Untuk kesekian kalinya, harga tembakau tahun ini tidak sesuai dengan harapan. Meski di beberapa wilayah harga tembakau lebih baik dari tahun 2020, namun secara umum belum mampu untuk memantik kegembiraan petani, terlebih jika dibandingkan dengan panen raya di tahun 1980-an.
Kala itu pada dekade 80-an, hidup petani tembakau laksana “sultan” yang bergelimang “cuan”. Menantu idaman dambaan mertua masa itu, bukanlah seorang pamong praja seperti sekarang, tetapi seorang petani. Iya, petani tembakau.
Dapat dikatakan bahwa saat itu kehidupan petani tembakau sepuluh tahun lebih maju dari pada profesi lain. Hal ini dapat dilihat dari kegemaran warga lereng Sumbing-Sindoro yang membeli kulkas hanya untuk menyimpan pakaian karena belum ada aliran listrik.
Pudarnya Kejayaan Petani Emas Hijau
Demikian makmurnya kehidupan para petani tembakau dan orang yang bergelut di bidang pertembakauan menjadikan tanaman, yang oleh Vlekk (1959) disebut mulai diperkenalkan di wilayah Nusantara dan ditanam pada awal tahun abad ke-17 itu, mendapatkan sebutan sebagai emas hijau. Seiring dengan bergulirnya waktu, melimpah ruahnya “cuan” dari emas hijau pada masa lalu perlahan menghilang.
Lambat laun, kisah petani bermobil mewah, petani berhaji pada abad peralihan antara 19 dan 20 sebagaimana ditulis oleh Lombard (1996), hingga para petani tembakau menikmati masa keemasan yang dibuktikan dari peningkatan jumlah petani tembakau yang berhaji ibarat sebuah mitos yang akan terus diceritakan sampai anak cucu dan tertulis dalam tinta sejarah.
Sesungguhnya kondisi ini cukup ironis, mengingat orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes adalah mereka yang yang menekuni bisnis tembakau. Lebih miris, ketika kita melihat jumlah perokok aktif di Indonesia, menurut Kemenkes, mencapai 33,8 persen atau sekitar 65,7 juta penduduk.
Angka ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ketiga dengan jumlah perokok paling tinggi. Dapat dikatakan “pangsa pasar” industri tembakau masih cukup luas.
Meski potensi pasar masih cukup luas, tapi produk tembakau lokal harus berjibaku dengan penetrasi tembakau impor. Data BPS menunjukan bahwa angka impor tembakau tahun 2019 dan 2020 mencapai 110 ribu ton. Jumlah ini mencapai lebih dari 40 persen produksi tembakau lokal.
Berdasarkan data, produksi tembakau lokal pada tahun 2020 dan 2021 diperkirakan mencapai 261.439 ton dan 261.011 ton. Sementara produksi tembakau yang dapat diserap industri/pabrikan tembakau hanya pada kisaran 200 hingga 300 ribu ton dengan asumsi cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengalami kenaikan.
Apabila cukai resmi naik pada angka 10-17 persen diperkirakan akan memicu pengurangan serapan tembakau hingga 30 persen. Hal ini akan semakin membuat petani kian merana.
Kehadiran Negara dan Liberalisme Pasar
Melihat kondisi pertembakauan yang kian tidak ramah kepada petani, sudah selayaknya pemerintah hadir. Pasar bebas merupakan tempat untuk menampung barang/jasa yang dihasilkan oleh setiap individu yang berpangkal pada paham kebebasan yang diberikan kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk menjalankan kegiatan ekonomi sesuai dengan keinginan mereka tanpa ada campur tangan pemerintah.
Begitulah kata Adam Smith (1776). Suatu paham yang meyakini bahwa kemakmuran individu akan membentuk kemakmuran kolektif. Namun, semestinya pemerintah berhak dan wajib melakukan “intervensi” sehingga pasar bebas tidak mengarah pada free fight liberalism, ekploitasi kaum pemodal terhadap kaum lemah.
Pemerintah kudu mencegah bermunculannya peasant farmer (petani gurem) yang terkungkung pada lembah kemiskinan, tak berdaya melawan invicible hand. Mencegah disparitas ekonomi dan sosial dalam wujud borjuisme dan proletarianisme.
