Ketika Notifikasi Tak Pernah Berhenti: Aparatur di Era Birokrasi Digital

by | Sep 30, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno baru-baru ini menegaskan bahwa reformasi birokrasi harus mampu mewujudkan keseimbangan hidup dan pekerjaan bagi aparatur. 

Namun, di tengah gencarnya digitalisasi pelayanan publik yang menuntut responsivitas tinggi, muncul pertanyaan: bisakah keduanya berjalan seiring tanpa saling mengorbankan?

Revolusi Digital yang Mengaburkan Batas Waktu

Digitalisasi birokrasi Indonesia telah mencapai kemajuan yang cukup signifikan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mencatat adanya puluhan ribu aplikasi pelayanan publik yang kini dapat diakses masyarakat. 

Portal Cari Yanlik, transformasi Sistem Informasi Pelayanan Publik Nasional, memungkinkan masyarakat mengakses informasi layanan kapan saja. Mal Pelayanan Publik Digital telah beroperasi di 216 lokasi atau sekitar 43 persen dari jumlah kabupaten/kota di Indonesia.

Kemudahan ini menghadirkan ekspektasi baru dari masyarakat, namun sekaligus menghadirkan beberapa faktor yang membuat batas antara kehidupan kerja dan pribadi aparatur semakin kabur. 

Teknologi yang selalu aktif menjadi faktor utama—smartphone aparatur
kini menjadi “kantor portable” yang sulit dimatikan. Email, chatbot, dan notifikasi sistem dapat muncul kapan saja, menciptakan tekanan implisit
untuk selalu siaga melayani.

Budaya kerja yang berubah turut mempercepat pudarnya batas tradisional. Work from home dan sistem hybrid yang dipopulerkan pandemi membuat rumah menjadi perpanjangan kantor. Ruang makan bisa berubah menjadi meeting room, kamar tidur menjadi backdrop video conference dengan stakeholder

Tekanan produktivitas digital juga mengintensifkan ekspektasi—ada dorongan untuk terus mengoptimalkan waktu, bahkan waktu pribadi sering dipandang sebagai peluang untuk upgrade skill digital atau menyelesaikan backlog administrasi.

Yang paling menantang, ekspektasi masyarakat terhadap responsivitas telah bergeser drastis. Jika dulu pelayanan terbatas pada jam kerja 08.00-16.00, kini masyarakat yang terbiasa dengan layanan digital yang super cepat dari sektor swasta mengharapkan respons yang sama cepatnya dari sektor publik, bahkan di luar jam kantor.

Dalam konteks birokrasi yang masih dalam masa transisi dari manual ke digital, beban ganda ini menjadi semakin kompleks. Aparatur tidak hanya dituntut harus menguasai teknologi baru, tetapi juga mempertahankan standar pelayanan prima yang semakin tinggi.

Sisi Kelam Efisiensi Digital

Paradoks muncul ketika kita melihat lebih dalam dampak digitalisasi terhadap kehidupan kerja aparatur. Studi menunjukkan bahwa digitalisasi dapat menghemat 50 persen waktu pelayanan dan 50 persen anggaran operasional

Namun, apakah efisiensi ini benar-benar mengurangi beban kerja aparatur, atau justru meningkatkan ekspektasi produktivitas yang lebih tinggi?

Realitas menunjukkan bahwa sistem digital sering kali menciptakan “efisiensi semu”—di permukaan terlihat lebih cepat dan efisien, namun di balik layar aparatur justru menghadapi kompleksitas baru. 

Mereka harus menguasai multiple platform, menghadapi tekanan akurasi data yang lebih tinggi, dan mengelola ekspektasi masyarakat yang meningkat drastis. Ketika sistem mengalami gangguan teknis—yang tidak jarang terjadi—aparatur menjadi garda terdepan yang harus menjelaskan dan mencari solusi alternatif, seringkali hingga larut malam.

Fenomena “always-on culture” dalam birokrasi digital menciptakan beban psikologis tersendiri. Aparatur merasa bertanggung jawab ketika ada keluhan masyarakat di media sosial atau grup WhatsApp terkait layanan digital, bahkan di luar jam kerja. 

Sistem notifikasi yang terus aktif membuat batasan waktu kerja menjadi kabur, menciptakan kecemasan yang berkelanjutan tentang performa sistem dan kepuasan masyarakat.

Pemerintah telah mengantisipasi hal ini dengan merumuskan Flexible Working Arrangement (FWA) yang mempertimbangkan flexi place dan flexi time. Namun, implementasinya tidak mudah, terutama untuk jabatan struktural tinggi yang memerlukan supervisi langsung dan koordinasi intensif.

Tantangan Struktural dalam Birokrasi Tradisional

Struktur birokrasi Indonesia yang masih hierarkis menciptakan tantangan tersendiri dalam mengimplementasikan work-life balance. Konsep “core hours” atau waktu wajib hadir di kantor yang diperkenalkan pemerintah merupakan kompromi antara fleksibilitas dan kebutuhan koordinasi.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan
bahwa budaya “lembur sebagai dedikasi” masih mengakar kuat.
Aparatur sering merasa perlu menunjukkan komitmen dengan bekerja melebihi jam normal, terutama ketika berhadapan dengan administrasi yang mendesak atau
target organisasi yang harus segera dicapai.

Di sisi lain, masyarakat yang sudah terbiasa dengan layanan digital instan dari sektor swasta mulai membandingkan responsivitas pelayanan publik. Tekanan ini kemudian mengalir ke bawah, memaksa aparatur untuk bekerja lebih intensif demi mempertahankan kepercayaan publik.

