Krisis Komunikasi Publik: Ketika Dialog Berubah Menjadi Monolog Kekuasaan

by | Oct 3, 2025 | Birokrasi Berdaya | 0 comments

Pada Minggu sore, 31 Agustus 2025, di ruang yang sama tempat berbagai keputusan bersejarah bangsa diambil, Presiden Prabowo Subianto berdiri di depan podium Istana Merdeka.

Di sampingnya, para ketua umum partai politik dari berbagai spektrum ideologi – mulai dari Megawati Soekarnoputri hingga Bahlil Lahadalia – berkumpul dalam sebuah konferensi pers yang merespons gelombang demonstrasi yang berujung penjarahan di beberapa kota.

Dalam pernyataannya, Presiden menegaskan bahwa negara
menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi yang murni dari masyarakat, namun di saat yang sama memerintahkan aparat untuk mengambil tindakan
yang setegas-tegasnya terhadap segala macam bentuk perusakan
fasilitas umum dan penjarahan.

Konferensi pers ini, meski menampilkan persatuan elite politik, justru menggarisbawahi paradoks komunikasi publik Indonesia: di satu sisi menunjukkan kemampuan untuk merespons krisis dengan cepat, namun di sisi lain memperlihatkan bagaimana komunikasi politik kerap bersifat reaktif ketimbang preventif.

Fenomena ini menandai realitas yang lebih luas tentang degradasi dalam kultur komunikasi publik yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi.

Komunikasi antara pemerintah dan warga negara bukan sekadar ritual administratif, melainkan mekanisme vital yang menentukan kualitas hubungan antara penguasa dan rakyat. Ketika mekanisme ini terdistorsi atau hanya berfungsi dalam momen krisis, fondasi kepercayaan publik pun ikut terkikis.

Komunikasi Publik yang Demokratis

Menurut Jürgen Habermas dalam teorinya tentang ruang publik (public sphere), komunikasi yang ideal dalam konteks demokrasi memiliki beberapa karakteristik mendasar.

  • Pertama, rasionalitas argumentatif di mana setiap argumen dinilai berdasarkan kekuatan logika dan bukti, bukan otoritas atau posisi pembicara.
  • Kedua, inklusivitas yang memungkinkan partisipasi semua pihak yang berkepentingan.
  • Ketiga, transparansi dalam penyampaian informasi tanpa manipulasi atau distorsi.

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sebenarnya telah memberikan kerangka legal yang kuat untuk mewujudkan komunikasi publik yang ideal.

Undang-undang ini mewajibkan setiap badan publik untuk menyediakan, memberikan, dan menyebarluaskan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi.

Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari resistensi birokrasi hingga penafsiran yang beragam terhadap kategori informasi yang dikecualikan.

Lebih dari aspek legal-formal, komunikasi publik yang sehat mensyaratkan adanya empati dan respek mutual. Pemerintah perlu memahami bahwa kritik dan pertanyaan dari publik bukanlah ancaman terhadap otoritas, melainkan nutrisi bagi proses pengambilan keputusan yang lebih baik.

Sebaliknya, warga negara juga perlu menyadari bahwa komunikasi yang konstruktif membutuhkan kesabaran dan keterbukaan untuk memahami kompleksitas tantangan yang dihadapi pemerintah.

Patologi Komunikasi: Dari Dialog ke Dominasi

Sayangnya, realitas yang berkembang belakangan menunjukkan pola yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip komunikasi demokratis tersebut. Alih-alih merespons kritik dengan argumen yang substantif, tidak jarang pejabat publik memilih jalur pintas berupa sindiran, ejekan, atau bahkan serangan personal terhadap kritikus mereka.

Pola komunikasi semacam ini tidak hanya mencerminkan kemiskinan argumentasi, tetapi juga arogansi kekuasaan yang menganggap kritik sebagai bentuk ketidakhormatan.

Fenomena ini bukanlah monopoli Indonesia. Dalam laporan tahunannya, Freedom House mencatat adanya tren penurunan kualitas demokrasi global dalam dekade terakhir, salah satunya ditandai dengan meningkatnya hostilitas pemerintah terhadap media dan kritik publik.

Namun, yang membuat kasus Indonesia menarik adalah bagaimana gaya komunikasi yang dismissive ini justru mendapat dukungan dari sebagian publik yang melihatnya sebagai tanda kekuatan dan ketegasan.

Psikologi politik menjelaskan fenomena ini melalui konsep authoritarian personality yang dikemukakan oleh Theodor Adorno. Dalam konteks ini, sebagian masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengagumi figur otoritatif yang menampilkan dominasi terhadap oposisi atau kritikus.

Gaya komunikasi yang agresif dan merendahkan dianggap sebagai manifestasi kekuatan, bukan kelemahan argumentasi.

Dampak Sistemik: Erosi Kepercayaan dan Polarisasi

Degradasi kualitas komunikasi publik tidak hanya berdampak pada aspek estetika politik, tetapi juga pada aspek substansial demokrasi itu sendiri.

Berbagai survei menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara mengalami fluktuasi yang signifikan, dengan pola yang berkorelasi dengan kualitas komunikasi publik yang ditampilkan oleh pejabat terkait.

Ketika komunikasi publik didominasi oleh retorika yang merendahkan, beberapa dampak negatif menjadi tak terelakkan. 

  • Pertama, terciptanya echo chamber di mana masing-masing kubu hanya mendengarkan suara yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. 
  • Kedua, meningkatnya polarisasi politik yang tidak hanya memisahkan elite politik, tetapi juga merembes ke tingkat grassroots
  • Ketiga, menurunnya kualitas diskursus publik secara umum, di mana argumen ad hominem lebih populer daripada debat substansial.

