Kunci Memajukan Bangsa: Selesaikan Akar Masalah

by Raihan Fadhila ◆ Active Writer | Aug 20, 2023 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Pada rentang tahun 1950 hingga 1953, Korea Selatan berseteru dengan tetangganya dalam peristiwa historik yang kita kenal sebagai “Perang Korea”. Pastinya, negara tersebut jauh dari definisi damai sejahtera. Jangankan kesejahteraan, kedamaian pun masih sulit untuk digenggam di sana. 

Rasanya tidak pantas memberikan justifikasi tingkat kesejahteraan rakyat atas suatu negara yang belum damai. Sama halnya ketika kita tidak pernah mengkritisi kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 1942, karena kritik itu memang tidak tepat untuk disuarakan pada tahun tersebut.

Membandingkan Pencapaian Setelah Merdeka

Pada setiap masa, masing-masing bangsa memiliki fokusnya; mencapai kemerdekaan, mencapai kekayaan, melakukan penjajahan, dan lain sebagainya. Pada medio 1950-an, Korea Selatan fokus untuk menang dalam perang atau setidaknya berdamai dengan tetangganya di utara. 

Singkatnya kita sepakat bahwa pada masa itu, Korea Selatan tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik karena mereka mesti menyelesaikan perang terlebih dahulu. Namun, pada pertemuan UNCTAD ke-68 di Jenewa, Swiss tahun 2021, Korea Selatan dinobatkan sebagai negara maju.

Kita (Indonesia) memiliki alokasi waktu berkembang yang hampir sama dengan mereka (Korea Selatan), memiliki sumber daya alam yang lebih melimpah, juga sumber daya manusia yang lebih banyak. Tapi mereka lebih dulu melangkah maju. 

Pertanyaannya, “how is it possible?” Jawabannya adalah, mereka mengetahui akar masalah yang menghambat kemajuan mereka. 

Limpahan Sumber Daya Alam?

Tidak seperti nusantara yang berlimpah sumber daya, Korea Selatan justru sebaliknya. Mereka tidak memiliki satu komoditas alam melimpah untuk ditawarkan kepada dunia. 

Mengingat hal itu, Korea Selatan mengandalkan sejumlah perusahaan berskala besar untuk menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang besar, serta terus mengembangkannya untuk menggaet investor dari luar.

Terlepas pro-kontra atas kedigdayaan perusahaan-perusahaan besar tersebut, nyatanya ekonomi Korea Selatan berhasil meroket. Dari sini terbukti, keberadaan sumber daya alam yang melimpah bukanlah syarat mutlak untuk berjaya.

Pendekatan yang dilakukan Korea Selatan tidak bisa diimitasi di negara kita. Kondisi SDA dan SDM melimpah memang merupakan modal besar. Akan tetapi, bila modal itu pun belum dapat mengubah status Indonesia menjadi negara maju, itu mengartikan kita belum menemukan akar masalah dalam bangsa kita. 

Evaluasi Stunting: Peran Auditor Pemerintah

Lantas, apa akar masalah kita? Hal ini perlu digali, khususnya bagi kita ASN yang menjadi pelayan masyarakat, bekerja sesuai tugas dan fungsi di berbagai instansi.

Bisa jadi, selama ini kita (ASN) memandang pekerjaan terlalu sempit. Kaum ASN bukanlah bagian dari entitas yang mencari profit. Memang ada positifnya di satu sisi, namun tak luput pula menurunkan motivasi.

Karena kinerja tidak langsung berhubungan dengan penghasilan dan tidak ada dampak yang biasanya diukur sebagai profit, maka risiko timbulnya hasil kerja ‘yang penting selesai’ menjadi semakin besar.

Sebagai contoh, ketika seorang auditor pemerintah menjalankan tugasnya melakukan pengawasan topik penting terkait kesejahteraan dan generasi penerus, yaitu evaluasi program pencegahan stunting.

Pemerintah menargetkan tingkat stunting turun hingga 14% pada tahun 2024. Dalam pemenuhan target ini, seorang auditor pemerintah memberikan kontribusi berupa evaluasi atas pendampingan Keluarga Risiko Stunting (KRS), pemberian imunisasi bagi balita, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan lain sebagainya. 

