Salah satu siksaan terberat yang harus dihadapi oleh ASN yang menjunjung tinggi kompetensi adalah mengetahui rekan kerja yang tidak cakap tiba-tiba mendapatkan promosi dan kenaikan dalam karirnya.
Saya tentu tidak sedang berbicara bagaimana pegawai yang tidak cakap itu mendapatkan keberuntungan, seperti bertubi-tubinya keberuntungan mendatangi Forest Gump, atau pendekatan apa yang telah dilakukannya hingga karirnya naik mendadak seperti mendadaknya Timnas Indonesia bisa masuk Piala Dunia.
Saya sedang berbicara tentang bagaimana pegawai yang tidak cakap tersebut diuntungkan oleh spoil system, sebuah sistem yang tidak menaruh perhatian kepada mutu dan kualitas tetapi lebih kepada afiliasi dan dominasi kepentingan politik, ras atau kesukuan di dalam birokrasi.
Sistem ini telah membudaya dan menjadi kesadaran semu, sehingga PNS, dalam konteks pengembangan karir, cenderung menerima karirnya seperti roller coaster – kadang di atas dan kadang di bawah. Hanya saja, roller coaster itu bergerak dengan acak dan misterius.
Padahal, dalam UU ASN terbaru (UU No.5 Tahun 2014), telah dinyatakan bahwa kompetensi dan kinerja pegawai adalah faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam mekanisme jenjang karirnya.
Belum lagi telah muncul Peraturan Pemerintah (PP) terbaru, yakni PP No. 30 tahun 2019, yang mengatur tentang mekanisme pengukuran kinerja pegawai yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan pegawai mana yang layak untuk promosi dan mana yang mesti mendapatkan bimbingan lebih lanjut.
Kemisteriusan Spoil System
Namun sepertinya, aturan berupa UU maupun PP di atas belumlah diindahkan oleh sebagian besar pemangku kebijakan kepegawaian di birokrasi. Rasionalitasnya masih mengikuti rasionalitas spoil system yang misterius.
Karena kemisteriusan itu sudah mewujud dalam kesadaran semu, saya selalu tergoda untuk membayangkan beberapa pertanyaan, semisal, “Sampai kapankah kira-kira spoil system ini bertahan dan terus saja diterapkan di tengah kondisi peradaban yang disruptif oleh teknologi ini?”
Tidak perlukah sistem lama ini, kalau begitu, diganti secara radikal dengan sistem merit yang terbukti lebih compatible dengan ASN 4.0 alias ASN Milenial, seperti yang telah terbukti berhasil merubah birokrasi negara tetangga seperti Singapura? Atau jangan-jangan spoil system ini hanya bisa dilenyapkan oleh kecerdasan buatan di masa mendatang?
Baiklah, mungkin saya berhalusinasi membenturkan ASN dengan kecerdasan buatan. Namun, sepertinya saya tidak muluk-muluk ketika mengatakan bahwa sudah saatnya sistem merit diberlakukan dengan radikal bagi ASN milenial.
Radikal yang saya maksud di sini adalah melebihi sebatas pola perekrutan ASN yang saat ini sudah dilaksanakan dengan transparan dan menggunakan teknologi Computer Assisted Test (CAT).
Apa itu Sistem Merit?
Secara teori, merit system atau sistem merit adalah sistem yang menerapkan kebijakan manajemen sumber daya manusia (SDM) aparatur yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.
Adil dan wajar berarti tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur ataupun kondisi kecacatan.
Artinya, selain menerapkan pola perekrutan yang transparan berbasis teknologi, diterapkan juga pola pengembangan kompetensi, pengembangan karir, pengembangan kinerja, hingga peningkatan kesejahteraan ASN yang lebih canggih, adil dan juga layak.
Kenapa Terobsesi Dengan Sistem Merit?
Mungkin ini terdengar sedikit personal. Sepuluh tahun yang lalu saya diterima menjadi PNS hanya untuk dirundung oleh teman baik saya. Dia memiliki pendapat yang sama dengan Medrial Alamsyah, Direktur Study for Indonesia Government Indepth (SIGI) sekaligus pengamat birokrasi Indonesia.
Medrial Alamsyah mengatakan di dalam wawancaranya dengan vice.com, bahwa setidaknya ada tiga hal yang membuat anak muda terobsesi untuk menjadi ASN.
Pertama, persoalan feodalisme yang menganggap bahwa jadi PNS adalah kelompok elit yang dihargai orang. Kedua, beban PNS itu tidak terlalu berat karena hanya datang tiap hari ke tempat kerja dan dapat gaji. Ketiga, karena sudah terbiasa dengan sistem feudal yang hirarkis maka mereka hanya menerima titah dari institusi.
Tidak ada satu orang pun yang bisa menyangkal argumentasi tersebut, sebelum akhirnya saya menemukan konteks yang berbeda dari alasan junior-junior saya yang diterima sebagai CPNS baru-baru ini.