Penelitian-penelitian tentang polarisasi politik menunjukkan bahwa diskusi politik di media sosial lebih sering berakhir dengan pertengkaran daripada pencapaian pemahaman bersama. Fenomena ini mencerminkan bagaimana gaya komunikasi yang konfrontatif di level elite politik telah menginfeksi komunikasi politik di level masyarakat.

Belajar dari Praktik Terbaik Global

Untuk memahami bagaimana komunikasi publik yang sehat seharusnya dijalankan, kita dapat belajar dari praktik-praktik terbaik di berbagai negara.

Finlandia, yang konsisten menduduki peringkat teratas dalam Democracy Index yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit, memiliki tradisi komunikasi publik yang sangat transparan dan responsif. Perdana Menteri Finlandia secara rutin mengadakan sesi tanya jawab terbuka dengan media dan publik, di mana setiap pertanyaan dijawab dengan penjelasan yang detail dan berbasis data.

Selandia Baru di bawah kepemimpinan Jacinda Ardern juga memberikan contoh menarik tentang bagaimana empati dapat menjadi kekuatan dalam komunikasi publik.

Ketika menghadapi tragedi penembakan di Christchurch pada 2019, Ardern menunjukkan bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak terletak pada kemampuannya menunjukkan dominasi, tetapi pada kemampuannya untuk memahami dan merespons perasaan rakyatnya dengan tulus.

Dalam konteks Asia, Singapura menawarkan model komunikasi publik yang terstruktur dan berbasis evidensi. Pemerintah Singapura memiliki sistem komunikasi publik yang sangat sistematis, di mana setiap kebijakan publik disertai dengan penjelasan yang komprehensif tentang rasionalisasi, implementasi, dan mekanisme evaluasi.

Meskipun sistem politik Singapura memiliki karakteristik tersendiri, pendekatan komunikasi yang berbasis data dan transparan ini dapat diadaptasi dalam konteks demokrasi yang lebih plural.

Rekonstruksi: Membangun Komunikasi Publik yang Bermartabat

Mengembalikan kualitas komunikasi publik yang sehat membutuhkan upaya sistematis dari berbagai pihak.

  • Pertama, dari sisi pemerintah, perlu ada komitmen untuk menjadikan transparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip utama dalam setiap komunikasi publik. Ini tidak hanya berarti memberikan informasi yang diminta publik, tetapi juga memastikan bahwa informasi tersebut disampaikan dengan cara yang mudah dipahami dan tidak manipulatif.
  • Kedua, perlu ada reformasi dalam sistem rekrutmen dan pengembangan kapasitas komunikasi bagi pejabat publik. Kemampuan berkomunikasi dengan publik bukan bakat alamiah yang bisa diasumsikan dimiliki oleh setiap pejabat, tetapi keterampilan profesional yang perlu dipelajari dan diasah secara terus-menerus. Program pelatihan komunikasi publik yang komprehensif, termasuk aspek psikologi komunikasi dan manajemen krisis, perlu menjadi bagian integral dari pengembangan SDM aparatur negara.
  • Ketiga, media massa sebagai mediator antara pemerintah dan publik perlu memperkuat komitmennya terhadap jurnalisme berkualitas. Ini berarti tidak hanya melaporkan apa yang dikatakan pejabat publik, tetapi juga melakukan fact-checking, analisis kontekstual, dan memberikan ruang bagi berbagai perspektif yang berbeda. Media perlu menolak untuk menjadi amplifier dari komunikasi yang tidak substansial atau sekadar sensasional.
  • Keempat, publik sendiri perlu mengembangkan literasi politik dan komunikasi yang lebih baik. Kemampuan untuk membedakan antara argumen substantif dan retorika kosong, antara kritik konstruktif dan serangan destruktif, merupakan keterampilan dasar yang perlu dimiliki oleh setiap warga negara dalam demokrasi modern. Program literasi media dan pendidikan kewarganegaraan perlu diperkuat untuk membangun publik yang kritis namun konstruktif.
  • Kelima, perlu ada mekanisme evaluasi dan monitoring terhadap kualitas komunikasi publik. Lembaga-lembaga independen seperti ombudsman atau komisi informasi dapat berperan dalam memantau dan mengevaluasi sejauh mana komunikasi publik telah memenuhi standar transparansi, akurasi, dan respek terhadap hak publik untuk memperoleh informasi.

Memulihkan Martabat Dialog Publik

Komunikasi publik yang berkualitas bukanlah kemewahan dalam demokrasi, tetapi kebutuhan mendasar yang menentukan kesehatan sistem politik secara keseluruhan.

Ketika dialog antara pemerintah dan rakyat terdegradasi menjadi pertukaran sindiran dan ejekan, yang hilang bukan hanya civility dalam politik, tetapi juga kesempatan untuk mencari solusi terbaik bagi masalah-masalah kompleks yang dihadapi bangsa.

Mengembalikan kualitas komunikasi publik yang bermartabat membutuhkan kesadaran kolektif bahwa politik bukanlah permainan zero-sum di mana kemenangan satu pihak harus berarti kekalahan pihak lain.

Dalam konteks demokrasi, kemenangan sejati adalah ketika seluruh komponen bangsa dapat berkontribusi dalam mencari solusi terbaik melalui dialog yang rasional, empatis, dan konstruktif.

Perubahan ini tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang dari seluruh elemen bangsa. Langkah pertama menuju perbaikan ini adalah mengakui bahwa ada masalah serius dalam cara kita berkomunikasi sebagai bangsa.

Langkah kedua adalah komitmen untuk mengubahnya, bukan hanya dalam retorika tetapi juga dalam praktik sehari-hari. Hanya dengan demikian, komunikasi publik dapat kembali menjadi jembatan yang menyatukan, bukan jurang yang memisahkan.

1
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post