Konvergensi dan Reformasi Public Procurement Laws di Negara-Negara Uni Eropa

by R. Murwantara ♥ Associate Writer | Jan 15, 2017 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Salah satu tugas pemerintah adalah menyelenggarakan dan menyediakan sarana dan prasarana infrastrukur yang memadai dalam menunjang program-program terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, hampir semua negara di dunia telah dan sedang melakukan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya, tak terkecuali Indonesia. Sejak masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pembangunan infrastruktur merupakan bagian yang sangat dominan dalam rencana pemerintah yang tercermin dengan semakin meningkatnya anggaran pemerintah yang disediakan untuk pembangunan infrstruktur. Hal ini mengingat index kualitas infrastruktur Indonesia yang terbilang masih rendah dibandingkan dengan rata-rata ASEAN yaitu 4.2 pada skala 7 yaitu ranking 72 dari 144 negara (Global Competitiveness Report 2014-2015). Issue tersebut juga dapat menjadi salah satu faktor keengganan bagi investor dari dalam maupun luar negeri untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di negara-negara Uni Eropa. Tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik dan konektivitas antar negara juga menjadi tantangan dalam kerangka kerjasama Uni Eropa (European Union-EU). Oleh karena itu, negara-negara EU mencoba untuk mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki untuk tujuan bersama. Salah satu mega-proyek yang berjalan adalah Program TEN-T. Program TEN-T yang terdiri dari ratusan proyek bertujuan untuk meyakinkan adanya keterpaduan, interkoneksi dan pengoperasian bersama dalam rangka trans-European Transport Network serta akses yang sama terhadap proyek. Secara umum, maksud TEN-T adalah : (1) mengembangkan link kunci dan interkoneksi yang diperlukan untuk mengeliminasi kebuntuan terkait mobilitas antar wilayah; (2) mengisi rute-rute yang  kosong dan melengkapi rute-rute utama khususnya yang di luar batas antar wilayah; (3) mengatasi hambatan-hambatan silang yang terjadi secara alamiah; dan (4) memperbaiki tingkat operasionalisasi pada rute-rute utama. Proyek-proyek ini berlokasi di setiap anggota EU dan meliputi beberapa moda transportasi seperti jalan, jalur kereta, infrastruktur maritime, jalur penyeberangan, infrastruktur angkutan udara, logistik dsb.

Sebelum masuk pada topik khusus di atas, penulis berusaha mendeskripsikan secara singkat  sejarah Uni Eropa (European Union). Pada awal dideklarasikan pada tahun 1957, persekutuan ini bernama Komunitas Ekonomi Eropa (European Economic Community) yang dari 6 negara pendiri yaitu: Belgia, Perancis, Italia, Luxembourg, Belanda dan Jerman Barat). Dalam perkembangannya, berdasarkan Perjanjian Maastricht tanggal 1 November 1993 berubah menjadi Economic Community (EC) atau Europen Union (EU) dan sampai dengan tahun 2016 terdapat 28 negara Uni Eropa dengan bergabungnya negara-negara lain berturut-turut: Denmark, Irlandia, Inggris (1973); Yunani (1981); Portugal, Spanyol (1986); Austria, Swedia, Finlandia (1995); Republik Ceko, Cyprus, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Malta, Polandia, Slovakia, Slovenia (2004); Romania, Bulgaria (2007) dan Croasia (2013). Selain itu, masih terdapat 5 negara kandidat EU yaitu Albania, Montenegro, Serbia, Macedonia dan Turki serta 2 negara potensial menjadi anggota EU yaitu Bosnia-Herzegovina dan Kosovo. Pada perkembangan terakhir, Britania Raya atau Inggris Raya menyelenggarakan referendum keanggotaannya dalam Uni Eropa atau yang kemudian dikenal dengan “BREXIT”. Dan sebagaimana kita ketahui, kelompok pro keluar dari Uni Eropa memenangkan referendum tersebut, sehingga Inggris Raya memproklamirkan keluar dari Uni Eropa. Namun demikian, proses legal keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa masih membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pembahasan-pembahasan masih berlangsung,  karena berdasarkan perjanjian EU proses keluar masuknya anggota harus melalui proses yang cukup kompleks dan melibatkan seluruh anggota di markas besar EU di Brusel, Belgia. Tidak diduga sebelumnya, Italia yang selama ini menjadi anggota aktif EU dan bahkan pendiri utama EU tahun 1957, juga sedang mempersiapkan referendum keluar atau masih di EU.

