Beberapa waktu yang lalu, “Gaji Rp80 juta” mendadak menjadi trending topic di Twitter dan kemudian viral di berbagai platform media sosial. Kehebohan ini berawal dari cuitan akun @_pasiholan yang menceritakan temannya, seorang karyawan swasta bergaji Rp80 juta per bulan.
Sang kawan ini baru 2 bulan dirumahkan, tetapi rumah tangganya sudah menjadi berantakan. Ternyata selama ini keluarganya terbiasa hidup dengan biaya tinggi, mengambil kredit mobil mewah dan KPR rumah senilai Rp3 M. Tabungannya? Ternyata tipis saja. Wajar kalau dalam kondisi ekonomi seperti sekarang keluarga itu kebingungan.
Sementara itu, beredar juga cerita lain yang tidak seviral kisah pertama. Cerita datang dari seorang tukang urut yang berhenti menerima orderan sejak pandemi ini melanda. Ia bisa bertahan hidup karena punya tabungan untuk kebutuhan hidupnya selama 8 bulan lebih, termasuk untuk bayar kontrakan dan biaya sekolah anaknya.
Uang tabungan itu ia kumpulkan selama 3 tahun terakhir, dengan disiplin memisahkan uang jasa dan uang tip yang ia terima. Si tukang urutpun disiplin untuk tidak mengutak-atik tabungannya.
Dua kisah di atas bertolak belakang tapi ada benang merahnya. Besar dan kecilnya penghasilan ternyata tidak menjamin besar kecilnya tabungan. Bahwa penghasilan besar tak menjamin seseorang bisa bertahan dalam kondisi krisis jika tak pintar-pintar mengelolanya.
Kisah pertama, mungkin awalnya menjadi impian banyak orang. Bayangkan, gaji Rp80 juta per bulan! Saya ulangi, per bulan. Sekali lagi, PER BULAN. Tahukah Anda bahwa bahkan gaji saya setahun sebagai PNS di daerah pun masih kalah jauh dari gaji bulanan temannya Mas @_pasiholan ini.
Sulitnya PNS Menyisihkan Penghasilan
Semenjak saya jadi PNS dan tiap tahun rutin mengirim SPT Tahunan Pajak Penghasilan, status SPT saya selalu nihil. Mengapa? Tak lain karena jumlah penghasilan saya disetahunkan jumlahnya selalu di bawah jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Pengamatan saya pada teman-teman sesama PNS – baik yang sekantor maupun lain kantor, menabung adalah hal yang sulit sekali kami lakukan. Seorang teman bahkan pernah bertanya, bagaimana caranya agar bisa rutin dan disiplin menabung? Kenapa sulit sekali untuk menabung?
Disiplin di sini maksudnya adalah disiplin menyisihkan uang untuk ditabung dan disiplin untuk tidak mengutak-atik tabungan, bukan hanya sekedar menumpang lewat di rekening. Terus terang ini adalah pertanyaan sulit meskipun sebenarnya jawabannya mudah. Cuma perlu TEKAD, tapi implementasi dari tekad ini yang sulitnya minta ampun.
Mayoritas teman-teman saya bahkan berpendapat, seorang PNS tidak akan bisa mempunyai barang berharga semacam rumah dan mobil tanpa mengambil kredit di Bank, Koperasi, atau apalah namanya. Terlepas dari hukum riba dan hitung-hitungan untung-rugi mengambil kredit, mereka berpendapat mengambil kredit adalah salah satu cara menabung yang paling efektif.
Dengan mengambil kredit, mau tak mau kita dipaksa menyisihkan sebagian gaji. Gaji otomatis dipotong sesuai nominal yang disepakati selama kurun waktu tertentu yang kita pilih. Jika tidak terpaksa disisihkan seperti ini, mereka beralasan, uang tadi toh akan habis juga untuk sesuatu yang tak jelas wujudnya.
Menyisihkan sebagian dari gaji dengan kesadaran dan usaha sendiri untuk ditabung memang bukan perkara gampang, hingga sebagian orang butuh paksaan dari pihak lain untuk melakukannya. Bentuk paksaan ini kadang bisa berubah menjadi berbau kekerasan saat kita sengaja atau tidak sengaja melalaikan kewajiban membayar cicilan, mulai dari surat peringatan, teror debt collector – baik yang datang langsung atau lewat telepon, sampai pengambilalihan aset dari kredit yang macet tadi.
Ngeri sebenarnya, tapi apa mau dikata, sebagian dari kita masih merasa membutuhkannya dan (mungkin) menikmatinya.
