Sebagai seseorang yang bergelut di dunia tulis-menulis dan pekerjaan berbasis pengetahuan, tentu saja saya pernah mengalami kendala dalam mengolah kreativitas. Rintangan tersebut biasanya terbagi menjadi dua hal: bagaimana menulis dengan gaya yang pas dan bagaimana mengalirkan ide-ide dari kepala ke dalam kertas (atau layar).
White Paper Syndrome
Ketika berbicara soal kesulitan menuangkan ide di awal menulis, istilah “white paper syndrome” atau sindrom kertas putih kerap muncul.
Istilah ini menggambarkan bagaimana para penulis terkadang merasa terintimidasi oleh putihnya warna kertas atau layar, seolah-olah mereka takut mencoretnya (meski terkadang kita tahu itu cuma lebay).
Nah, solusi unik yang pernah saya dengar untuk mengatasi sindrom ini adalah menulis di kertas bergaris, kotak-kotak, atau bahkan kertas polos, apa saja asalkan bukan putih.
Meskipun saya tidak yakin seberapa efektif cara ini, tapi sejak dulu saya memang menghindari buku catatan putih polos. Lumayanlah buat mengusir sindrom “takut kertas” ini!
Kesulitan selanjutnya adalah mencari gaya menulis yang cocok. Saya pernah membaca buku berjudul “The Element of Style” karya William Strunk Jr. Buku itu lumayan membantu saya mengasah kemampuan menulis dalam bahasa Inggris.
Akan tetapi, soal Bahasa Indonesia, kadang ada nuansa dan esensi yang kadang tidak ter-capture, begitu juga sebaliknya (tampak kan, saya sengaja tidak menerjemahkan kata “capture” tadi…).
AI dalam penulisan
Kemunculan AI sebagai alat bantu menulis akhir-akhir ini, selain membuat akademisi dan penulis (kecuali saya, tentu saja) ketar-ketir, juga hadir dalam menawarkan solusi memecahkan dua persoalan dalam menulis sebagaimana saya sebutkan tadi.
Alat bantu menulis berbasis AI sebenarnya bukanlah hal baru. Sebelum merebaknya popularitas ChatGPT di mata publik, kita mungkin pernah mendengar tentang atau mengenal Grammarly, tools untuk membantu memperbaiki struktur penulisan.
Tools tersebut, pada awal masanya naik popularitas, mengundang reaksi yang beragam dari publik. Sebagai emerging technology, skeptisme mewarnai desas-desus terkait Grammarly.
Orang-orang mempertanyakan, bagaimana Grammarly dapat benar-benar memahami kompleks dan kayanya Bahasa Inggris? Apakah suggestions yang diberikan benar-benar tepat?
Selain itu, sebagaimana layanan berbasis teknologi online saat ini, isu privasi sangat gencar dibicarakan. Publik merasa khawatir jika informasi sensitif yang terkandung dalam tulisan mereka mungkin disimpan dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian muncul Hemingway, tools yang dibuat untuk membantu memperbaiki penulisan dengan berfokus pada bagaimana membuat tulisan ringkas dan jelas.
Tools ini pada awal popularitasnya, disambut dengan meriah oleh publik, terutama orang-orang yang berprofesi sebagai penulis seperti jurnalis atau penulis fiksi.
Banyak review online yang memuji bagaimana Hemingway App dapat membantu mengidentifikasi kalimat-kalimat kompleks, kalimat pasif dan kata-kata keterangan yang tidak perlu, sehingga membuat tulisan mereka menjadi lebih ringkas dan enak dibaca (reader-friendly).
Namun, tentu saja tidak semua orang sependapat dengan bagaimana tools ini mengatur gaya penulisan mereka, karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki karakter yang unik dan oleh karena itu memiliki gaya penulisan yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
Singkatnya, tidak semua orang ingin menulis seperti Ernest Hemingway (walaupun secara pribadi, saya ingin sekali bisa menulis seperti Nabokov).
Terakhir, Generative AI muncul bagai kotak Pandora bagi dunia kreatif. Publik, mulai dari akademisi, pengacara, sampai pekerja kreatif geram dengan kemampuan AI seperti ChatGPT yang bisa menulis cover letter, transkrip video, laporan, dan jawaban soal latihan dengan kualitas yang menyerupai hasil kerja manusia.
Dan bukan cuma itu, AI Art yang dibuat dengan model Generative Adversarial Network (GAN) seperti Stable Diffusion, DALL-E, atau Midjourney semakin menambah kontroversi.
