukungnya) yang dibuat gagal mengakomodir maksud dan tujuan yang dibutuhkan. Dalam teori manajemen, system error juga terkadang disebut dengan kesalahan metode.
Dan ketiga, machine error atau kesalahan mesin/perangkat, yang mana hal ini merujuk pada kegagalan sistem informasi, aplikasi, peralatan, dan komponen-komponen di dalamnya yang mendukung kinerja birokrasi.
Atau justru Human Error?
Kegagalan sistem atau system error, tampaknya merupakan kegagalan yang paling sering dikambinghitamkan dalam birokrasi indonesia. Namun, saya juga menangkap adanya sentimen keputusasaan yang mendasari “dituduhnya” sistem birokrasi sebagai penyebab kegagalan.
Padahal, sistem bukanlah elemen yang sepenuhnya tidak dapat diintervensi. Sistem macam apapun di dunia ini pasti memiliki kelemahan-kelemahan, yang mana dalam jangka panjang dapat memunculkan adanya antitesis terhadap sistem tersebut (sebagaimana dicontohkan dalam sejarah sistem-sistem ekonomi dunia).
Salah satu fenomena terkini yang menunjukkan bahwa sebuah sistem tidak dapat dijadikan faktor tunggal kegagalan birokrasi adalah kasus indikasi kecurangan pada seleksi calon aparatur sipil negara (CASN).
Tidak tanggung-tanggung, MenPAN-RB Tjahjo Kumolo bahkan sampai menjatuhkan vonis diskualifikasi kepada 225 peserta yang diduga melakukan kecurangan. Sistem seleksi CASN berbasis komputer (CAT) sendiri merupakan sebuah sistem yang modern, akurat, transparan, dan akuntabel.
Dugaan kecurangan ini menunjukkan bahwa sistem yang bagus pun masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan tentu saja, peluang serupa dapat terjadi pada berbagai sistem yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi birokrasi kita.
Kalau sistem tidak bisa sepenuhnya disalahkan, apakah sudah seharusnya kita dengan jujur mengakui bahwa “manusia”-lah yang salah? Bahwa human error adalah resistensi utama dalam reformasi birokrasi kita?
Manusia adalah Kunci
Setiyono (2014) pernah membuat statement yang berbunyi “The Person behind the completion”, segala sesuatu bergantung pada manusia karena sebuah sistem bagaimanapun juga hanyalah sebuah alat.
Human error, baik disengaja maupun tidak, umumnya terjadi karena beberapa hal. Pertama, kurangnya pengetahuan, skill, dan kompetensi. Kedua, adanya kecenderungan untuk mencari keuntungan pribadi. Dan ketiga, adanya tekanan-tekanan pihak lain, baik sesama aparatur maupun dari luar organisasi.
Saya tak menyangkal bahwa memang sistem birokrasi yang kita miliki masih banyak memberikan celah. Akan tetapi, keputusan untuk memanfaatkan atau tidak celah tersebut demi kepentingan pribadi yang dapat berakibat gagalnya birokrasi merupakan pilihan yang dibuat oleh manusia.
Bukan sistem. Meskipun demikian, saya sama sekali tidak menyarankan sebuah tindakan radikal, misalnya dengan melakukan pergantian atau pengurangan personil birokrasi secara besar-besaran (downsizing).
Saya cenderung sepakat dengan dilakukannya perbaikan terhadap nilai-nilai dasar manusia sebagai aparatur birokrasi, yang secara paralel dilakukan juga perbaikan (bukan penyempurnaan, karena tidak ada sistem yang sempurna) terhadap sistem.
Faktor manusia sebagai salah satu penyebab gagalnya perubahan dalam birokrasi ini bukan tidak dipahami oleh stakeholders birokrasi kita. Perubahan budaya kerja merupakan salah satu agenda utama reformasi birokrasi, yang mengharapkan dengan adanya perubahan budaya kerja mampu membawa perubahan kepada manusia yang ada di dalamnya. Terakhir, BerAKHLAK ditetapkan sebagai nilai inti, core values bagi ASN Indonesia yang berkualitas dunia, yang bangga melayani bangsa.
Selain adanya core values ASN tersebut, menurut saya terdapat 2 (dua) hal yang juga dapat mencegah terjadinya human error di dalam birokrasi. Pertama, perlu adanya rasa memiliki di dalam diri ASN terhadap birokrasi dan seluruh elemen di dalamnya.
Analoginya, jika seluruh ASN menganggap birokrasi ini adalah rumahnya sendiri, maka mereka tidak ingin rumah yang ditempatinya rusak, hancur, atau dibobol oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian kedua, tingginya pemahaman akan makna diri sebagai aparatur negara. Pemahaman akan makna diri sebagai aparatur sebenarnya merupakan sebuah refleksi penting bagi setiap aparatur birokrasi.
Aparatur harus mengenali diri pribadi dan manfaat dari “adanya” dirinya dalam bekerja. Hal ini akan mendorong aparatur birokrasi Indonesia menjadi aparatur yang seutuhnya. Tidak hanya mencegah human error, tetapi juga menjadi aparatur yang berdaya guna, bermanfaat, dan **bermartabat.
Aparatur birokrasi tidak akan menjadi tipe manusia yang hanya sekedar hidup, yang hanya sekedar bekerja (seperti yang disampaikan Buya Hamka, “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja”).
Epilog: Mari Memilih
Sistem birokrasi akan terus berkembang menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Akan tetapi sistem yang benar-benar sempurna mungkin tidak akan pernah terwujud. Pilihan untuk menghancurkan atau menyempurnakan birokrasi sejatinya ada di tangan aparaturnya sendiri.
Mana yang kita pilih?
Menarik, sy pun terkadang heran sistem birokrasi terus berbenah dan berkembang tapi hanya sedikit diskusi yg tersissa ut membincang etika individual seakan hal itu diserahkan pada urusan masing-masing.
Betul sekali mas naim. Semoga akan ada perbaikan yang komprehensif di masa depan. Amiin.