Ada juga yang berpendapat, cicilan yang harus dibayar adalah penyemangat kerja. Jadi, selain ibadah dan keluarga, sekarang cicilan pun bisa menjadi sumber motivasi tersendiri. Dengan mengingat adanya cicilan yang harus dibayar tiap bulan, kerja jadi lebih bersemangat. Quote pupoler tentang ini contohnya:
“Saat semua pekerjaan dirasa makin tidak menyenangkan, ingatlah akan cicilan” atau “Saya kerja keras, karena saya sadar cicilan saya masih banyak.”
PNS: Profesi Paling Stabil dalam Segala Kondisi
Sebagian yang lain berpendapat, rugi jika SK sebagai PNS tidak “disekolahkan”. Diakui atau tidak, PNS adalah nasabah istimewa bagi sebagian besar bank. Terutama untuk produk kredit, PNS menjadi anak emasnya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa PNS lebih mudah mendapatkan kredit bank. Bank lebih percaya dengan SK PNS yang menjamin adanya penghasilan tetap setiap bulannya daripada profesi lain yang penghasilannya belum tentu nominalnya.
Beberapa bank bahkan memberi fasilitas khusus untuk PNS semisal dengan memberi keringanan bunga lebih rendah dari warga biasa, plafon pinjaman yang lumayan tinggi, sampai proses pencairan dana yang lebih mudah dan cepat.
Pengalaman saya sebagai debitur, ketika cicilan saya tinggal 1-2 bulan lagi lunas, pihak bank sudah menghubungi dan “memanas-manasi” saya untuk mengambil pinjaman lagi dengan iming-iming bunga turun.
Pola pikir bahwa PNS sebagai jenis pekerjaan paling aman dan stabil di segala kondisi, ditambah dengan berbagai pendapat di atas, membuat menabung seakan menjadi pilihan terakhir. Apalagi kalau menabungnya menunggu ada sisa, pasti rasanya semakin berat saja.
Melirik kalender tanggal masih segitu, tapi rindu tanggal satu sudah menggebu. Boro-boro menabung, tengah bulan saja sudah murung. Meski sulit, tapi jangan jadikan alasan untuk berkelit.
Duh, apakah benar demikian? Kalau Anda masih berpikir begitu, sepertinya kita harus lebih banyak membaca berita tentang kondisi keuangan negara yang mulai mengancam penghasilan kita.
Epilog
Pandemi di bulan Ramadhan ini sedikit banyak mengajarkan pada kita untuk mulai benar-benar belajar menahan diri. Selain berpuasa, menabung bisa menjadi salah satu bentuk latihannya.
Memang butuh tekad dan mental baja untuk menjadi pribadi yang gemar menabung. Harus pandai membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Harus tahan godaan. Tahan tak tergoda saat orang lain bisa punya rumah sementara kita baru bisa ngontrak.
Tahan tak tergoda saat orang lain tiap tahun upgrade motor dan mobil sementara kita masih bertahan dengan motor butut dan “odong-odong” yang alhamdulillah masih bisa jalan.
Tahan tak tergoda saat orang lain bisa piknik dan kulineran tiap week end sementara kita jalan-jalan paling jauh ke rumah mertua di kecamatan sebelah.
Tahan iming-iming berbagai kemudahan dari kreditur yang merayu kita memperdalam lubang utang atau membuat lubang utang yang baru. Tahan berjuta godaan lainnya.
Sebesar apa pun penghasilan kita, seaman apa pun kedudukan kita, nyatanya langit tak selalu cerah dan roda juga tak selalu di atas. Bahkan hewan-hewan pun mempersiapkan diri dengan mengumpulkan dan menyimpan banyak makanan jika menjelang musim dingin. Apalagi kita manusia. Seharusnya kita lebih paham untuk mempersiapkan diri menghadapi hari esok.
Sabda Rasulullah: “Simpanlah sebagian dari harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu.” (H.R Bukhari) cukuplah untuk dijadikan pegangan. Jadi, tunggu apalagi, yuk nabung!
— Catatan seorang PNS yang masih berjuang melunasi cicilan dan baru belajar menabung —
Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.
Bagus sekali tulisan ini Bu Fatma….. situasi saat ini mudah mudahan memberikan kita pelajaran untuk hidup hemat dan rajin untuk menabung
Terima kasih Bu, semoga menjadi inspirasi bagi ASN untuk gemar menabung.
MashaAllah dek fatma.. tulisannya keren… Sama dek Alhamdulillah Ramadhan ini terbebas dari hutang bank dan bismillah start menabung InshaAllah