Kemiskinan Riau, Kemiskinan Struktural

by Robbi Sunarto ◆ Active Writer | Jul 30, 2022 | Birokrasi Melayani | 6 comments

Kemiskinan terjadi bukan hanya karena keterbatasan sumber daya alam atau karena tradisi, norma, dan kebiasaan yang berlawanan dengan kemajuan. Akan tetapi, ada sesuatu yang paradoks soal kekayaan alam dan kemiskinan. Kita ingat Riau. Nyatanya, provinsi ini miskin meskipun ia berada di tengah-tengah kelimpahan sumber daya. 

Riau adalah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia. Produksi minyak bumi di provinsi Riau tersebar ke dalam enam blok minyak, antara lain Siak Block Rokan, Selat Panjang Malacca Strait, Mountain Front, dan Coastal Plains Pekanbaru. 

Selain itu, Riau juga dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia. Produksi kelapa sawit Riau mencapai 8,63 juta ton atau 18,67 persen dari total produksi kelapa sawit di negeri ini. 

Provinsi Kaya, Apakah Orang Riau juga Kaya?

Mendapat predikat sebagai penghasil minyak bumi dan produsen kelapa sawit di Indonesia, maka tidak heran Riau dijuluki sebagai provinsi kaya, karena di atas tanahnya ada minyak (kelapa sawit), begitu pun di bawah tanahnya ada minyak (minyak bumi). 

Riau kaya. Apakah orang Riau juga kaya? Itulah pertanyaan fundamental yang perlu kita jawab. 

Jika kita tanyakan pertanyaan itu kepada orang-orang di luar Riau, maka jawabannya: ya. Orang Riau adalah orang kaya. Tapi jika kita tanyakan pertanyaan itu kepada Badan Pusat Statistik, maka jawabannya: tidak. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau pada bulan Maret tahun 2022 lebih kurang sebesar 458.000 jiwa. Tapi jumlah itu bisa bertambah secara signifikan ketika harga kelapa sawit mengalami penurunan.  Mengapa? 

Menurut Ando Fahda Aulia, Doktor Kelapa Sawit lulusan Universitas Flinders, Australia, salah satu kontribusi kelapa sawit di Riau adalah dari sisi penyerapan tenaga kerja. 46,09 persen tenaga kerja di Riau terkonsentrasi pada sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. 

Jumlah petani sawit di Riau pada tahun 2018 berjumlah 580.902 petani. Jika kita asumsikan satu keluarga petani berjumlah 4 orang, maka jumlah masyarakat Riau yang tergantung kepada kelapa sawit lebih kurang 2.300.000 orang. 

Apa artinya? Jika harga kelapa sawit mengalami penurunan (kontraksi) maka lebih kurang 33 % penduduk Riau berpotensi menjadi penduduk miskin. 

Kemiskinan Struktural

Di dalam bukunya berjudul “Kebijakan Ekonomi: Regulasi, Institusi dan Konstitusi,” Ahmad Erani Yustika dan Rukavina Baksh berpendapat, para ilmuwan (sosial) percaya kemiskinan disebabkan oleh tiga perkara: struktural, kultural, dan natural. 

Penyebab natural kemiskinan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya ekonomi. Penyebab kultural kemiskinan adalah kemiskinan yang disebabkan oleh tradisi, norma, dan kebiasaan yang berlawanan dengan kehendak pada kemajuan. 

Sedangkan penyebab kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang berporos dari kebijakan (pemerintah) yang bengkok sehingga hanya segelintir pelaku ekonomi yang ikut gerbong kesejahteraan. 

Jika kita analisis kemiskinan di Riau berdasarkan tiga penyebab kemiskinan tersebut maka kemiskinan di Riau salah satunya bisa kita katakan sebagai “kemiskinan struktural”. Mengapa? 

Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor crude palm oil (CPO) adalah awal dari kisah penurunan harga tandan buah segar (tbs) kelapa sawit. Bahkan, penurunan harga tbs saat ini telah mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Harga kelapa sawit telah menyentuh harga Rp 500 per kilogram. Apa artinya?

Seperti yang sudah penulis katakan tadi, jika harga kelapa sawit mengalami penurunan maka kemiskinan di Riau diprediksi akan meningkat signifikan. 

Kemiskinan di Riau (terutama yang bergantung pada kelapa sawit) disebut kemiskinan struktural karena tidak disebabkan oleh mekanisme pasar, melainkan karena kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan sebagian kalangan. 

Padahal dalam rantai bisnis kelapa sawit, petani kelapa sawit yang hanya memiliki beberapa hektar atau para pekerja adalah penikmat terkecil dari total keuntungan. Tapi merekalah yang paling menderita ketika terjadi penurunan harga tbs. Penurunan harga kelapa sawit secara signifikan membuat mereka rentan menjadi masyarakat miskin. 

Mengatasi Masalah dengan Masalah

Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor CPO, apakah masalah kenaikan harga minyak goreng selesai? Ternyata tidak. 

Pasca pelarangan ekspor, Menteri Perdagangan diganti. Apa artinya? Kebijakan pelarangan ekspor ternyata tidak menyelesaikan masalah. Harga minyak goreng tidak dapat kembali ke harga semula. 

Kebijakan yang diambil oleh Menteri Perdagangan yang barupun tidak ada yang baru. Justru harga minyak goreng berpotensi meningkat kembali karena terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). 