Kehadiran pemerintah sebagai “wasit” untuk mencegah liberalisme pasar merupakan amanat dari tujuan ke-2 Pembukaan UUD 45 yang tercantum dalam alinea keempat yang berbunyi “memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini selaras pula dengan good governance (World Bank:1995), teori kontrak sosial (Rosseu:1762, Hobbes:1651, dan Locke:1689) atau teori keagenan (Jensen&Meckling:1976).
Semua teori itu secara umum menyatakan bahwa negara terbentuk berlandaskan kontrak/perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Pemimpin tidak lebih dari sekedar petugas yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara.
Pemantik: Sebuah Contoh dari Temanggung Jawa Tengah
Berkaitan dengan kehadiran negara dalam “nestapa” nasib petani, khususnya petani tembakau ini, secara simultan telah dipraktikan oleh beberapa pemerintah daerah. Di Temanggung misalnya, pemerintah setempat dalam beberapa tahun belakangan membentuk Gugus Tugas Pertembakauan.
Gugus ini dibentuk setiap menjelang panen raya di Kabupaten Tembakau. Dikutip dari website resmi Pemkab. Temanggung, tujuan dibentuknya gugus adalah untuk memastikan agar proses penjualan panen tembakau dapat memberikan kesejahteraan bagi semua pihak utamanya petani, pedagang, dan para grader.
Sementara fungsi dari gugus adalah mengawal agar “pesta” panen raya tembakau dapat berjalan lancar dan saling menguntungkan, tidak ada pihak yang dirugikan dalam proses bisnis pertembakauan.
Ketika Pemkab Temanggung hadir di tengah petani tembakau dengan sebuah kebijakan maka sedikit berbeda dengan Gubernur Jawa Tengah. Melalui kanal youtube pribadinya, Ganjar Pranowo menunjukkan perhatian luar biasa kepada petani.
Dalam video yang di-upload 2 Oktober 2021 dengan judul “Simalakama Petani Tembakau”, beliau mengungkapkan betapa tembakau merupakan salah satu komponen pendapatan negara lewat CHT yang jumlahnya lebih besar dari penerimaan sektor migas.
Lebih lanjut dikatakan bahwa bahwa terdapat 7 juta petani yang menggantungkan hidup dari tembakau. Mereka ini berpotensi kian merana apabila CHT dinaikan dan impor tembakau tidak dibatasi. Tentu apa yang dilakukan oleh Pemkab Temanggung dan Gubernur Jateng dapat menjadi pemantik bagi pemerintah daerah lainnya dan juga pemerintah pusat melalui sebuah kebijakan.
Epilog: Pentingnya Kebijakan Pro-Petani
Sering kita mendengar, melihat, dan membaca betapa nestapanya petani saat panen raya. Dari petani padi, bawang putih, sayuran, kol, cabai, dan lain sebagainya yang menderita akibat harga rendah.
Namun ironisnya, pemerintah membuka kran impor barang sejenis. Kebijakan yang acap membuat petani frustasi dengan membuang produk pertanian, atau lebih ekstrem merusak tanamannya sebagai bentuk perlawanan sosial.
Kebijakan ini yang semestinya ditinjau ulang. Intinya, perlu ada intervensi pemerintah agar nilai jual produk pertanian tidak terlalu rendah tetapi juga dapat dijangkau oleh masyarakat sebagai konsumen. Kebijakan impor semestinya hanya untuk menutup kekurangan stok produksi dalam negeri, sehingga keadilan dan keekonomisan produk pertanian dapat terwujud.
Meskipun petani tembakau dan petani lainnya tidak dapat mengulang kejayaan di dekade 80-an, namun dengan kebijakan yang pro petani, masih ada harapan agar mereka tetap dapat hidup layak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Syukur-syukur mampu sejahtera.
Kita tidak boleh abai bahwa para petani saat ini didominasi generasi tua. Tanpa kebijakan pro petani, dimungkinkan dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mengalami krisis petani. Kondisi ini bukan tidak mungkin akan berakibat Indonesia akan mengalami krisis pangan dan meningkatnya angka pengangguran.
Bukankah jumlah penduduk usia produktif sedang terus bertambah dan membutuhkan semakin banyak lapangan pekerjaan? Maka, janganlah lupa bahwa pertanian adalah sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Lalu, apa jadinya jika generasi muda enggan mengangkat cangkul, menarik bajak? Masih layakkah kita disebut negara agraris?
0 Comments