Berbicara masalah pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari aspek “governance” artinya harus dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah penyelenggaraan pemerintah yang baik. Salah satu aspek governance yang sangat penting adalah bagaimana governance dalam pengadaan barang dan jasa (procurement) yang berdasarkan prinsip-prinsip transparan, kompetitif, akuntabel dan efisien. Dalam kaitan dengan itu, artikel ini akan membahas public procurement laws yang berlaku di negara-negara uni Eropa. Public procurement laws di negara-negara Uni Eropa cenderung diterapkan secara seragam berdasarkan pedoman European Commission (EC) Directives. Pada bagian berikutnya, penulis akan membahas lebih dalam reformasi Public Procurement Laws yaitu dari EC Directives dari 2004/18/EC menjadi 2014/24/EU.

Konvergensi Public Procurement Laws di Negara-negara Uni Eropa

Pertama-tama kita akan membahas Directive 2004/18/EC yaitu kerangka hukum pada prosedur pengadaan pemerintah yang berlaku di wilayah Uni Eropa. Dalam Directive diatur empat prosedur pengadaaan barang dan jasa pemerintah yaitu Prosedur Lelang Terbuka (open procedure), Prosedur Lelang Terbatas (restricted procedure), Prosedur Negosiasi (negotiated procedure) dan Competitive Dialogue. Prosedur lelang terbuka adalah prosedur lelang yang mengundang semua peminat lelang untuk mengirimkan penawaran, namun demikian proposal atau penawaran oleh calon peserta tender bersifat mengikat, sehingga tidak dapat diubah dan/atau dinegosiasikan selama prosedur berjalan. Salah satu keuntungan prosedur ini adalah meningkatkan level kompetisi dalam proses tender dan memudahkan dalam pembandingan penawaran antar peserta lelang. Sedangkan dalam prosedur lelang terbatas, calon peserta lelang mengajukan permohonan untuk mengikuti lelang, tetapi institusi yang bertanggung jawab dalam proses lelang (biasanya disebut Government Procurement Agency atau Contracting Authority) hanya mengundang kandidat yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan penawaran. Selanjutnya, dalam Prosedur Negosiasi, Contracting Authority melakukan konsultasi dengan calon peserta lelang dan menegosiasikan satu atau beberapa pasal-pasal yang ada dalam kontrak. Dalam praktiknya, prosedur ini dapat dibagi beberapa tingkatan yang berbeda yaitu pra kualifikasi, undangan untuk negosiasi, penawaran terbaik dan penawaran final serta penawar yang diprioritaskan. Dalam setiap tingkatan, jumlah peserta dikurangi sampai penawar yang diprioritaskan akhirnya terpilih, meskipun negosiasi dilanjutkan sampai pada tingkatan terakhir. Terakhir, Competitive Dialogue adalah prosedur lelang yang relatif baru diperkenalkan oleh EU Directive, dimana para peminat tender mengajukan diri untuk mengikuti prosedur dan dimana Contracting Authority melaksanakan suatu dialog dengan kandidat diundang dalam prosedur dengan maksud mengembangkan satu atau lebih alternatif yang sesuai untuk memenuhi persyaratan pada basis dimana kandidat terpillih diundang untuk mengikuti lelang. Dengan fase dialog ini memungkinkan Contracting Authority untuk berdiskusi dengan penawar dengan maksud untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan pemenuhan kebutuhan Contracting Authority yang sesuai dan terbaik.

Dalam uraian berikut akan dijelaskan bagaimana perbedaan keempat metode dilihat dari jumlah penawar, proses, prosedur negosiasi dan dasar penentuan pemenang.

