Dalam khazanah literatur Islam, kekuasaan itu disematkan pada golongan manusia yang bernama ‘umara. Umara adalah kata Bahasa Arab, yang merupakan bentuk plural dari ‘amir yang berarti pemimpin. Golongan ini biasa disebutkan oleh Al Qur’an sebagai ulul amri.
Orang yang dikategorikan sebagai pemimpin adalah orang yang mempunyai otoritas. Ia memiliki kewenangan mengambil keputusan yang dampaknya bisa mencakup sejumlah orang dan wilayahnya meliputi kawasan tertentu.
Ada orang yang wilayah kekuasaannya mencapai sebuah desa, sebuah kecamatan atau bahkan mungkin sebuah Negara. Karenanya, jumlah orang yang dipimpinnya adalah juga sebanyak satu desa, satu kecamatan, atau sebanyak satu negara.
Ada pemimpin yang wilayah kekuasaannya hanya sebatas sebuah rumah tangga. Artinya, jumlah orang yang dipimpinnya hanyalah sebanyak jumlah anggota keluarganya. Akan tetapi ada juga orang yang hanya sekedar memimpin dirinya sendiri. Itupun tak kurang besarnya tanggung jawab yang harus diembannya, karena tindakan pribadi tetap saja berdampak pada orang lain.
Pendek kata, semua orang adalah pemimpin, dengan luas kewenangan dan jumlah orang yang dipimpin berbeda-beda, tergantung pada otoritas, tugas, dan tanggung jawabnya. Dalam Surah Al Baqarah ayat 30, kita diingatkan bahwa Allah SWT pernah mengumumkan kepada malaikat mengenai niat-Nya untuk menciptakan khalifah: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini.
Ternyata, khalifah yang dimaksud oleh Allah itu merujuk pada Nabi Adam AS yang kemudian menjadi nenek moyang seluruh umat manusia. Dari ayat itulah kemudian bisa dipahami bahwa, pada dasarnya semua manusia yang menjadi keturunan Nabi Adam AS adalah juga khalifah di muka bumi ini.
Selanjutnya, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW menegaskan bahwa “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Jika pemahaman atas pengertian hadits ini dikombinasikan dengan ayat di atas, maka jelaslah bahwa setiap manusia yang berakal adalah pemimpin. Tentu saja, masing-masing dengan otoritas yang bertingkat-tingkat. Tergantung pada situasi dan kondisinya.
Jika kekuasaan dipersonifikasikan sebagai seorang laki-laki, maka sebaiknya ia tidak hidup menyendiri (menjomblo). Kekuasaan itu persis laksana remaja mabuk kepayang yang emosinya labil. Suasana hatinya gampang berubah. Mudah marah atau sedih, kadang beringas dan angkuh, namun kadangkala juga ia bersikap santun, gembira, dan penuh kasih sayang.
Kekuasaan bisa keras bagai cadas, tetapi kadang pula bisa lembut seperti salju. Agar emosinya stabil —suasana hatinya tidak gampang terseret dari tensi yang satu ke tensi yang lain — sebaiknya kekuasaan selalu didampingi oleh pasangannya, kekasih sejatinya. Pertanyaannya kemudian adalah: siapakah cinta sejati dari kekuasaan itu? Apa hal yang paling dibutuhkan kekuasaan untuk mencapai keseimbangannya? Itulah orang yang berilmu.
Orang berilmu dalam Bahasa Arab disebut sebagai orang ‘alim, yang bentuk pluralnya adalah ‘ulama. Ulama, atau yang biasa juga disebut sebagai ulul albab ini adalah golongan pemikir yang dianugerahi pemahaman tentang seluk beluk sesuatu. Ilmu mereka berasal dari Tuhan, sehingga kebenaran yang mereka pahami sesungguhnya adalah sunnatullah yang kemudian kita kenal sebagai hukum-hukum alam. Pantas saja, ketika berbicara tentang kehidupan, Al qur’an selalu menyertakannya dengan ilmu.
Ayat Al Qur’an yang pertama diturunkan berbunyi: ‘iqra. Sebuah perintah tegas dari Allah bagi manusia untuk membaca ayat-ayat Allah, baik yang tersurat, maupun yang tersirat. Hal mana dengan tegas menganjurkan manusia untuk senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan. Anjuran menuntut ilmu juga diwacanakan oleh Rasulullah SAW dalam himbauannya kepada manusia untuk menuntut ilmu, bahkan jika perlu hingga ke negeri Cina. Pun dalam berbagai hadits lainnya.
Dalam menjalani kehidupan, Al Qur’an juga mengecam orang yang tidak mau menggunakan ilmu pengetahuan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya. Dalam pandangan Islam, setiap orang harus belajar, supaya bisa melakukan dan menyebarluaskan kebenaran. Allah melarang kita melakukan sesuatu jika tidak didasari dengan ilmu. Melakukan sesuatu tanpa ilmu berpotensi melahirkan bencana. Bayangkan, ketika kekuasaan mengabaikan cintanya, bekerja tanpa didampingi ilmu. Maka ia bisa menjelma menjadi senjata yang mematikan. Menjadi sumber petaka bagi orang yang seharusnya dia lindungi. Menjadi penghancur bagi sesuatu yang semestinya ia bangun.
Kekuasaan tanpa ilmu jauh lebih berbahaya daripada apapun yang bisa Anda bayangkan. Oleh karena itu, carilah ilmu untuk menuntun kekuasaan Anda. Ilmu tidak susah dicari. Jika tak sanggup sekolah tinggi-tinggi, carilah orang yang berilmu. Mereka ada di mana saja. Yang harus anda lakukan hanyalah bertanya, dengan menyesuaikan besarnya kekuasaan Anda dan ilmu yang dibutuhkan.
Seperti halnya kekuasaan, ilmu juga memiliki tingkatannya. Orang berilmu mempunyai keluasan dan kedalaman pemahamannya sendiri-sendiri. Semakin dalam ia belajar, semakin banyak yang bisa ia berikan. Akan tetapi Intinya, orang berilmu adalah seseorang yang senantiasa belajar. Tak pernah berhenti menyelami keluasan ilmu Allah yang tak terhingga. Pencarian ilmu, dengan demikian, menjadi perjuangan abadi manusia yang tidak akan pernah berkesudahan.
Jadi, para penguasa dan pemilik ilmu, bersandinglah dalam cinta. Jadikan ilmu sebagai pasangan sejati kekuasaan, agar kekuasaan itu bermanfaat, dan ilmu pengetahuan itu bermakna.
ASN di Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Wajo. Tulisan Andi P. Rukka sangat khas, berusaha mengkritisi ketidakberdayaan sebagian besar birokrat di negeri ini.
Its a good idea.