Ketidakpercayaan Yang Dipercaya

by Mukhammad Misbakhun ♥ Associate Writer | Feb 1, 2021 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Tulisan ini adalah sebuah pendapat pribadi, murni sebagai seorang pembelajar kehidupan, dan tidak terkait dengan afiliasi manapun



Ada pertanyaan yang sangat mendasar dan menarik untuk menjadi bahan perenungan sehingga menjadi proses pembelajaran dari sisi kebijakan publik.

Pertanyaan tersebut adalah, “Kenapa beberapa peraturan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) direspons negatif oleh media dan masyarakat, sehingga tone yang diberikan oleh pemberitaan juga negatif?”

Contoh paling sederhana adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur kembali soal pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada token listrik dan pulsa yang sebelumnya sudah ada dan sifatnya hanya pengaturan kembali. Di dalam aturan tersebut, tidak terdapat tarif baru, obyek baru, ataupun subyek pajak baru. Namun demikian, aturan tersebut direspons dengan negatif oleh masyarakat dan kemudian didengungkan oleh media.

Kejadian ini bukan pertama kalinya terjadi.

Sebelumnya, soal pengenaan PPN pada market place digital. Sifat PMK-nya yang hanya bersifat pengaturan kembali, juga mengalami respons yang sama, yakni respons negatif dari media dan masyarakat.

Sebelumnya lagi, ketika keluar aturan PMK soal Wajib Pajak yang pada saat diperiksa pajak tidak memberikan datanya, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa menetapkan besaran pajak terutang dengan menggunakan penetapan sesuai kewenangan yang dimilikinya sesuai aturan. Hal itu juga direspons sangat negatif oleh media dan masyarakat. Bahkan, dalam kasus ini presiden sampai memanggil dirjen pajak langsung ke istana untuk menjelaskan permasalahan ini.

Pajak memang belum menjadi hal yang populer, tetapi masyarakat tahu pajak bahwa pajak adalah bagian kewajiban mereka dalam hidup bernegara dan berkontrak sosial. Di samping itu juga masyarakat tahu bahwa pajak memberikan manfaat yang secara tidak langsung dirasakan oleh semua warga negara dalam kehidupan nya sehari-hari.

Berbagai manfaat tersebut, sebut saja tentang jalanan yang bagus, listrik yang menyala 24 jam, telekomunikasi bisa on selama 24 jam, pendidikan disubsidi, pasokan bahan bakar terpenuhi dengan merata dan harganya terjangkau, rumah sakit dan pelayanan kesehatan bisa dirasakan semua lapisan masyarakat, pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah bahkan pelosok dirasakan kehadirannya.

Sementara gaji dokter, bidan, perawat, polisi, TNI, guru, dosen, menteri, anggota DPR, juga aparatur sipil negara, semuanya bersumber dari pajaknya rakyat. Bantuan sosial yang massif saat pandemi Covid19 ini juga berasal dari pajaknya rakyat termasuk sebagian dari pembelian vaksin yang diberikan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.

Itu semua hanya sebagian dari manfaat dan penggunaan pajak bagi peradaban manusia. Bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Kembali lagi, kenapa respons dari masyarakat dan media begitu negatifnya terhadap setiap aturan pajak baru yang keluar dari pemerintah? Sekali lagi, meskipun aturan tersebut tidak ada tarif baru, obyek pajak baru, ataupun subyek pajak baru. Aturan tersebut sejatinya hanya regulasi yang mengatur ulang aturan sesuai perkembangan kondisi terkini.

Ini respons ketidakpercayaan pada siapa? Padahal Kemenkeu dipimpin oleh Menteri Keuangan yang reputasi sudah diakui secara global. Setiap bicara di DPR dan saya hadir, Menkeu selalu juga bicara tiga hal yang selalu serangkai, yaitu tata kelola, integritas dan good governance. Tiga hal tersebut menjadi mantra yang jelas arahnya untuk membangun kepercayaan publik. Namun, kenapa ketika mengatur soal aturan pajak responsnya jauh dari rasa dipercaya untuk mendapatkan kepercayaan itu.

Ada ambiguitas apa yang sedang terjadi di masyarakat soal kepercayaan ini? Sehingga masyarakat terkesan mendua soal respons mereka kepada menteri keuangan.

Apakah ini sebuah kegagalan kehumasan, atau kegagalan komunikasi publik, atau memang ini respons nyata yang sebenarnya.

Padahal, dengan adanya momen pandemi Covid19 saat ini, perhatian masyarakat banyak tersita pada berita soal Covid19 dan kebijakan negara yang terkait dengan semua urusan Covid19, mulai dari jumlah orang terinveksi tiap harinya, sampai soal obat dan vaksin Covid19.

Namun, ada sedikit saja lentingan berita soal aturan pajak token listrik dan pulsa telpon, masyarakat seakan dengan cepat teralihkan perhatiannya dari urusan Covid19 dan bergeser ke urusan pajak ini, walaupun pada momen yang bersamaan, ada juga urusan Abu Janda yang sedang dilaporkan.

Finally, ini sebuah ketidakpercayaan masyarakat pada figurnya, atau pada institusinya?

Percaya atau tidak percaya, kejadian ini sedang terjadi.

Ilustrasi gambar : www.freepik.com


2
0
Mukhammad Misbakhun ♥ Associate Writer

Seorang pembelajar kehidupan, yang saat ini diberi amanah menjadi anggota DPR-RI. Sebelum menjadi anggota DPR RI, ia pernah mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Mukhammad Misbakhun ♥ Associate Writer

Mukhammad Misbakhun ♥ Associate Writer

Author

Seorang pembelajar kehidupan, yang saat ini diberi amanah menjadi anggota DPR-RI. Sebelum menjadi anggota DPR RI, ia pernah mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post