Table 1 Empat Perbedaan Mendasar pada Empat Metode Lelang

Items Prosedur Lelang Terbuka Prosedur Lelang Terbatas Prosedur Negosiasi Competitive Dialogue
Kemungkinan membatasi jumlah penawar Pra kualifikasi atau seleksi awal tidak diperbolehkan. Para peminat lelang dapat  mengajukan penawaran. Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 5 sesuai dengan kriteria yang disepakati dalam kontrak (terkait dengan pra kualifikasi dan daftar terbatas diperbolehkan) Jumlah penawar mungkin dibatasi tidak kurang dari kriteria apa dan spesifikasi yang ada dalam kontrak (terkait dengan pra kualifikasi dan daftar terbatas diperobolehkan) Jumlah penawar mungkin dibatasi yaitu tidak kurang dari 3 berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam kontrak (pra kualifikasi dan daftar terbatas diperbolehkan)
Diskusi selama proses Spesifikasi mungkin tidak diubah selam proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar.Namun demikian, klarifikasi diperbolehkan.

 

Spesifikasi mungkin tidak diubah selama proses lelang dan tidak ada negosiasi atau dialog bersama para penawar. Namun demikian, klrarifikasi diperbolehkan. Negosiasi diperbolehkan selama atau melalui proses. Tingkatan ukuran sukses dapat digunakan untuk mengurangi jumlah penawar (atau daftar urut /shortlisting).

 

Sebuah dialog dengan para penawar diperbolehkan pada semua aspek (mirip dengan prosedur negoasiasi termasuk kemudian daftar urut/shortlistings). Ketika dialog dilakukan, penawaran yang final dan lengkap harus dimintakan kepada para penawar berdasarkan solusi yang dikembangkan selama dialog berlangsung.
Diskusi setelah penawaran final diajukan Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan Tidak ada lingkup negosiasi dengan penawar setelah penawaran diajukan Tidak relevan, karena negosiasi dapat dilanjutkan sampai kontrak disetujui.

 

Hanya diperbolehkan untuk klarifikasi, sedikit penyesuaian atau spesifikasi penawaran. Perubahan yang bersifat mendasar tidak diperbolehkan.
Basis penilaian pemenang Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Harga terendah atau paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan Paling ekonomis dalam tender yang menguntungkan

Sumber: EPEC, 2011

Reformasi Public Procurement Laws

Reformasi Public Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa dilakukan melalui Directive 2014/24/EU yang mengganti Directive 2004/18/EC) di bulan Maret 2014. Setiap anggota EU dapat meratifikasi atau mengubah Directive ini ke dalam hukum atau peraturan di masing-masing negara sampai 18 April 2016. Directive ini mengatur sejumlah masalah terkait isu pengadaan yang dapat diterapkan pada seluruh pengadaan di atas threshold khusus (Kontrak pemerintah : (1) sebesar €162.000 untuk pengadaan barang dan jasa di luar point 2; (2) sebesar € 249.000 untuk pengadaan barang dan jasa yang dilakukan Contracting Authority, pengadaan di bidang militer, dan pengadaan jasa lain termasuk sektor telekomunikasi; serta € 6.242.000 untuk kontrak pekerjaan umum). Directive juga menetapkan aturan pada prosedur umum dan issue pengadaan yang relevan (khususnya untuk pengadaan dengan skema Public Private Partnerships/PPPs) seperti: pengecualian sektor, penggunaan pengadaan sistem e-procurement dan kerangka perjanjian, publikasi, deadline dan standar transparansi serta prinsip governance dari pengadaan pemerintah secara keseluruhan.    

Dalam Directive yang baru, prosedur lelang terbuka dan terbatas masih relatif tidak berubah. Terdapat prosedur baru yang diperkenalkan yaitu kerjasama innovasi (innovation partnership) khususnya untuk PPPs. Yang paling menarik bagi pengadaan melalui skema PPPs adalah pengenalan prosedur kompetitif dengan negosiasi (competitive procedure with Negotiation), yang mengganti prosedur negosiasi (negotiated procedure) dan menghilangkan beberapa keterbatasan-keterbatasan penggunaannya. Secara nilai, prosedur ini nampaknya menarik bagi skema pengadaan dengan PPPs karena relatif fleksibel dan memberikan lingkup yang lebih besar bagi Contracting Authority untuk mendisain proses pengadaannya sendiri. Prosedur ini memuat elemen negosiasi diluar aspek yang banyak dan menentukan sebagaimana prosedur Competitive Dialogue, meskipun ada beberapa kelemahan potensial yang dimiliki.

