
Di tengah tekanan ekonomi global dan meningkatnya angka pengangguran, ruang legal bagi masyarakat untuk bertahan hidup semakin menyempit.
Akibatnya, sebagian orang memilih jalur pintas:
bergabung dengan organisasi masyarakat (ormas) yang beroperasi di wilayah abu-abu antara sosial dan kriminalitas. Premanisme pun menjelma menjadi opsi ekonomi baru.
Data dari BPS, Februari 2025 mencatat angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, naik sekitar 83.000 dari tahun sebelumnya. Meski tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara persentase mengalami penurunan tipis menjadi 4,76 persen, kelompok usia muda justru mendominasi pengangguran.
TPT usia 15–24 tahun melonjak hingga 16,16 persen. Angka ini mencerminkan satu kenyataan pahit, anak muda sulit mendapatkan pekerjaan, apalagi pekerjaan yang layak.
Tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat sejak 2023 hingga awal 2025. Dalam kurun waktu Januari hingga April 2025 saja, tercatat 24.036 orang terkena PHK (Kompas.id, 8/5/2025). Serikat pekerja bahkan menyebut angka ini lebih kecil dari kenyataan karena banyak PHK dilakukan secara diam-diam tanpa pelaporan resmi ke dinas tenaga kerja.
Industri tekstil menjadi contoh yang paling kentara. Banyak pabrik yang tidak mampu membayar utang dan menanggung biaya operasional akibat melemahnya permintaan global. Akibatnya, karyawan dipangkas dan pabrik tutup satu demi satu.
Di tengah gempuran inflasi, naiknya harga bahan pokok, dan stagnannya konsumsi rumah tangga, masyarakat dihadapkan pada dilema: tetap bertahan dengan penghasilan seadanya, atau mencari jalur lain—meskipun ilegal.
Ketika Ekonomi Menyempit, Premanisme Meluas
Berbagai aksi premanisme yang viral dalam dua bulan terakhir memperlihatkan wajah baru dari dinamika sosial-ekonomi Indonesia. Di Bekasi, seorang pria bernama Suhada mengintimidasi petugas keamanan pabrik plastik demi memaksa pertemuan dengan pimpinan perusahaan (Kompas.id, 8/5/2025).
Di Depok, ormas GRIB Jaya menyerang polisi dan membakar mobil dalam upaya membela salah satu pemimpinnya yang ditangkap karena penganiayaan dan kepemilikan senjata api ilegal. Di Jakarta Selatan, dua kelompok penyedia jasa keamanan bersenjata bentrok memperebutkan pengawasan lahan.
Fenomena ini seakan berjalan beriringan dengan melonjaknya angka pengangguran dan lesunya perekonomian. Kepala Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia, Ari Subagio Wibowo, menilai bahwa keterkaitan antara pengangguran dan meningkatnya aksi premanisme cukup nyata.
Orang yang kehilangan pekerjaan menjadi sangat rentan terhadap tindakan kriminal sebagai jalan pintas untuk bertahan hidup.
“Melalui jalur ormas, banyak yang beranggapan mereka bisa mendapatkan penghasilan. Walau melalui cara melanggar hukum, ini dianggap lebih baik daripada tidak mendapat apa-apa,” kata Ari (Kompas.id, 8/5/2025).
Sebagian ormas kini berubah fungsi. Mereka tidak lagi bergerak untuk kegiatan sosial, tetapi menjadi semacam perusahaan jasa nonformal: mengelola parkir liar, mengamankan proyek, atau bahkan menyediakan jasa penagihan dengan ancaman.
Lebih jauh, sebagian dari mereka tampil dengan seragam mirip militer untuk menunjukkan wibawa, sekaligus menebar ketakutan.
Ketika Ormas Menjadi “Jalur Karier Alternatif”
Dalam situasi ideal, ormas seharusnya menjadi wadah aspirasi dan pengorganisasian sosial masyarakat. Namun, banyak ormas hari ini justru menjadi tempat bernaung orang-orang yang terpinggirkan dari sistem ekonomi formal. Mereka yang tidak terserap pasar kerja mencari pengakuan, perlindungan, dan penghasilan melalui ormas.
Ormas pun menjadi kanal ekonomi informal baru. Tidak jarang, pengurus ormas menarik iuran dari anggotanya atau menjanjikan “proyek” tertentu yang diperoleh dari hubungan mereka dengan tokoh lokal, aparat, atau bahkan partai politik.
“Premanisme itu hanya gejala, penyakit utamanya adalah tidak adanya kepastian ekonomi,” kata Ari (Kompas.id, 8/5/2025). Ia menyebut bahwa jika ormas diberi peran positif—seperti jembatan antara pencari kerja dan pelatihan formal—maka peran destruktif ini bisa diubah.
Namun, gagasan itu masih jauh dari kenyataan.
Sebagian besar program pelatihan kerja pemerintah, seperti di Balai Latihan Kerja (BLK),
sering tidak terintegrasi dengan kebutuhan pasar kerja, minim pendampingan,
dan tidak menjamin penempatan kerja. Akibatnya, lulusan pelatihan pun kembali
ke titik nol: pengangguran.