Peran Manusia yang Tak Tergantikan
AI ini bisa menciptakan karya seni dengan berbagai gaya, mulai dari realisme, impresionisme, hingga meniru gaya seniman terkenal seperti Van Gogh atau Greg Rutkowski.
Tidak dapat dipungkiri bahwa alat-alat AI ini tentu saja membawa dampak besar bagi para penulis. Di satu sisi, tools tersebut dapat menjadi rekan yang selalu siap membantu saat kita menghadapi kesulitan dalam menuangkan ide atau mencari kata-kata yang tepat.
Di sisi lain, adanya AI juga mengajak kita untuk terus mengasah kemampuan dan kreativitas, agar tetap bisa bersaing di dunia yang semakin canggih ini.
Namun, jangan lupa bahwa peran kita sebagai penulis tetap tak tergantikan. Kita sebagai manusia memiliki keunikan, emosi, dan pengalaman yang tak bisa ditiru oleh AI.
Jadi, walaupun AI mampu membantu kita dalam proses penulisan, kita harus tetap menjaga esensi kemanusiaan kita dan tak perlu merasa terintimidasi oleh kecanggihan teknologi.
Sebagai kelanjutan dari pembahasan mengenai alat bantu penulisan, kita akan membahas automated content generation. Teknologi ini menggunakan algoritma dan kecerdasan buatan untuk menghasilkan konten dalam berbagai bentuk, seperti artikel, laporan, puisi, dan cerita pendek.
Model Large Language seperti GPT-4, yang digunakan oleh ChatGPT, merupakan contoh dari teknologi yang mampu menghasilkan konten secara otomatis dengan gaya dan nuansa yang beragam.
Automated content generation memiliki potensi untuk mengubah cara bagaimana kita menciptakan dan mengonsumsi informasi.
Dalam konteks pembuatan karya tulis, teknologi ini bisa membantu penulis dalam mengeksplorasi ide-ide dan bahkan menghasilkan konten awal, yang kemudian dapat disempurnakan oleh penulis sendiri untuk meningkatkan kualitas, menyesuaikan gaya penulisan dan memperbaiki akurasi informasi yang disampaikan.
Namun, perlu diingat bahwa meskipun automated content generation dapat membantu penulis dalam proses kreatif, tanggung jawab dalam memastikan kualitas dan akurasi konten tetap ada di tangan penulis manusia. Dengan bekerja sama, penulis manusia dan AI dapat menciptakan karya yang lebih menarik dan informatif.
Pertimbangan Etis Penggunaan AI
Dalam mengadopsi AI sebagai alat bantu penulisan, ada beberapa pertimbangan etis yang perlu kita pikirkan. Pertama, kita harus mempertimbangkan kualitas dan akurasi informasi yang dihasilkan oleh AI.
Meskipun AI semakin canggih, masih ada kemungkinan informasi yang dihasilkan kurang akurat atau bahkan salah. Oleh karena itu, tanggung jawab penulis manusia untuk memastikan kebenaran informasi tetap penting dalam proses ini.
Kedua, ada pertimbangan tentang hak cipta dan keaslian karya. Seiring AI semakin mampu meniru gaya penulisan manusia, ada kemungkinan karya yang dihasilkan oleh AI dapat mirip atau bahkan identik dengan karya yang sudah ada.
Penulis harus waspada terhadap potensi pelanggaran hak cipta dan selalu berusaha untuk menciptakan karya yang orisinal.
Terakhir, ada dampak penggunaan AI terhadap kreativitas penulis. Di satu sisi, AI dapat membantu penulis mengatasi hambatan dalam proses kreatif, seperti sindrom kertas putih yang telah dibahas sebelumnya.
Namun, di sisi lain, ketergantungan pada AI dalam proses penulisan dapat mengurangi ruang bagi penulis untuk mengembangkan kreativitas mereka sendiri. Menariknya, sebelum tulisan ini, saya menemukan artikel yang menarik mengenai bagaimana AI dapat mengakibatkan “atrofi” pada kemampuan kita menulis.
Artikel ini membahas secara mendalam dan introspektif, mengajak kita bertanya bagaimana kita menukarkan unsur-unsur yang menjadikan kita “manusia” demi kenyamanan dan kemudahan.
Berkat artikel ini juga, penulis menjadi tergelitik untuk menulis mengenai pengaruh AI pada cara pandang kita terhadap proses pembuatan karya tulis.
Untuk memastikan bahwa penggunaan AI dalam penulisan memiliki dampak positif terhadap kreativitas, penulis harus menemukan keseimbangan antara memanfaatkan AI sebagai alat bantu dan menjaga keaslian serta pengembangan kreativitas mereka sendiri.
