Ketidakjujuran Akademik dan Solusi Penanggulangannya

by | Jul 8, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Indonesia peringkat kedua ketidakjujuran akademik di dunia.
Risiko ketidakjujuran akademik dapat terjadi karena kesengajaan maupun ketidaksengajaan.
Kesengajaan dapat dimitigasi dengan sistem yang meningkatkan nilai integritas akademik, sementara risiko “ketidakjujuran akademik” karena
ketidaksengajaan dapat dimitigasi dengan sistem pengecekan kemiripan jurnal
melalui aplikasi pengecekan seperti Turnitin.

Peringkat Kedua Ketidakjujuran Akademik

Vit Machacek dan Martin Srholec menemukan tingkat ketidakjujuran akademik di Indonesia cukup tinggi. Nilainya 16,73 persen dan menduduki peringkat kedua setelah Kazakhstan dari sekitar 20 negara yang ditengarai memiliki kecenderungan ketidakjujuran akademik.

Hal itu terdapat dalam riset bertajuk Predatory Publishing in Scopus: Evidence on Cross-Country Differences yang ditulis oleh peneliti Republik Ceko dan terbit pada 1 November 2022. Riset tersebut saat ini menjadi viral di Indonesia. Tentu ini bukan kabar yang menggembirakan, tetapi justru harus menjadi perhatian kita bersama.

Sebagai seseorang yang menempuh pendidikan hingga S3, saya merasa cukup prihatin dengan kondisi ini. Hal itu mengingat apa yang saya tempuh dulu benar-benar saya usahakan untuk tidak terjebak kepada ketidakjujuran baik sengaja ataupun tidak sengaja.

Dalam lingkungan kantor tempat bekerja saya yang menjunjung tinggi nilai integritas, tentu saya berusaha mengusahakan agar tidak terjebak kepada ketidakjujuran yang sengaja.

Terlebih dalam konteks pendidikan S3 masih tergolong minoritas sehingga kami yang mengejar pendidikan S3 tentu memiliki tanggung jawab untuk menjadi role model dalam hal kejujuran akademik sehingga kami secara sadar berhati-hati untuk tidak terjebak dalam ketidakjujuran akademik secara sengaja.

Masih ada risiko ketidaksengajaan terjebak dalam “ketidakjujuran akademik”. Mengapa ini bisa terjadi? Karena boleh jadi apa yang kita tulis tidak bisa kita pastikan secara pasti hal tersebut tidak juga ditulis oleh pihak lain.

Secara pribadi saya pernah mengalami ketika menulis buku Qur’anic Quotient pada tahun 2003. Ternyata terdapat lebih dari 2 buku yang menulis dengan judul yang sama. Jadi terjadi ketidaksengajaan penulisan judul tersebut yang bisa menimbulkan opini adanya “ketidakjujuran”. Hal ini tidak bisa dihindari begitu saja, namun tentu ada solusinya untuk memitigasi risikonya.

Perlunya Sistem untuk Memitigasi Risiko Ketidakjujuran Akademik

Dengan demikian terdapat dua risiko yang harus kita mitigasi. Pertama, risiko ketidakjujuran akademik yang dilakukan dengan sengaja. Kedua, risiko ketidakjujuran akademik yang dilakukan tidak dengan sengaja.

Untuk risiko ketidakjujuran akademik yang dilakukan dengan sengaja tentu perlu dimitigasi dengan ditumbuhkembangkannya nilai integritas di kalangan akademik. Para profesor di lingkungan akademik perlu menjadi role model nilai integritas akademik tersebut.

Perlu diterapkannya kode etik yang ketat terkait nilai integritas akademik ini dan pelanggaran sekecil apapun tidak boleh ditolerir. Perlu ada hukuman yang berat terhadap pelanggaran integritas di kalangan akademik.

Perlu dipikirkan pencopotan gelar profesor bila terjadi pelanggaran integritas akademik tentu setelah melalui proses persidangan kode etik yang memadai sehingga tidak merugikan “tersangka” pelanggar nilai integritas akademik. Oleh karena itu diperlukan sistem yang terkait penegakan nilai integritas di lingkungan akademik.

Untuk risiko ketidakjujuran akademik yang dilakukan tidak disengaja perlu sistem yang memitigasi risiko “ketidakjujuran akademik” yang terjadi secara tidak sengaja. Penulis pernah mendapati pengalaman saat menempuh S3 di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia yang dapat dikembangkan menjadi sebuah sistem.

Saat itu ketika penulis membuat jurnal, dosen pembimbing penulis menyarankan agar jurnal tersebut dicek kesamaan atau kemiripannya dengan jurnal-jurnal yang telah ada di dunia akademik baik nasional maupun internasional.

Saat itu telah terdapat aplikasi pengecek kemiripan jurnal-jurnal diantaranya aplikasi Turnitin. Pada saat itu cukup sulit bagi penulis mendapatkan akses aplikasi Turnitin namun setelah penuh kesungguhan mencari informasi di sana-sini akhirnya penulis mendapati rekan penulis yang sedang kuliah S2 di Australia ternyata memiliki akses aplikasi Turnitin.

Maka penulis pun meminta tolong agar jurnal yang telah penulis buat dicek melalui aplikasi Turnitin. Saat itu terbukti bahwa jurnal yang penulis susun ternyata memiliki kemiripan hingga melebihi 20%. Tentu ini bukan berasal dari kesengajaan tetapi karena ketidaksengajaan yang penulis tidak sadari.