Lemahnya Reintegrasi Sosial Ekonomi
Reintegrasi sosial ekonomi adalah proses mengembalikan individu ke sistem sosial dan ekonomi formal setelah mengalami keterpencilan, seperti PHK, masa tahanan, atau keterlibatan dalam aktivitas ilegal. Di Indonesia, pendekatan ini masih sangat lemah.
Tak banyak program yang secara nyata menghubungkan mantan pekerja dengan sektor kerja baru. Ketika pemutusan hubungan kerja terjadi, negara tidak hadir dengan cukup cepat dan efektif.
Tidak semua pekerja yang kehilangan pekerjaan mendapat jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), sementara bantuan sosial seperti sembako atau bantuan tunai bersifat temporer.
Sebagian besar mantan buruh tidak memiliki cukup modal atau keterampilan untuk berganti profesi. Di sinilah ruang premanisme terbuka lebar. Organisasi masyarakat atau kelompok tertentu menawarkan “kesempatan kerja” cepat, tanpa syarat pendidikan atau keterampilan, meskipun melalui kekerasan atau pemaksaan.
Pengamat sosial dari Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi, Hamluddin, tidak sepenuhnya sepakat bahwa pengangguran menjadi penyebab langsung premanisme. Menurut dia, banyak masyarakat yang memilih jalur halal untuk bertahan hidup, seperti berdagang.
Namun, ia mengakui bahwa tekanan ekonomi dapat memperlemah daya tahan moral dan hukum. “Biasanya orang yang baru mulai berdagang disokong oleh modal yang terbatas. Jika ada pemalakan, bisa jadi modalnya habis dan mereka tidak bisa lagi berjualan untuk keesokan harinya,” kata Hamluddin (Kompas.id, 8/5/2025).
Artinya, premanisme bukan hanya menyeret pengangguran ke dalamnya, tetapi juga mempersempit ruang gerak pekerja informal yang mencoba bertahan dengan cara jujur.
Negara yang Absen atau Membiarkan?
Berdasarkan data BPS, peningkatan angka kriminalitas di Indonesia tak bisa dibantah. Berdasarkan data BPS, jumlah kejahatan pada 2023 mencapai 584.991 kasus, meningkat tajam dibandingkan 2022 dengan 372.965 kasus.
Crime rate—jumlah korban per 100.000 penduduk—naik dari 137 menjadi 214. Bahkan, crime clock menunjukkan bahwa pada 2023, kejahatan terjadi setiap 53 detik.
Polda Metro Jaya menjadi wilayah dengan kasus kejahatan tertinggi. Sebagian besar aksi premanisme yang viral juga terjadi di kawasan ini: Bekasi, Depok, dan Jakarta Selatan.
Pemerintah pusat merespons dengan membentuk Satgas Premanisme yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Satgas ini akan mengawasi ormas dan menindak pelanggaran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Ormas yang terbukti melakukan pelanggaran bisa kehilangan status hukumnya dan dibubarkan (Kompas.id, 8/5/2025).
Namun, efektivitas Satgas ini masih menjadi tanda tanya. Selama ini, penindakan hukum sering berhenti di “pemain lapangan” sementara aktor di balik layar tetap aman. Dalam beberapa kasus, ormas yang terlibat aksi kekerasan bahkan mendapat perlindungan dari tokoh penting atau partai politik.
Menata Ulang Arah
Untuk memberantas premanisme, tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Negara harus memperbaiki sistem ekonomi dan sosial yang selama ini gagal menyerap masyarakat ke dalam jalur formal.
- Langkah pertama adalah memperkuat sistem jaminan kerja dan pelatihan yang berbasis kebutuhan industri. Pelatihan harus menjadi alat transisi nyata menuju pekerjaan formal, bukan sekadar program simbolik.
- Langkah kedua adalah menjadikan ormas sebagai mitra sosial yang diarahkan untuk kegiatan produktif. Mereka bisa dilibatkan dalam program padat karya, pelatihan tanggap bencana, atau pendampingan sosial.
- Langkah ketiga adalah menguatkan sistem pengawasan terhadap kegiatan ormas dan penyedia jasa keamanan. Legalitas ormas harus dibarengi dengan tanggung jawab sosial, bukan diberi kekuasaan tanpa batas yang akhirnya disalahgunakan.
Penutup
Premanisme bukan sekadar soal kriminalitas, tetapi cerminan dari ekonomi yang pincang dan sistem sosial yang timpang.
Selama negara gagal menyediakan ruang kerja yang layak, selama sistem pelatihan dan reintegrasi sosial mandek, dan selama ormas dibiarkan tanpa arah, maka premanisme akan terus menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang putus asa.
Karena bagi sebagian orang, ketika pekerjaan hilang, hukum pun terasa jauh. Dan di situlah premanisme menganga sebagai satu-satunya jalan keluar yang tersisa.
0 Comments