
Bayangkan, Anda seorang ASN yang bertugas di wilayah pelosok dengan pekerjaan seabrek, laporan menumpuk dan sinyal wifi yang Senin-Kamis. Namun tiba-tiba, banyak headline media nasional memberitakan bahwa ASN dianjurkan bekerja secerdas dan sekolaboratif Raffi Ahmad.
Saya pastikan Anda (harusnya) tidak salah mendengar. Ya, secerdas dan sekolaboratif Raffi Ahmad.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh ibunda Rini Widyastuti selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dalam acara Selasa Sharing yang berlangsung pada 17 Juni 2025 lalu.
Kedengarannya inovatif dan membuat semangat.
Namun, di balik euforia tersebut terdapat meja pelayanan dengan tumpukan dokumen, sistem yang lamban, aturan yang saling silang, serta birokrasi yang kadang lebih ruwet daripada sinetron panjang.
Satu keputusan kadang butuh lima tanda tangan, tiga surat pengantar, dan dua kali rapat koordinasi yang tak kunjung selesai.
Maka, ketika dibilang “Raffi Ahmad sebagai role mode ASN masa kini”, saya sebagai ASN masa kini bersama juga ASN masa lalu agaknya hanya bisa tertawa kecil sambil menunggu sinyal aplikasi e-kinerja yang sedang buffering.
Dalam penyampaiannya, ASN masa kini harus meniru semangat kerja cerdas dan kolaboratif ala Raffi Ahmad yang memang memiliki kemampuan luar biasa dalam interaksi publik.
Mungkin maksudnya baik, namun seperti menyarankan petani sawit meniru cara selebgram menata monstera. Semangatnya sama-sama hijau, tapi medianya berbeda.
Sekilas Teori Weber, Birokrasi Sejati
Menurut Max Weber, ASN atau birokrat sejati haruslah menjalankan tugas secara impersonal, berbasis aturan, dan meritokratis.
- Impersonal artinya ASN harus bekerja tidak berdasarkan perasaan, hubungan personal, atau popularitas. Kerja cerdas dalam konteks ini berarti membuat keputusan berdasarkan data dan prosedur, bukan selera atasan atau tekanan publik.
- Selanjutnya kami ASN wajib mengikuti SOP, regulasi, dan alur kerja yang sudah ditetapkan kerja cerdas bukan berarti melompati aturan demi hasil cepat, tapi memahami aturan agar bisa mencari celah efisiensi tanpa melanggar prinsip. Di sinilah kreativitas ASN diuji bukan dengan menjadi viral, tapi dengan memotong birokrasi lewat solusi sah.
- Selain itu, posisi ASN diperoleh dan dijalani berdasarkan kemampuan atau yang dikenal dengan meritokrasi, bukan karena ketenaran atau citra media. Kerja cerdas adalah saat ASN meningkatkan kapasitasnya pelatihan, digitalisasi, pemecahan masalah bukan sekadar menaikkan eksistensi di publik.
Jika kita gunakan beberapa tolak ukur di atas, saya kira bapak Raffi Ahmad jelas tidak masuk dalam kotak. Mengingat beliau tidak pernah ikut tes CPNS yang harus melalui pola rekrutmen bertingkat tanpa hubungan personal, tidak terlibat dalam rantai pelayanan publik seperti pengisian e-kinerja, laporan SAKIP, atau pengelolaan keluhan melalui kanal resmi.
ASN yang baik harus tanggap, responsif, dan terpercaya. Raffi mungkin unggul di branding personal. Tapi bagaimana dengan keandalan dalam mengurus izin mendirikan bangunan di desa?
Atau mengurus akta kelahiran tanpa bikin warga lima kali bolak-balik karena “Sinyalnya lemot, Pak!” Jika ASN adalah pelayanan publik, maka keidealan bukan pada viralitas, tapi pada validitas.
ASN Adalah “Abdan Abdiyya”, Bukan Sekadar Simbol
ASN adalah struktur kerja, bukan struktur perasaan. Ia digaji negara, dikontrol lewat regulasi, dan dibentuk lewat sistem merit. Barangkali saya dapat meminjam konsep spiritual, mengenai kerja cerdas ASN dari istilah “Abdan-Abdiyya” yaitu hamba yang menghamba, pelayan yang melayani.
“Abdan” digambarkan bahwa secara struktural ASN tunduk pada aturan dan sistem. Sementara “Abdiyya” menggambarkan ketaatan yang disertai kesadaran penuh, cinta, dan keikhlasan dalam menjalani peran tersebut.
Artinya, kerja cerdas bukan hanya soal efisiensi,
tapi juga keikhlasan menjalani peran sebagai pelayan publik,
bukan pencari panggung.
Di desa-desa, kerja cerdas ASN bisa terhambat oleh minimnya infrastruktur, beban administratif yang tak sebanding dengan jumlah personel, serta budaya birokrasi yang masih feodalistik.
Kadang ASN desa lebih sibuk mengisi aplikasi berlapis daripada menyapa warga yang menunggu pelayanan.
Maka, menyandingkan kerja ASN dengan standar ideal Raffi Ahmad yang punya kru, manajer, bahkan editor video, kadang terasa seperti membandingkan sepeda onthel dengan motor sport.
Sama-sama alat transportasi, tapi medan dan kecepatannya beda.
Penutup
Panggung ASN adalah ruang tunggu puskesmas, kantor kecamatan, ruang kelas, pos pelayanan desa. Mereka tidak hidup dari sorotan kamera, tapi dari lampu neon 15 watt dan layar komputer Pentium tua. ASN tidak butuh jadi viral. Mereka butuh jadi dipercaya.
Kalau mau contoh ASN ideal, carilah dari mereka yang bekerja meski tidak terlihat, yang hadir meski tidak disebut. Raffi Ahmad? Dia mungkin bisa menginspirasi sebagai warga negara aktif. Tapi sebagai simbol ASN? Rasanya kita sedang menyeduh kopi dengan naskah sinetron. Wangi, tapi hambar di akuntabilitas.
0 Comments