Sebelum teknis evaluasi dilaksanakan, auditor perlu memastikan, apakah KRS telah memahami stunting? Apakah mereka sadar bahwa pemerintah tengah berupaya mengurangi jumlah KRS? Nyatanya, kondisi di lapangan menunjukkan sejumlah rakyat masih menyatakan, “Saya tidak tahu apa itu stunting.”

Padahal, untuk mencapai target penurunan stunting, kita perlu mengantarkan pemahaman yang cukup mengenai stunting itu sendiri kepada masyarakat. Dengan pemahaman yang cukup, maka masyarakat mengerti urgensi pencegahan stunting

Pemahaman tersebut akan membawa mereka menyambut baik program pencegahan stunting yang dicanangkan oleh pemerintah. Imbasnya, evaluasi dapat berjalan lebih optimal.

Sosialisasi (Pencegahan) Stunting

Wawancara dengan KRS untuk mendapatkan data kondisi riil pelaksanaan program pencegahan stunting tentu amat berguna demi perbaikan program ke depan. Sayangnya, beberapa program yang tidak tuntas disebabkan ketidaktahuan KRS terhadap eksistensi program terkait. 

Misalnya, terdapat ibu hamil di suatu desa yang tidak mendapatkan PMT. Setelah dikonfirmasi, sejatinya pemerintah daerah telah membagikan PMT, namun ibu hamil tersebut tidak tahu adanya pembagian PMT.

Pihak yang ‘disalahkan’ tidak mutlak. Pemda kurang gencar mensosialisasikan programnya, dan pihak ibu hamil kurang proaktif dalam menggali informasi. 

Di sisi lain, awareness pencegahan stunting sangat penting bagi KRS, yang mana awareness ini dapat disulut melalui ‘sosialisasi kecil’ oleh auditor ketika melakukan evaluasi langsung ke lapangan. Hal ini masih sering dilewatkan. 

Ketika kertas kerja evaluasi telah terisi, mindset seorang auditor kerap berkata, “pekerjaan sudah selesai.” Padahal, akar masalah atas perihal yang dievaluasi bahkan belum tuntas. 

Pihak KRS tidak memahami stunting, kemudian auditor datang untuk mengevaluasi hal yang tidak dipahami oleh KRS itu sendiri. Miris, bukan? 

Bila auditor atau pegawai negeri lain masih mengedepankan prinsip ‘yang penting selesai’, target penurunan stunting hingga 14% kelak berubah menjadi wacana semata. Penting bagi kita untuk menyampaikan hal fundamental dan tujuan utama tiap program pemerintah kepada masyarakat.

Mengedepankan Pemahaman untuk Mencari Akar Masalah

Satu analogi yang menggambarkan urgensi pemahaman pihak yang dievaluasi terhadap kelancaran evaluasi, adalah ketika seorang pasien berobat ke dokter. 

Dokter menanyakan keluhannya, namun pasien menjawab, “Saya hanya merasa badan saya tidak enak, tidak tahu sakit di bagian mana.” 

Atas jawaban tersebut, proses penyembuhan tetap dapat dituntaskan, namun akan memakan waktu lebih lama mengingat dokter perlu melakukan diagnosis menyeluruh untuk mengetahui sumber keluhan pasien. 

Berbeda cerita, kala pasien secara jelas menyatakan, “Saya merasa sakit kepala,” atau, “telinga kanan saya tersumbat kotoran.” 

Dalam kondisi tersebut, diagnosis dapat difokuskan kepada satu lokasi yang jelas dikeluhkan oleh pasien. Dengan begitu, proses penyembuhan dapat tuntas lebih cepat karena dilakukan secara akurat. 

Penanganan stunting, memiliki karakteristik serupa. Begitu juga program pemerintah lainnya. Maka dari itu, penting bagi para pegawai negeri untuk memandang satu penugasan secara lebih makro. Sedini mungkin, mari bersama kita minimalisir hasil pekerjaan yang tidak menuntaskan akar masalah di dalamnya. 

Sesungguhnya, tiada program pemerintah yang tidak didesain untuk kemajuan bangsa. Dengan modal sumber daya yang melimpah, dibarengi program pemerintah yang berjalan optimal, yakinlah kita bisa menyusul Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya.

3
0
Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post