
Pendahuluan: Dari Janji ke Aksi Nyata
Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) ke-30 yang akan diselenggarakan di Belém do Pará, Brasil, pada 10–21 November 2025, menjadi momentum penting bagi dunia untuk mengevaluasi sejauh mana komitmen Paris Agreement telah diterjemahkan menjadi tindakan konkret.
Bagi Indonesia, COP 30 bukan sekadar forum diplomatik, melainkan panggung strategis untuk menunjukkan konsistensi dan kredibilitas aksi iklim yang telah dilakukan di tingkat nasional, subnasional, hingga akar rumput.
Sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim, namun juga menyimpan potensi besar untuk menjadi model solusi global.
Komitmen Indonesia dalam Agenda Iklim Dunia
Dalam arahannya, Menteri Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya menyampaikan janji, tetapi menampilkan bukti konkret pengendalian perubahan iklim yang dilakukan secara sistemik, terukur, dan berbasis pembangunan berkelanjutan.
Indonesia telah menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca
sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030,
serta berkomitmen menuju Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Komitmen ini diwujudkan melalui pendekatan lintas sektor dalam kerangka FoLU Net Sink 2030 (Forestry and Other Land Use), di mana sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi tulang punggung pengendalian emisi nasional.
Di saat yang sama, sektor energi, industri, dan limbah diarahkan menuju transisi rendah karbon melalui kebijakan dan instrumen pendanaan inovatif.
Urgensi dan Tema Global COP 30
Presidensi Brasil menetapkan COP 30 sebagai “The COP of the Forests and the People”, yang menekankan tiga fokus utama:
- Implementasi nyata hasil Global Stocktake;
- Inklusi sosial dan keadilan iklim dalam kebijakan global; dan
- Inovasi pendanaan dan teknologi hijau.
Tema ini sejalan dengan semangat Indonesia yang menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai pusat solusi iklim. Indonesia dan Brasil memiliki peran serupa sebagai penjaga paru-paru dunia serta pelopor pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat.
Namun, berbagai laporan menunjukkan bahwa persiapan infrastruktur di Belém masih menghadapi kendala, mulai dari keterlambatan pembangunan hingga biaya akomodasi yang meningkat.
Situasi ini menuntut Indonesia untuk melakukan perencanaan logistik dan koordinasi diplomasi yang matang agar delegasi dapat tampil optimal di forum global tersebut.
Peran Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim
Di tingkat kelembagaan, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup memegang peran penting dalam memastikan kesiapan substansi dan diplomasi nasional. Fokus utamanya mencakup:
- Penguatan sistem inventarisasi emisi nasional;
- Peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak iklim; dan
- Optimalisasi pendanaan serta teknologi rendah karbon.
Deputi ini juga berkoordinasi erat dengan Kementerian Luar Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan, dan pemerintah daerah untuk memastikan posisi nasional Indonesia konsisten dan berbasis data ilmiah.
Melalui unit teknis seperti Direktorat Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Perubahan Iklim, Indonesia memperkuat kerja sama internasional lewat program Capacity Building Initiative for Transparency (CBIT), pengembangan pipeline proyek hijau yang bankable, serta transfer teknologi rendah karbon.
Mobilisasi sumber daya bukan hanya mencari dana, tetapi membangun ekosistem kerja sama yang memperkuat kapasitas nasional untuk beraksi.
Inovasi sebagai Pilar Utama Aksi Iklim
Untuk memastikan aksi mitigasi dan adaptasi berjalan efektif, Indonesia menempatkan tiga inovasi utama sebagai penopang kebijakan iklim nasional.
- Pertama, inovasi sumber daya manusia (SDM).
Peningkatan kapasitas birokrat, akademisi, pelaku usaha, dan komunitas lokal menjadi prioritas. SDM unggul dan berwawasan hijau adalah pondasi utama agar kebijakan tidak berhenti di atas kertas, melainkan tumbuh menjadi gerakan nyata di lapangan.
- Kedua, inovasi sosial.