Mereka ternyata memiliki standar yang sangat tinggi. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakan, merekalah generasi terbaik dari perekrutan CPNS yang pernah ada.
Alasan mereka menjadi CPNS beragam dan menarik. Ada penggemar konspirasi yang menyebut bahwa mereka ingin menjadi bagian dari arus perubahan dan melawan tangan-tangan tidak kelihatan yang menginginkan pemerintah terus lemah dan tidak kredibel.
Ada yang hobinya sekolah, sehingga terobsesi melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (karena memang peluang untuk mendaatkan beasiswa lebih tinggi ketika menjadi PNS). Namun, tidak sedikit yang pragmatis yang menginginkan karir yang pasti. Semua alasan mereka sangat jelas dan konkrit.
Bagaimana Sebaiknya?
Terhadap alasan-alasan tersebutlah perekrutan yang transparan dan berstandar tinggi menjadi bernilai besar, sehingga talenta yang ditemukan adalah talenta-talenta yang kreatif, imajinatif, handal dan tangguh. Kriteria semacam ini siap untuk bersaing dengan peradaban yang serba disruptif ini.
Akan tetapi, perekrutan yang canggih bukanlah usaha satu-satunya. Masih banyak terdapat pintu-pintu lainnya yang juga butuh diperbaiki sistem ‘buka tutupnya’.
Setelah dimulai dengan perekrutan yang bagus, misalnya, instansi pemerintah harus serius membangun sistem pengembangan karier yang kompetitif. Yang dibutuhkan oleh para ASN Milenial adalah Sistem Pola Karir yang jelas, bukan misterius.
ASN milenial seharusnya telah diberi pilihan karir yang bisa ditempatinya jika mereka berprestasi dan berkinerja tinggi, bahkan sejak pertama masuk kantor.
Selain Pola Karir, ASN Milenial juga sangat membutuhkan pengembangan kompetensi yang berkelanjutan, penilaian kinerja yang objektif, hingga penghargaan dan peningkatan kesejahteraan yang layak.
ASN milenial butuh itu semua. Karakter mereka yang kreatif, penuh percaya diri, dan suka menantang diri mereka sendiri untuk berkembang, hanya akan menjadi sia-sia jika semua itu dihadapkan dengan cara -cara lama, melalui spoil system tadi.
Cara-cara pengembangan karir yang berdasarkan “jauh dekat”, atau pengembangan kompetensi berdasarkan “suka atau tidak suka” hanya akan membuat mereka tersiksa dan kehilangan akal sehat.
Siapa saja akan rentan menjadi frustasi jika anda yang berprestasi tetapi teman anda yang tidak pernah kelihatan hasil kerjanya tiba-tiba saja promosi hanya karena dia memiliki kerabat di level pimpinan tinggi.
Percayalah, cara ini hanya akan membuat ASN milenial ini lebih suka menghadapkan mukanya ke tembok dan berfikir bagaimana cara mengahantamkannya seketika.
Lalu Pemerintah dengan tidak sadar telah menghancurkan talenta-talenta bagus itu dan gagal mewujudkan visinya menjadi birokrasi berkelas dunia pada tahun 2025. Pada masa mendatang, kemampuan dari mengelola talenta-talenta handal dan tangguh adalah pembeda apakah birokrasi itu berdaya saing atau tidak.
Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bima Haria Wibisana, Kepala BKN, ketika menjadi keynote speaker pada acara kepegawaian yang sempat saya ikuti. Beliau mengatakan, “Mulai sekarang berinvestasilah kepada pegawai yang tepat dengan jumlah yang tepat.”
Saya yakin beliau sedang berbicara tentang human capital. Karenanya, percepatan penerapan system merit yang serius dan radikal adalah pilihan yang paling masuk akal saat ini untuk mewujudkannya.
Epilog
Birokrasi yang dipercaya oleh masyarakat, pada akhirnya, adalah birokrasi yang memiliki kredibilitas. Dan, kunci utama dari kredibiltas adalah kompetensi.
Tidak ada yang dapat menggantikan kompetensi. Hanya kompetensi yang membuat seorang ASN benar-benar dapat melakukan pekerjaannya dengan benar dan dengan cara yang tepat.
Jadi, jika ASN memang kesulitan untuk membuat dirinya kompeten, maka mungkin ada benarnya gagasan Presiden, yang mengatakan, “Sudah saatnya kecerdasan buatan menunjukan dirinya kepada masyarakat, tentang bagaimana caranya menjalankan birokrasi.”
*Tulisan ini adalah modifikasi dari tulisan penulis sebelumnya, yang tayang di klikpositif.com, pada tanggal 17 April 2020, dengan judul “Kenapa ASN Milenial Butuh Sistem Merit”.
0 Comments