Akhir-akhir ini para fungsional pengelola pengadaan barang/jasa (JF PPBJ) di Rumah Sakit Vertikal mengalami kegalauan atas statusnya sebagai JF PPBJ. Hal ini terjadi di saat penguatan PBJ di Kementerian Kesehatan dengan penataan organisasi.
Penataan tersebut dilakukan melalui persetujuan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam surat nomor B/113/M.KT.01/2022 tanggal 31 Januari 2022 perihal Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 5 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, yang di dalamnya ditetapkan Biro Pengadaan Barang dan Jasa sebagai salah satu organ pada Kementerian Kesehatan.
Langkah Positif
Hal ini merupakan langkah positif dalam rangka menguatkan kementerian kesehatan dalam hal pengadaan barang/jasa. Namun, pada implementasi pelaksanaan perpres 12 tahun 2021 pasal 74 yang menyebutkan pada butir 32 di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 2(dua) pasal yakni 74A dan Pasal 74B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74A ayat (8): Sumber Daya Pengelola Fungsi Pengadaan Barang/Jasa berkedudukan di UKPBJ dan pada ayat (9) Atas dasar pertimbangan kewenangan, Sumber Daya Pengelola Fungsi Pengadaan Barang/Jasa yang ditugaskan sebagai PPK dapat berkedudukan di luar UKPBJ.
Sebagai implementasi pelaksanaannya pada struktur organisasi UKPBJ Kementerian Kesehatan berada di Biro Pengadaan Barang dan Jasa dan pada setiap wilayah terdapat Satuan Pelaksana. Diharapkan Satuan Pelaksana yang mengerjakan paket-paket di setiap wilayah yang diampunya.
Melalui surat dari Sekretaris Jenderal Nomor: KP.02.03/IV/5608/2022 tanggal 18 Mei 2022 Hal Peralihan Sumber Daya Pengelola Fungsi Pengadaan Barang/Jasa ke Biro Pengadaan Barang dan Jasa, ada beberapa hal yang menarik dari isi surat tersebut untuk dijadikan pemikiran bersama agar ada suatu bentuk yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik pada Kementerian Kesehatan dan Rumah Sakit.
Namun, dalam diskusi yang berkembang terlihat bahwa keengganan para kawan-kawan JF PPBJ di Rumah Sakit didasarkan pada “Koin dan Poin semata”. Menurut hemat kami kurang elok isu tersebut.
Tatakelola PBJ dan Layanan Kesehatan
Ada hal yang lain salah satunya tatakelola PBJ yang sesuai di RS sehingga kontinuitas pelayanan kesehatan tidak terganggu karena tata kelola PBJ yang kurang tepat.
Jika kita mengamati kembali, perubahan sebagaimana diatur dalam Perpres 12 Tahun 2021 tersebut, tentu regulasi ini sedang menyelesaikan suatu kondisi di suatu wilayah. Namun ternyata solusi ini berdampak munculnya kendala pada wilayah yang lain.
Dalam Perpres 16 Tahun 2018, salah satu pertimbangan atas kedudukan pelaku PBJ berada di luar UKPBJ yaitu besaran beban pekerjaan atau rentang kendali organisasi. Mari kita aplikasikan pertimbangan tersebut pada Rumah Sakit (RS).
Besaran beban pekerjaan untuk penyelesaian paket rata-rata di RS Kelas A sebanyak 100-an paket tender, 400-an paket e-Katalog, dan 500-an paket pengadaan langsung dengan beragam jenis pengadaannya.
Hal ini tentu diperlukan pelaku PBJ yang berperan selaku Pokja Pemilihan, Pejabat Pengadaan, maupun Staf Pendukung PPK dalam mendukung pelayanan RS melalui kegiatan PBJ.
Jika ditinjau rentang kendali organisasi yang dilaksanakan oleh Satuan Pelaksana untuk paket-paket tender tentu memerlukan rentang kendali yang lebih panjang dibandingkan jika Pokja Pemilihan berada di dalam RS.
Namun pada Perpres 12 Tahun 2021 menggunakan pertimbangan yang lain, yaitu pertimbangan kewenangan. Jika hal tersebut yang digunakan, tentu untuk menjadi berbeda di RS dan akan berdampak melambatnya proses PBJ dalam mendukung pelayanan kesehatan untuk para pasien.