Partisipasi masyarakat, kearifan lokal, dan gotong royong menjadi kunci adaptasi. Program seperti perhutanan sosial, desa iklim, dan ekonomi sirkular membuktikan bahwa masyarakat mampu menjadi pelaku utama transformasi menuju keberlanjutan.
- Ketiga, inovasi teknologi.
Digitalisasi data iklim, sistem pemantauan berbasis spasial, serta pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) menjadi instrumen penting untuk memastikan transparansi dan efektivitas aksi iklim.
Ketiga bentuk inovasi ini SDM, sosial, dan teknologi merupakan pilar yang harus diperkuat secara sinergis agar aksi iklim Indonesia tidak hanya berorientasi pada penurunan emisi, tetapi juga mendorong transformasi sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
Tantangan dan Strategi Antisipasi
Tantangan terbesar dalam persiapan menuju COP 30 adalah menjaga sinkronisasi kebijakan lintas sektor agar target emisi nasional sejalan dengan arah pembangunan.
Keterbatasan kapasitas di tingkat daerah dalam pelaporan data (MRV) masih menjadi kendala, sehingga integrasi sistem digital berbasis spasial dan open data perlu diperkuat.
Selain itu, akses terhadap pendanaan iklim internasional masih menghadapi hambatan administratif dan teknis. Oleh karena itu, Indonesia perlu terus memperluas kemitraan dalam kerangka Article 6 Paris Agreement dan mendorong mekanisme blended finance yang melibatkan sektor swasta.
Dari sisi komunikasi global, narasi positif tentang keberhasilan Indonesia harus lebih digencarkan agar dunia melihat bahwa negeri ini bukan hanya penerima dampak, melainkan pemimpin solusi iklim.
Strategi Kunci Menuju COP 30
Dalam kerangka persiapan nasional, terdapat lima langkah strategis yang saat ini dijalankan:
- Menyusun Roadmap Diplomasi Iklim 2025, yang menjadi panduan utama posisi Indonesia di Belém;
- Menampilkan Proyek Inovatif Nasional di Paviliun Indonesia, mencakup aksi daerah, energi bersih, dan restorasi ekosistem;
- Memperkuat Aliansi Global South, untuk memperjuangkan keadilan pendanaan dan akses teknologi bagi negara berkembang;
- Mengembangkan SDM Diplomasi Hijau, melalui pelatihan negosiasi dan komunikasi strategis;
- Mendorong Aksi Nyata di Dalam Negeri, agar transisi menuju ekonomi hijau menjadi tanggung jawab kolektif bangsa.
Menatap Belém: Indonesia sebagai Pemimpin Solusi
Kini Indonesia sedang memfinalisasi agenda negosiasi yang akan dibawa ke COP 30, dengan fokus pada pembiayaan iklim, transfer teknologi, dan pengakuan praktik baik nasional.
Seperti disampaikan oleh Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono: “Kita tidak lagi sekadar mengejar target, tetapi memastikan bahwa kebijakan nasional benar-benar menyatu dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan keadilan iklim.”
COP 30 akan menjadi ajang pembuktian bahwa Indonesia mampu memimpin dengan memberi teladan, bukan hanya melalui diplomasi di ruang sidang, tetapi melalui aksi nyata di lapangan yang berpihak pada manusia dan bumi.
Sebagaimana pesan almarhum Ir. Sarwono Kusumaatmadja, tokoh lingkungan dan negarawan Indonesia : “Keberlanjutan adalah perjuangan kemanusiaan. Menyelamatkan bumi berarti menyelamatkan masa depan bangsa.”
Dengan semangat gotong royong dan inovasi di bidang SDM, sosial, dan teknologi, Indonesia siap melangkah menuju Belém, membawa bukti nyata kepemimpinan moral dan strategis di era krisis iklim global.
Pantun untuk COP 30 di Belém, Brasil
Pergi ke hutan memetik gaharu,
Rimbun menghijau bumi pertiwi.
Dari Belém dunia bersatu,
Indonesia tampil pemimpin aksi!
Ombak Amazon berdebur lembut,
Menyapa dunia di kala pagi.
COP Tiga Puluh menjadi debut,
Saatnya hijaukan bumi bersama negeri!














0 Comments