Kita Berpesta, Ekonomi Diam-Diam Berpuasa

by | Aug 29, 2025 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Setiap kali bulan Agustus tiba, saya selalu disuguhi pemandangan yang sama. Jalanan berubah jadi panggung besar. Anak-anak muda berbaris dengan seragam parlente, ibu-ibu menyiapkan kostum penuh payet, bapak-bapak sibuk menggergaji kayu untuk kendaraan hias, dan pejabat sudah bersiap dengan jas safari lengkap dengan senyum resmi.

Karnaval digelar meriah, dan masyarakat bersorak gembira. 

Tidak ada yang salah dengan karnaval. Bahkan, ia sering disebut sebagai bukti kreativitas rakyat sekaligus ruang hiburan kolektif. Namun, setiap kali melihat karnaval semakin mewah, ada pertanyaan kecil yang menggelayut, 

“jika ekonomi masyarakat benar-benar sedang lemah, dari mana datangnya energi dan biaya untuk membuat pertunjukan semegah ini?”, “Apakah kita memang kuat, atau sekadar pandai memainkan peran di depan panggung?”

Mari tengok sejenak data ekonomi kita. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2025, angka kemiskinan nasional masih di kisaran 9,2–9,4 persen, setara sekitar 25 juta jiwa. Daya beli pun melemah, terbukti dari melambatnya laju konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang terbesar pertumbuhan ekonomi. 

Sementara itu, upah riil buruh tani dan buruh bangunan stagnan, bahkan sempat menurun di beberapa daerah. Survei Bank Indonesia juga mencatat peningkatan kredit konsumsi rumah tangga sebagai tanda banyak keluarga bertahan hidup dengan pinjaman.

Inflasi pangan masih menjadi momok, harga beras, cabai, dan bawang kerap naik-turun tak terduga, membuat ibu-ibu pasar semakin lihai menawar, meski tetap dengan wajah cemas. 

Gambaran ini cukup jelas “Di balik gemerlap karnaval, dapur banyak keluarga sebenarnya sedang rapuh”.

Dramaturgi: Panggung Depan dan Panggung Belakang

Sosiolog Erving Goffman, lewat karyanya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menyebut kehidupan sosial mirip teater. Ada panggung depan (front stage) ruang di mana individu atau kelompok menampilkan citra terbaik, menjaga kesan, dan memainkan peran sesuai ekspektasi penonton. 

Ada pula panggung belakang (back stage) ruang yang lebih jujur, tempat orang melepas topeng, mengeluh, dan menghadapi realitas sebenarnya.

Dengan kacamata dramaturgi, karnaval adalah panggung depan kolektif kita. Semua tampak gagah dengan kostum megah, mobil hias berlampu, musik yang memekakkan telinga, dan senyum pejabat yang memimpin barisan. Di hadapan publik, masyarakat tampil sebagai komunitas yang kuat, kreatif, dan bahagia. 

Namun, di balik itu ada panggung belakang yang jarang disorot. Di sana, seorang ibu harus rela mengangsur utang arisan demi kostum anaknya. Ada semangat “jangan sampai kampung kita kalah meriah”, tapi biaya riilnya ditanggung oleh mereka yang mungkin justru tidak bisa ikut menikmati.

Karnaval menjadi semacam topeng kolektif. Ia menyembunyikan rapuhnya dapur rumah tangga di balik tawa dan sorak-sorai. Topeng ini punya fungsi sosial  ia menjaga harga diri bersama. Kita lebih takut terlihat lemah di depan tetangga ketimbang benar-benar lemah di dapur sendiri. 

Fenomena ini mirip dengan pesta pernikahan mewah yang digelar sebuah keluarga meski harus berutang bertahun-tahun. Lebih baik “terlihat mampu” sehari di depan publik, daripada jujur mengakui keterbatasan. 

Karnaval adalah bentuk kolektif dari logika itu gemerlap di panggung lebih penting daripada isi dompet di belakang layar.

Ironi di Negeri Panggung : Menutup dengan Senyum Pahit

Sementara BPS mencatat angka kemiskinan tetap tinggi, di panggung karnaval kita bisa menyaksikan naga raksasa dengan kilauan lampu LED. Sementara inflasi pangan membuat harga beras naik, di karnaval, beras justru dijadikan hiasan mobil hias. Sementara pedagang kecil di pasar merana, di jalanan, uang justru mengalir untuk sound system ribuan watt. 

Jika Goffman masih hidup dan sempat datang ke Indonesia, mungkin ia akan tersenyum getir. Ia akan menemukan laboratorium nyata untuk teorinya sebuah bangsa yang begitu piawai memainkan panggung depan, sampai-sampai panggung belakang bisa kita lupakan.

Apakah karnaval lalu harus dihentikan? Tentu tidak. Hiburan adalah kebutuhan. Karnaval adalah ruang budaya, bahkan bisa jadi perekat sosial. 

Namun, ketika karnaval terlalu mewah sementara dapur masih rapuh, kita patut bertanya “apakah ini hiburan tulus, atau sekadar pertunjukan untuk menutupi realitas?”. Di panggung depan, kita menari, tertawa, dan berpose di bawah lampu sorot. 

Di panggung belakang, kita menghitung sisa beras, menunda belanja daging, atau menutup lubang utang. Dan mungkin, di situlah letak keahlian bangsa kita “terlalu piawai menjaga wajah di panggung depan, tapi kerap lupa memperbaiki naskah di belakang layar”.

Karnaval selesai, jalanan kembali sepi. Yang tersisa hanya lelah, utang kostum, dan dompet yang semakin tipis. 

Maka, sekali lagi pertanyaan itu datang “Jika benar ekonomi kita sedang lemah, mengapa panggung depan justru semakin mewah?”

1
0
M. Fajar Dermawan ♥ Active Writer

M. Fajar Dermawan ♥ Active Writer

Author

ASN biasa dengan keahlian “Seni mengelola yang tak terucap”. Spesifikasi khusus menerjemahkan kebisingan dunia menjadi sinyal yang bermakna.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post