Urgensi Menyelamatkan Manusia
Melihat kondisi tatakelola PBJ di Rumah Sakit memiliki karakteristik yang sedikit berbeda. Hal ini tidak lepas karena impact atas kegiatan PBJ dalam rangka menyelamatkan manusia. Sifat ini yang memiliki sifat urgensi, karena ada isitilah CITO di RS, yang menggambarkan bahwa kondisi tersebut harus segera diselesaikan.
Sebagai gambaran jika Si A mengalami kondisi urgent dan harus dilakukan operasi dan telah ditetapkan status CITO. Namun karena ada komplikasi dan komorbid ternyata beberapa obat atau AMHP yang diperlukan tidak ada pada persediaan RS.
Apakah untuk mendapatkan barang tersebut harus dengan pengadaan langsung, ataupun e-katalog. Sedangkan durasi waktu yang diperlukan untuk menyelamatkan pasien tersebut harus segera. Mau melakukan penunjukan langsung ada keraguan.
Tentu kita atau keluarga kita yang mengalami hal tersebut tidak mau diperlakukan seperti itu karena harus melakukan proses pengadaan secara prosedural. Di sisi lain ada juga kondisi jumlah kasus yang selalu datang ke RS tidak selalu dapat terprediksi, karena pasien yang datang tidak selalu sama.
Jika kita menyediakan obat / AMHP namun pada tahun tersebut jumlah kasus-nya turun tentu akan terdapat jumlah persediaan yang cukup banyak dan tentu akan mengakibatkan kerugian bagi RS. Apalagi saat kemarin ada status darurat seperti Covid-19, yang RS harus mampu memberikan pelayanan untuk masyarakat. Kondisi-kondisi ini yang harus dijawab oleh RS.
Di sisi lain, jika para pelaku PBJ status pegawainya merupakan pegawai Biro Pengadaan yang ditugaskan di setiap BLU dalam durasi waktu beberapa tahun ke depan. Tentu penugasan tersebut membuat pegawai yang bertugas menjadi orang asing di rumah mereka sendiri.
Apalagi jika ada kendala terkait kepegawaian, tentu tidak semudah saat yang bersangkutan merupakan bagian dari pegawai BLU tersebut. Hal ini tentu berdampak pada kenyamanan dalam bekerja. Tidak semata tampak seperti opsi “Koin atau Poin” semata.
Harapan Perbaikan Tata Kelola vs Jenjang Karier
Dengan gambaran kondisi di atas, isu “Koin atau Poin” serasa kurang tepat untuk menggambarkan kebutuhan kegiatan PBJ dan para pelaku PBJ di RS. Meskipun pada beberapa RS bisa jadi isu tersebut relevan, namun hal itu tidaklah berlaku pada semua RS.
Bisa jadi koin selaku pegawai Biro Pengadaan bisa memberikan koin yang lebih besar dibanding saat mereka berada di BLU. Sebab koin di BLU sangat ditentukan oleh pendapatan dari RS.
Namun, dengan kebijakan yang ada tentu poin untuk SKP bagi para pelaku PBJ di RS tidak mendapatkan pengakuan. Tentu hal ini tidak sejalan dengan kebijakan KemenPAN yang mendorong para ASN untuk memiliki keahlian khusus serta kepastian jenjang karir.
Hal ini sebenarnya juga terjadi di lapangan, yang dapat kita lihat beberapa pelaku JF PPBJ yang membuat surat pernyataan pengunduran diri sebagai bentuk tindak lanjut atas terbitnya SE di atas. Pada situasi yang lain, beberapa pelaku PBJ lebih memilih JF yang lain meskipun kegiatan utama keseharian sebagai pelaku PBJ.
Ini mereka pilih dalam rangka memberikan rasa aman bagi masing-masing pribadi untuk saat ini. Dikarenakan JF PPBJ tidak lagi menarik untuk dipilih, namun integritas selalu ASN mereka laksanakan meski tugas dan JF yang mereka pilih mungkin bertolak belakang.
Semoga dengan perubahan Perpres 12 Tahun 2021 dapat memberikan kemudahan tatakelola PBJ di RS dalam menjawab tantangan agar dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat. Dan dapat pula menjadi harapan bagi para ASN untuk meniti jenjang karier yang relevan dengan tugas kesehariannya. Aamiin.
Seorang pelaku PBJ di sebuah rumah sakit.
0 Comments