
Langit Jumat sore itu berwarna tembaga ketika pesawat yang kutumpangi meninggalkan Jakarta. Tujuannya Jogja, tanah yang selalu menyambut dengan kehangatan tulus dan keagungan budayanya.
Malamnya, bersama dengan Komunitas Elettrico Riding Club, aku berdiri di antara kerumunan para Rimbawan (panggilan untuk alumni Fakultas Kehutanan UGM) di Bulaksumur, menonton Slank dalam gelaran Kumpul Rimbawan.
Di tengah lautan manusia yang bernyanyi bersama, aku menangkap satu pesan sederhana namun dalam bahwa ”energi sejati tumbuh dari kebersamaan tanpa jarak, tanpa sekat kehormatan”, saat pejabat eselon I dan staff bahkan ada beberapa alumni yang berprofesi sebagai petani bergabung dan bergembira bersama.
Bekerja dalam Diam
Keesokan paginya, kami bergerak menuju pesisir selatan, ke Mangrove Baros. Angin laut membawa aroma asin yang khas setelah menaiki perahu warga menuju lokasi tanam, kami menanam batang-batang muda mangrove di lumpur yang hangat. Kegiatan itu tampak sederhana, namun sarat makna.

Akar-akar kecil itu seketika mengingatkan saya pada filosofi birokrasi yang seharusnya, bekerja dalam diam, menopang kehidupan, menahan gelombang, dan menjadi tempat tumbuhnya ekosistem kepercayaan masyarakat.

Usai menanam, kami duduk melingkar bersama para pemuda pesisir. Sambil menikmati makan siang sederhana, obrolan mengalir ringan. Mereka berbagi cerita menjaga alam di tengah keterbatasan, sementara kami berbagi pandangan tentang bagaimana pengelolaan bisnis yang baik untuk mereka, juga tentang negara bisa hadir dengan cara yang lebih hangat.
Tak ada podium, tak ada struktur bicara. Semua duduk sejajar melingkar, saling mendengar. Di situ aku belajar, bahwa ilmu bukan sesuatu yang diturunkan dari atas, melainkan sesuatu yang tumbuh dari bawah, seperti akar mangrove yang saling kait dan saling kuatkan.
Di sela diskusi itu, hadir Pak Zainal, Direktur Mangrove for Coastal Resilience (M4CR). Beliau memberi teladan tentang kepemimpinan yang menyejukkan, tanpa jarak, tanpa formalitas yang kaku. Ia berbicara lembut tapi penuh isi, menuntun tanpa memerintah.
Yang paling berkesan, Pak Zainal tidak hanya datang untuk memberi arahan, tetapi juga untuk mendengar, ikut berdiskusi dengan anak-anak muda pesisir tentang mimpi mereka menjaga lingkungan.
Di situlah aku melihat kepemimpinan yang sesungguhnya, bukan tentang seberapa tinggi posisi, melainkan seberapa dalam empati.
Menyemai Keteladanan
Sore itu kami melanjutkan perjalanan menuju Parangtritis. Senja turun perlahan, menumpahkan cahaya keemasan di bibir ombak. Semua diam, hanya debur air yang berbicara. Dalam diam itu aku sadar, laut pun mengajarkan kepemimpinan, luas tapi rendah, kuat tapi menenangkan. Pemimpin sejati seperti laut, tidak menenggelamkan, ia merangkul.
Hari berikutnya, kami riding dari Geblek Pari di Nanggulan menuju Borobudur, lalu singgah di Melek Baca, sebuah ruang kecil yang menyalakan semangat literasi. Di sanalah aku kembali merenungi dua sosok inspiratif dari Elders Company, Heret Frastio dan Richard Andrea.
Heret, fotografer yang membidani lahirnya Elders,
menghadirkan gaya kepemimpinan yang cair dan egaliter. Di kantornya, tak ada tembok pemisah antara atasan dan staf. Semua berbaur, bekerja, bercanda, dan tumbuh bersama. Ia memimpin bukan dari atas, melainkan dari tengah.
Dalam setiap kekacauan kecil di lapangan, ia tak pernah meninggikan suara, ia memilih menenangkan, bukan menegur. Keteladanannya bukan dari kata-kata, tapi dari sikap yang mengundang hormat tanpa harus meminta.
Begitu pula Richard (kami memanggilnya atau Icadodod) yang dengan ketenangan dan senyum hangatnya, mampu menjaga ritme seluruh perjalanan. Dalam setiap keputusan, ia menimbang dengan hati.
Dalam setiap masalah, ia mencari cara, bukan kambing hitam, sangat jelas ketika waktu sudah sangat terbatas untuk menuju bandara, icadodod tidak menyalahkan kami yang tidak segera bergerak, namun meminta dengan sopan dan mengingatkan untuk segera bergerak dengan santun.
Dari ketiganya, Heret, Icad, dan Pak Zainal, aku belajar bahwa kepemimpinan bukan tentang jarak, tapi tentang kehadiran, bukan tentang perintah dan bentakan, tapi tentang teladan.

Menghilangkan Sekat Formalitas
Refleksi perjalanan ini mengingatkan saya pada adagium klasik dari Peter Drucker: “They’re not employees, they’re people.”
Dalam konteks birokrasi, jargon ini menjadi pengingat yang menohok. Kita terlalu sering terjebak dalam memandang rekan kerja sebatas jabatan fungsional, pangkat, atau nomor identitas pegawai.
Kita lupa bahwa di balik seragam dan tumpukan target kinerja, ada manusia utuh dengan harapan, kelelahan, dan kehidupannya. Kepemimpinan sejati, seperti yang saya lihat pada sosok Heret, Icadodod dan Pak Zainal, adalah kemampuan untuk menembus sekat-sekat formalitas itu dan memimpin ”manusia”nya, bukan sekadar ”pegawai”nya.
Bukankah ini juga semangat reformasi birokrasi yang kita junjung? Bahwa ASN adalah pelayan, bukan penguasa. Pemimpin adalah pengayom, bukan sekadar pengarah. Kita sering sibuk menjaga wibawa, tapi lupa menjaga hubungan. Padahal, kehormatan sejati tumbuh dari keikhlasan untuk menunduk, bukan dari kerasnya nada.
Birokrasi yang ideal seharusnya seperti hutan mangrove, lentur tapi kokoh, terhubung tapi tidak tumpang tindih. Ia hidup karena gotong royong, bukan karena hierarki, ia melindungi, bukan membatasi.
Perjalanan ke Baros membuatku sadar, ASN pun perlu belajar menjadi ‘cair’. Hormat tetap dijaga, tapi jarak tak perlu dibiarkan tumbuh. Karena pelayanan publik sejatinya bukan soal prosedur, melainkan soal rasa. Dan kepemimpinan yang benar bukan tentang siapa yang ditakuti, melainkan siapa yang dipercaya.

Ketika matahari tenggelam di Parangtritis, aku menatap ombak yang terus datang tanpa henti. Di situ aku tahu, pekerjaan ini, mengabdi sebagai ASN, bukan sekadar rutinitas. Ini adalah panggilan untuk menjaga kehidupan agar terus berdenyut.
Dan seperti ombak laut yang tak pernah berhenti berdebur, demikian pula pengabdian harus terus berjalan, rendah, lembut, tapi pasti memberi arti.
Kepemimpinan sejati, seperti laut, tidak butuh tinggi untuk berarti. Ia cukup hadir menenangkan, menghidupkan, dan memberi harapan.














Kereen