Dalam prosedur yang baru, Procuring Authority dapat mengidentifikasi kebutuhan sesuai dengan produk, jasa atau pekerjaan yang tidak dijumpai di pasar; atau menyatakan persyaratan kualitatif yang minimal. Satu atau beberapa penawar mencoba untuk mengembangkan produk, jasa atau pekerjaan yang terbaik sesuai dengan spesifikasi awal (dengan negosiasi biaya yang berlanjut melaui beberapa fase proyek), sebelum Procuring Authority memutuskan apa dan bagaimana cara untuk melanjutkan proyek, Kemampuan untuk mengarahkan penawar dengan cara ini sebelumnya tidak dapat dilakukan sampai kriteria penetapan pemenang dan spesifikasi teknis dipublikasi. Oleh karena itu, ketika persyaratan utama tetap terpelihara seperti kebutuhan untuk mempublikasikan dengan jelas kriteria evaluasi bagi para penawar pada permulaan proses, prosedur baru menawarkan Procuring Authority fleksibilitas yang lebih besar untuk mengantarkan produk, jasa atau pekerjaan yang sebelumnya tidak pasti. Prosedur baru ini sepertinya dapat dimanfaatkan dalam proyek-proyek riset dan teknologi dimana terdapat ketidakpastian tentang produk final, sehingga Procuring Authority mungkin mengharapkan untuk menyelidiki apa ide dan solusi terhadap pasar sebelum memutuskan apakah memberli satu dari solusi yang dihasilkan.

Bagaimana memilih prosedur yang Tepat?

Baik competitive procedure with negotiation dan competitive dialogue procedure dapat digunakan oleh Procuring Authority secara lebih luas sesuai dengan kontrak, Directive baru memiliki empat area terkait prosedur mana yang mungkin dapat digunakan yaitu:

  • Ketiadaan solusi yang siap tersedia yang tidak memerlukan adaptasi
  • Kebutuhan untuk disain atau solusi inovasi
  • Masalah hukum dan keuangan kompleks yang mengikuti solusi
  • Spesifikasi teknis yang tidak dapat dikembangkan dengan ketelitian yang cukup

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa dibandingkan Directive yang lama, Directive yang baru memberikan Procuring Authority pertimbangan pada lingkup yang lebih luas untuk menggunakan solusi negosiasi daripada prosedur lelang terbuka atau terbatas. Selain itu, Competitive procedure with negotiation menyediakan beberapa fleksibilitas pre-final tender yang penting pada Procuring Authority, Namun demikian, fleksibilitas dapat membutuhkan pengeluaran biaya pada beberapa detail post-final tender. Prosedur ini mungkin bermanfaat pada situasi dimana Procuring Authority relatif percaya diri tentang persyaratan proyek dan kemampuan pasar untuk merespon secara tepat, tetapi masih akan merasakan manfaat negosiasi sebelum penawaran final. Disamping itu, prosedur Competitive Dialogue masih dapat dimanfaatkan pada proyek-proyek yang bersifat kompleks dimana Procuring Authority tidak begitu yakin apa yang tersedia di pasar untuk memenuhi kebutuhan dan sedang diusahakan untuk memaksimalkan pengalaman mengenai tersediaannya di pasar. Prosedur ini memiliki fleksibilitas tambahan dengan mengijinkannya untuk mengkonfirmasi dan mengoptimalkan detail final dan hal-hal lain setelah tender.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan reformasi Procurement Laws di Indonesia dan di negara-negara Uni Eropa, tetapi hanya menguraikan spesifikasi khusus dari Procurement Laws di negara-negara Uni Eropa yaitu masalah keseragaman penerapan atau konvergensi dan perkembangan atau penyesuaian mengikuti perkambangan global atau reformasi Public Procurement Laws berdasarkan Procurement Directive 2014/24/EU.

 

 

0
0
R. Murwantara ♥ Associate Writer

Ph.D. Public Administration and Management University of Antwerpen Belgium and Senior Auditor BPKP.

R. Murwantara ♥ Associate Writer

R. Murwantara ♥ Associate Writer

Author

Ph.D. Public Administration and Management University of Antwerpen Belgium and Senior Auditor BPKP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post