Ketika Agama Dijadikan Komoditas Politik: Refleksi Pilkada 2024

by | Jun 1, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Kontestasi politik lokal 2024 telah usai, namun jejak perdebatan seputar eksploitasi simbol keagamaan dalam arena politik masih menyisakan kegelisahan mendalam. 

Akankah kita mampu mengambil hikmah dari dinamika yang terjadi? Ataukah justru pemanfaatan agama sebagai instrumen politik akan terus menggerogoti sendi-sendi persatuan nasional? 

Krisis Identitas dalam Berdemokrasi

Fenomena ini sebenarnya mencerminkan krisis identitas dalam berdemokrasi. Kita seperti kehilangan kompas moral tentang bagaimana seharusnya agama dan politik berinteraksi dalam ruang publik. Yang terjadi justru adalah reduksi agama menjadi sekadar brand politik, hilang dari esensi spiritualnya yang sejati.

Instrumentalisasi agama dalam konteks politik merujuk pada praktik memanfaatkan nilai-nilai dan identitas keagamaan untuk mendulang simpati pemilih. Dalam gelaran Pilkada tahun lalu, gejala ini tampak cukup mencolok. 

Sejumlah kontestan berlomba mengangkat jati diri keagamaan mereka, sementara tim sukses kerap mengusung retorika bernuansa agama untuk mengkonsolidasi massa. Ironisnya, hal tersebut justru mengaburkan diskusi substantif mengenai program kerja dan rencana pembangunan yang seharusnya menjadi fokus utama. 

Persoalan ini bukan sekadar taktik kampanye biasa, melainkan telah merambah dimensi yang lebih fundamental: transformasi agama dari pilar moral dan perekat komunitas menjadi alat pragmatis yang berpotensi mengoyak harmoni sosial.

Degradasi Mutu Wacana Publik

Efek buruk dari politisasi agama tercermin dalam degradasi mutu wacana publik yang sangat memprihatinkan. Daripada mengulas tema-tema krusial seperti reformasi pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi, fokus masyarakat malah tersita oleh polemik identitas dan sentimen keagamaan. 

Sejatinya, demokrasi yang berkualitas adalah sistem yang memprioritaskan kemampuan calon pemimpin dalam menghadirkan transformasi riil bagi kemakmuran rakyat. 

Kita bisa melihat bagaimana kampanye politik tiba-tiba dipenuhi dengan jargon-jargon keagamaan yang sebenarnya tidak relevan dengan kemampuan memimpin. 

Slogan-slogan berbau religius lebih mudah viral
daripada program konkret pembangunan infrastruktur atau peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini adalah bentuk kemiskinan wacana politik
yang sangat memprihatinkan.
 

Yang lebih mengkhawatirkan, komodifikasi agama dalam politik berisiko memicu sikap intoleran hingga bentrokan fisik antarkelompok. Seperti yang diingatkan oleh Islah Bahrawi dari Jaringan Moderat Indonesia, politisasi agama berpotensi menimbulkan intoleransi bahkan kekerasan antar kelompok beragama. 

Peringatan ini bukan tanpa dasar, mengingat masih terjadinya insiden-insiden diskriminatif yang mengatasnamakan agama di berbagai wilayah, termasuk dalam ranah politik daerah. 

Marginalisasi Minoritas dan Degradasi Standar Demokrasi

Dampak lain yang tak kalah serius adalah marginalisasi kelompok minoritas yang kerap merasa terancam dan terpinggirkan. Saat agama dimanfaatkan sebagai instrumen politik, komunitas minoritas rentan menjadi target diskriminasi dan intoleransi yang meluas. 

Hal ini jelas bertentangan dengan jiwa Pancasila dan konstitusi yang mengamanatkan kebebasan beragama serta perlindungan menyeluruh terhadap seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Pengalaman ini menunjukkan betapa rapuhnya toleransi ketika bersinggungan dengan kepentingan politik.

Platform digital pun kini menjadi arena pertarungan baru dalam politisasi agama. Konten-konten yang memadukan unsur religius dengan muatan politik, seringkali dibumbui dengan narasi kebencian dan informasi menyesatkan, menyebar dengan kecepatan tinggi. 

Kondisi ini tidak hanya memperkeruh suasana masyarakat, tetapi juga mendegradasi standar demokrasi karena ruang dialog konstruktif menjadi terbatas. 

Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, hoaks dan propaganda mudah beredar, dan politisasi agama menjadi salah satu isu yang kerap dieksploitasi oleh kepentingan tertentu untuk memperkuat posisi politik mereka. 

Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh M. Febriyanto Firman Wijaya, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang menekankan bahwa politisasi agama dapat memicu perpecahan dan konflik antarumat beragama.

Krisis Spiritual Kalangan Politik

Memang benar, ketika agama dijadikan instrumen politik, kemajemukan keyakinan yang seharusnya menjadi aset bangsa justru berubah menjadi bibit perpecahan. Ironi lainnya adalah bagaimana tokoh-tokoh politik yang gemar mengumbar retorika keagamaan justru sering terlibat dalam praktik korupsi atau pelanggaran etika. 

Ini menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman mereka tentang esensi agama yang sesungguhnya agama hanya dijadikan topeng untuk menutupi agenda politik pragmatis, bukan sebagai panduan moral dalam memimpin. 

Kita menyaksikan bagaimana narasi keagamaan yang semestinya menyejukkan justru berubah menjadi senjata untuk menyerang lawan politik. Agama yang seharusnya mengajarkan kasih sayang dan persaudaraan malah dibelokkan untuk menghasut dan memecah belah. 

Fenomena ini menunjukkan adanya krisis spiritual di kalangan elite politik yang memperlakukan agama sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk meraih kekuasaan.

Bagaimana Meresponsnya?

Lantas, bagaimana kita merespons tantangan ini? Edukasi politik yang menanamkan nilai-nilai toleransi dan keharmonisan antarumat beragama menjadi kunci fundamental. 

Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk menolak kampanye yang mengeksploitasi agama dan berani melaporkan propaganda yang memecah belah. Pemerintah juga harus memperketat regulasi yang melarang politisasi agama dalam kampanye politik dan giat mengedukasi publik tentang risikonya. 

Dialog lintas iman dan partisipasi organisasi kemasyarakatan
juga sangat vital untuk membangun kesadaran bahwa agama adalah perekat sosial, bukan alat pemecah belah. Melalui pendekatan ini, kita dapat memastikan
agar agama tetap menjadi sumber ketentraman
dan persatuan.
 

Yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran kolektif bahwa demokrasi tidak sama dengan popularitas. Pemimpin yang baik bukan yang paling populer di media sosial atau yang paling sering mengucapkan kalimat keagamaan, melainkan yang memiliki rekam jejak nyata dalam menyelesaikan masalah publik.

Sebagai warga negara yang bijak, kita juga memiliki kewajiban untuk menolak politik identitas yang berlebihan. Pilihlah pemimpin berdasarkan program, integritas, dan kapasitas membawa perubahan positif, bukan semata-mata identitas keagamaan. 

Jangan sampai kita terperangkap dalam konflik identitas yang justru merugikan bangsa secara menyeluruh. Kita perlu kembali kepada substansi, bukan sekadar penampilan atau identitas. 

Pelajaran Berharga dari Politisasi Agama

Politisasi agama dalam Pilkada 2024 memberi pelajaran berharga bahwa demokrasi tidak boleh dikorbankan demi kepentingan jangka pendek. Agama harus tetap menjadi jembatan pemersatu, bukan jurang pemisah antarlapisan masyarakat. 

Jika kita gagal mengendalikannya, bukan hanya perpecahan sosial yang terjadi, tapi juga kemunduran demokrasi yang telah kita bangun bersama.

Di sisi lain, patut diapresiasi upaya berbagai pihak—mulai dari pemerintah, tokoh agama moderat, hingga aktivis masyarakat sipil—yang terus menjaga nilai-nilai toleransi dan keberagaman. 

Kementerian Agama, misalnya, aktif mengkampanyekan moderasi beragama dan melarang penggunaan agama dalam kampanye politik. Begitu pula organisasi masyarakat yang menggelar dialog lintas iman untuk mempererat persaudaraan.

Kita tidak boleh diam melihat agama terus dijadikan alat politik. Justru sebaliknya, kita harus aktif menjaga kemurnian nilai-nilai luhur agama dari ambisi kekuasaan. Pilihlah pemimpin dengan pertimbangan rasional dan hati yang lapang—berdasarkan visi dan program nyata, bukan sekadar identitas keagamaan. 

Hanya dengan cara itulah Indonesia yang beragam ini akan tetap tangguh, harmonis, dan demokratis.

2
0
Camelia Putri ♥ Associate Writer

Camelia Putri ♥ Associate Writer

Author

Mahasiswa aktif Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya, semester 4, dengan minat pada isu-isu pemerintahan, kebijakan publik, dan dinamika politik nasional maupun global. Teliti, kritis, dan terorganisir, serta terbiasa bekerja secara individu maupun tim. Memiliki semangat belajar tinggi dalam riset politik, komunikasi publik, dan strategi kebijakan.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post