Hal itu bisa terjadi karena banyaknya manusia boleh jadi
memiliki ide tulisan yang sama.

Karena waktu itu jurnal yang kemiripannya di atas 20% termasuk “dapat dicurigai” terjadi “ketidakjujuran akademik” maka penulis pun berusaha melakukan revisi sehingga jurnal penulis dapat diturunkan tingkat kemiripan dengan jurnal-jurnal lainnya hingga dibawah 20%.

Usaha penulis tidak sia-sia karena akhirnya setelah penulis revisi dan dicek melalui aplikasi Turnitin kembali ternyata tingkat kemiripannya tinggal belasan persen yang artinya memenuhi syarat untuk tidak dicurigai adanya ketidakjujuran akademik. Para pembimbing penulis pun akhirnya menyetujui jurnal yang penulis susun untuk segera dikirimkan ke penerbit jurnal.

Yang menarik adalah ketika kemudian jurnal yang telah penulis revisi tersebut penulis kirimkan ke jurnal internasional, ternyata dalam waktu yang cepat penulis mendapatkan kabar bahwa jurnal tersebut diterima untuk diterbitkan.

Penerbit jurnal internasional tersebut menyertakan salah satu alasan mengapa jurnal penulis diterima adalah karena berdasarkan penelitian mereka menggunakan aplikasi yang mendeteksi kemiripan jurnal ternyata jurnal penulis memiliki kemiripan belasan persen saja yang artinya memenuhi standar mereka untuk diterbitkan.

Dengan demikian pada dasarnya penerbit jurnal internasional tersebut telah memitigasi bahwa setidak-tidaknya jurnal-jurnal yang mereka terbitkan memiliki tingkat kemiripan yang sangat rendah (di bawah 20%) sehingga dapat dipastikan jurnal-jurnal tersebut bukan hasil plagiasi atau hasil dari ketidakjujuran akademik.

Berdasarkan pengalaman penulis, maka semestinya hal ini bisa menjadi pondasi sistem untuk mendeteksi risiko “ketidakjujuran akademik” yang tidak disengaja. Dalam pengecekan jurnal perlu dirancang sistem berupa keharusan pengecekan jurnal sebelum dikirim ke penerbit jurnal melalui aplikasi pengecekan kemiripan seperti aplikasi Turnitin.

Pada kasus yang penulis alami, pengecekan jurnal baru berupa inisiatif dosen pembimbing penulis dan bukan berasal dari tata kelola penulisan dan pengiriman jurnal ke penerbit. Bila waktu itu tidak ada saran dari dosen pembimbing, tentu penulis belum tentu melakukan pengecekan melalui aplikasi pengecekan kemiripan jurnal.

Oleh karena itu menurut penulis hal tersebut perlu dijadikan sistem dalam proses penulisan dan pengiriman jurnal ke penerbit.

Bukankah pengecekan kemiripan jurnal ini dilakukan oleh penerbit jurnal? Berdasarkan pengalaman yang penulis alami, terdapat penerbit jurnal yang melalukan pengecekan kemiripan jurnal dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan yang penulis lakukan.

Namun demikian, waktu itu penulis mengirim jurnal lain ke penerbit yang berbeda namun meskipun diterima untuk diterbitkan tetapi penulis tidak dikirimkan bukti adanya pengecekan kemiripan jurnal melalui aplikasi yang digunakan oleh penerbit jurnal tersebut.

Artinya tidak dapat dipastikan bahwa setiap penerbit jurnal melakukan pengecekan melalui aplikasi pengecek kemiripan jurnal. Oleh karena itu, pengecekan kemiripan jurnal melalui aplikasi seperti aplikasi Turnitin perlu dijadikan sebagai bagian dari sistem mutu jurnal di perguruan tinggi yang sedang memproses para mahasiswanya dalam menulis dan mengirimkan jurnalnya.

Dengan demikian bila penerbit jurnal tidak melalukan pengecekan kemiripan jurnal, perguruan tinggi telah memiliki kontribusi dalam memitigasi risiko “ketidakjujuran akademik” yang diakibatkan oleh ketidaksengajaan para mahasiswanya.

Perlunya Dukungan Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan nasional perlu memberikan dukungan terhadap upaya memitigasi risiko ketidakjujuran akademik baik yang terjadi secara sengaja maupun yang tidak sengaja.

Salah satu di antaranya adalah dengan meningkatkan nilai integritas nasional. Perlu dikaji kembali kiranya nilai integritas menjadi perhatian lebih sehingga perlu mendapatkan porsi dominan dalam core values ASN yang saat ini dalam bentuk BerAKHLAK.

Penulis mengusulkan agar dapat dimodifikasi core values ini menjadi i-BerAKHLAK di mana terdapat tambahan i di depan yang berarti nilai Integritas. Selain itu, Kepemimpinan Nasional dapat mendorong terwujudnya sistem peningkatan nilai integritas di lingkungan akademik dan sistem pengecekan kemiripan jurnal sebelum dikirim ke penerbit.

Dengan adanya dukungan Kepemimpinan Nasional sebagaimana yang telah saya usulkan di atas, kita dapat berharap Indonesia tidak lagi menduduki peringkat kedua ketidakjujuran akademik.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan Indonesia keluar dari 20 negara yang ditengarai memiliki masalah ketidakjujuran akademik. Dengan demikian harapan Indonesia Emas di Tahun 2045 dapat menjadi nyata.

0
0
Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Dedhi Suharto ◆ Professional Writer

Author

Inspektur pada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang fokus pada internal control dan risk management serta memiliki hobi menulis novel.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post