Mencari Keseimbangan: Perspektif yang Beragam

Dari sudut pandang manajemen sumber daya manusia, work-life balance bukan sekadar isu kesejahteraan individu, tetapi investasi jangka panjang untuk produktivitas organisasi. Aparatur yang memiliki keseimbangan hidup terbukti lebih kreatif, tidak terpapar burnout, dan mampu memberikan inovasi dalam pelayanan publik.

Namun, dari perspektif masyarakat sebagai pengguna layanan, ada kekhawatiran bahwa penerapan work-life balance yang kaku dapat mengurangi kualitas atau kecepatan pelayanan. Terutama untuk layanan yang bersifat urgent atau emergency, masyarakat mengharapkan respons yang cepat tanpa terkendala jam kerja.

Sementara itu, dari sudut pandang reformasi birokrasi, digitalisasi seharusnya menjadi win-win solution: meningkatkan efisiensi pelayanan sambil mengurangi beban kerja manual aparatur. Tetapi dalam praktiknya, transisi ini memerlukan periode adaptasi yang tidak sebentar.

Jalan Tengah yang Konstruktif

Solusi tidak terletak pada pilihan ekstrem antara pelayanan optimal atau work-life balance yang ideal, melainkan pada pendekatan yang holistik dan bertahap. Beberapa strategi yang dapat diterapkan misalnya:

  • Pertama, implementasi sistem rotasi dan backup yang solid. Setiap fungsi kritis harus memiliki backup yang kompeten, sehingga tidak ada single point of failure yang memaksa seseorang bekerja melebihi kapasitas. Sistem ini memungkinkan adanya coverage 24/7 tanpa membebani individu secara berlebihan.
  • Kedua, pemanfaatan automasi untuk tugas-tugas repetitif. Teknologi chatbot, automated response, dan predictive analytics dapat mengurangi beban aparatur dalam menangani aktivitas rutin, membebaskan mereka untuk fokus pada tugas yang memerlukan justifikasi dan kreativitas manusia.
  • Ketiga, penetapan Service Level Agreement (SLA) yang realistis. Tidak semua layanan perlu direspons secara instan. Kategorisasi berdasarkan tingkat urgensi dapat membantu mengatur ekspektasi masyarakat sekaligus melindungi waktu istirahat aparatur.
  • Keempat, investasi dalam pengembangan digital skills yang komprehensif. Aparatur yang menguasai teknologi dengan baik dapat bekerja lebih efisien dan tidak merasa overwhelmed oleh tools digital. Program pelatihan harus berkesinambungan dan adaptif terhadap perkembangan teknologi.
  • Kelima, penerapan flexible WFA yang disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan. Tidak semua jabatan cocok untuk WFA, tetapi dapat diterapkan sistem hybrid yang mengoptimalkan produktivitas sambil memberikan fleksibilitas.

Menuju Birokrasi Digital yang Humanis

Era digital bukan berarti mengabaikan aspek humanis dalam birokrasi. Justru sebaliknya, teknologi seharusnya membebaskan manusia dari pekerjaan yang monoton dan memberikan ruang untuk berkembang. 

Dalam konteks ini, work-life balance bukan hambatan terhadap modernisasi, melainkan indikator keberhasilan transformasi digital.

Pemerintah perlu mengakui bahwa inovasi yang berkelanjutan hanya dapat tercapai jika aparatur memiliki kondisi pribadi yang baik. Ini bukan tentang memanjakan pegawai, tetapi tentang menciptakan ekosistem kerja yang produktif dan berkelanjutan.

Masyarakat juga perlu memahami bahwa pelayanan publik yang berkualitas memerlukan aparatur yang sehat secara fisik dan mental. Ekspektasi yang tidak realistis hanya akan kontraproduktif secara jangka panjang.

Yang terpenting, transformasi digital harus dipandang sebagai marathon, bukan sprint. Perubahan budaya kerja memerlukan waktu, konsistensi, dan komitmen dari semua stakeholder. Keseimbangan antara inovasi pelayanan dan kesejahteraan aparatur bukan zero-sum game, melainkan investasi untuk masa depan birokrasi Indonesia yang lebih baik.

Pada akhirnya, birokrasi digital yang sukses adalah yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sambil memastikan aparaturnya memiliki kehidupan yang seimbang dan bermakna. 

Inilah tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia di era digital: membuktikan bahwa modernisasi dan humanitas dapat berjalan seiring, menciptakan good governance yang tidak hanya efisien, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan.

2
0
Irsyadinnas ♥ Active Writer

Irsyadinnas ♥ Active Writer

Author

Seorang birokrat muda yang menempa dirinya di garis depan transformasi digital pemerintahan. Perjalanan intelektualnya dimulai dari dunia angka dan data di Statistika IPB University, berlanjut menjelajahi perspektif global melalui program pendidikan singkat di University of Sydney, hingga mendalami seluk-beluk inovasi regional di Universitas Padjadjaran. Sejak 2010, ia mengabdikan dirinya sebagai ASN di Belitung Timur—sebuah pulau kecil dengan potensi besar. Dari Bappeda hingga kini memimpin Bidang Keamanan Informasi, Persandian dan Statistik di Diskominfo. Terpesona oleh kompleksitas birokrasi dan dinamika kebijakan publik, dan mulai tertarik membagikan pikirannya dalam format tulisan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post