Dengan begitu, AI dan penulis manusia dapat saling melengkapi dan bersama-sama menciptakan karya yang lebih baik dan informatif.
Kerjasama antara AI dan Penulis
Selanjutnya, saya akan menutup pembahasan ini dengan menawarkan masa depan yang lebih optimistis, di mana AI dan penulis, bahkan para penulis dapat bekerja sama dalam menghasilkan karya tulis.
Salah satu aspek menarik dalam penggunaan AI dalam proses pembuatan karya tulis adalah kemampuan untuk meningkatkan kolaborasi antara penulis dengan AI, bahkan antarpenulis.
Alat berbasis AI, seperti Grammarly, Hemingway, dan lainnya, dapat membantu penulis saling memberikan masukan dan koreksi secara real-time. Dengan demikian, proses penulisan menjadi lebih efisien dan hasil akhirnya lebih berkualitas.
Selain itu, AI juga dapat membantu penulis yang bekerja pada proyek bersama untuk menyatukan gaya penulisan mereka. Dengan demikian, karya yang dihasilkan memiliki keseragaman dan kohesi yang lebih baik. Dengan menggabungkan kecerdasan buatan dan komunikasi yang efektif antar penulis, kolaborasi penulisan dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi, menghasilkan karya yang lebih kaya dan menarik.
Kolaborasi seperti ini sangat membantu dalam proses penulisan yang secara inheren bersifat kolaboratif, seperti penulisan laporan penugasan tim, penyusunan panduan dan petunjuk teknis, serta penyusunan design system dimana koherensi dan konsistensi gaya penulisan sangat dibutuhkan.
Dalam hal ini, AI berperan sebagai alat yang mendukung kolaborasi antarpenulis, sehingga mereka dapat bekerja bersama dengan lebih efektif dan menciptakan karya yang lebih menarik dan bermakna.
Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi AI, penulis dapat membawa kolaborasi dan kreativitas ke tingkat yang lebih tinggi.
Selanjutnya, saya berniat mengembangkan lebih lanjut desain sistem informasi yang dapat digunakan oleh kolaborator dalam menyusun dan mengembangkan karya tulis, menggunakan bantuan AI.
Berhubung lingkup dari tulisan ini tidak mungkin saya kembangkan lebih lebar lagi, detail secara teknis mengenai bagaimana saya menyusun desain platform collaborative writing tersebut mungkin akan saya tuangkan ke dalam tulisan berikutnya.
Akhir kata, ini adalah tulisan pertama saya pada platform Birokrat Menulis, dan tenang saja, tulisan ini tidak di-generate sepenuhnya oleh AI.
Terima kasih telah menyempatkan waktu membaca tulisan saya. Diskusi selanjutnya, kritik, dan saran sangat saya harapkan untuk memperkaya perspektif saya sebagai penulis.
Auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sejak 2012. Selama lima tahun terakhir, ia telah mencoba peruntungan dalam pengembangan perangkat lunak, menjelajahi teknologi, metodologi, dan alur kerja baru untuk mengatasi tantangan yang ada dan yang baru muncul di tempat kerjanya. Dengan minat yang kuat dalam pemecahan masalah, Septian selalu bersemangat untuk belajar dan menerapkan solusi inovatif dalam kehidupan pribadi dan profesionalnya.
Salam kenal Pak,
Saya sedang belajar menulis karya ilmiah, tetapi gaya bahasa saya seringkali terdeteksi gaya bahasa AI, saya menggunakan tool ZeroGPT untuk deteksi AI.
Sudah coba berulang kali diganti cara penyampaian kalimatnya tapi tetap terdeteksi AI.
Terkait hal ini, mohon sarannya. Tks.
Salam kenal juga,
Walaupun saya belum terlalu familiar dengan bagaimana tool ZeroGPT bekerja, namun berdasarkan dokumentasi yang saya temukan di internet. Setidaknya ada dua faktor yang menjadi dasar deteksi ZeroGPT, antara lain:
– Kesamaan gaya penulisan dengan keluaran AI
– Kesamaan dengan karya yang pernah terbit di internet.
Jadi walaupun saya belum pernah mencoba tool ZeroGPT, saran saya setidaknya mungkin gaya penulisan perlu dibuat supaya tidak terlalu terstruktur dan formal, atau bisa juga dengan mencoba menemukan gaya penulisan yang lebih memiliki karakter.
Terima kasih.
Masyaallah. Mantap Sep. Barakallah fii ilmi