Kenaikan harga BBM bisa meningkatkan biaya produksi dan distribusi, yang ujung-ujungnya bisa meningkatkan harga barang dan jasa. 

Sekalipun harga minyak goreng berhasil diturunkan, kenyataannya pada saat ini ada banyak bahan kebutuhan pokok di luar sana yang mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini terasa makin berat bagi petani kelapa sawit di Riau. Harga tbs yang anjlok membuat mereka kehilangan atau kekurangan pendapatan. 

Dengan pendapatan yang hilang atau berkurang, bagaimana para petani itu akan menghadapi harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam? 

Fenomena ini juga berpotensi menjadi kontra kebijakan penurunan stunting yang sedang digalakkan pemerintah. Sebab gizi menjadi salah satu penyebab tingginya angka stunting. Jika masyarakat memiliki uang yang terbatas, bagaimana caranya mereka mencukupi kebutuhan gizi?

Risiko Kebijakan 

Petani kelapa sawit Riau yang merana pasca kebijakan pelarangan ekspor CPO adalah risiko kebijakan yang dipilih oleh pemerintah. Kenaikan harga minyak goreng yang signifikan, menyebabkan pemerintah berupaya untuk menurunkannya, walau dengan resiko para petani sawit (terutama di Riau) berpotensi menjadi masyarakat miskin.  

Tapi apakah pemerintah salah? Benar dan salah dalam merumuskan kebijakan tidak bisa dipastikan sampai kebijakan itu telah dilaksanakan dan dievaluasi. Jikapun akhirnya dianggap salah, maka itu adalah risiko kebijakan. Setiap kebijakan pasti memiliki risiko. 

Di dalam ilmu ekonomi ada istilah “trade-off”. Sebuah istilah yang menunjukkan tentang situasi di mana seseorang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih, mengorbankan atau kehilangan suatu aspek dengan alasan tertentu untuk memperoleh aspek lain. 

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah pihak yang selalu dihadapkan dengan situasi trade-off. Menurut Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suanzil Nazara, setidaknya ada lima trade off yang dihadapi dalam merumuskan kebijakan. 

Trade-off yang pertama adalah keselamatan dan kesejahteraan. Trade-off yang kedua adalah antara kecepatan dan akurasi. Trade-off ketiga adalah antara data proyeksi dan data historis. Trade-off keempat adalah antara kepastian dan ketidakpastian. 

Epilog: Bergulat dengan Pilihan

Walaupun pemerintah selalu dihadapkan pada situasi trade-off, tapi itu tidak bisa jadi pemakluman untuk merugikan dan menguntungkan sebagian kalangan dalam jangka panjang. Apalagi, sebagian kalangan ini adalah kelompok masyarakat yang rentan miskin sebagai akibat mekanisme pasar ataupun kebijakan pemerintah. 

Kebijakan yang merugikan petani kelapa sawit ini harus memiliki batas waktu. Sebuah kebijakan yang dipilih harus menyelesaikan permasalahan dalam waktu cepat dan tepat. 

Jika pemerintah tidak mengatasi persoalan dengan cepat dan tepat, maka bagi sebagian kalangan (keluarga petani, pekerja, pengusaha sawit), akan berlaku ungkapan seperti yang diungkapkan Jhon Meynard Keynes:

“Dalam jangka panjang, kita semua mati.”

6
0
Robbi Sunarto ◆ Active Writer

Robbi Sunarto ◆ Active Writer

Author

Analis Rencana Program dan Kegiatan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indragiri Hulu. Baru belajar, masih belajar dan terus belajar ilmu perencanaan.

6 Comments

  1. Robbi Sunarto

    Kaitan antara kemiskinan dan fluktuasi tbs dengan asumsi mas.

    Jika penurun Tbs dalam jangka panjang. Jika mereka tidak punya tabungan. Jika mereka tidak punya sumber pendapatan yang lain.

    Maka di dalam tulisan ini saya menggunakan kata potensi. Dalam jangka pendek kita dalam pekerjaan apapun, jika terjadi sesuatu dalam pekerjaan kita, kita bisa bertahan. Ini maksudnya supaya pemerintah jangan berlama-lama membuat kebijakan yang membuat harga tbs jatuh. Tabungan bisa habis, hutang bisa menumpuk.

    Terima kasih komentarnya mas Viator Butar-Butar.

    Reply
    • Avatar

      Sangat meng-inspirasi tulisannya Mas Robbi Sunarto, semoga dengan uraian diatas ada solusi terbaik & cepat dari Pemerintah supaya tidak terjadi atau sampai dengan statement (ungkapan) “Jhon Meynard Keynes” 🙏🏾

      Reply
  2. Avatar

    Penduduknmiskin di Riau bukan petani atau pedagang sawit. Kalau pekerja lepas seperti pemanen sawit, mungkinlah masuk kelompok penduduk miskin. Jadi mengaitkan angka kemiskinan dgn fluktuasi harga TBS tidaklah terlalu tepat. silahkan uji korelasi kedua variable tsb.

    Reply
  3. Robbi Sunarto

    Benar Mas Yuda. Semoga teman birokrat lain tertarik untuk memberikan pandangannya tentang kemiskinan berdasarkan daerahnya ataupun keilmuannya. Supaya tema kemiskinan ini bisa lebih kita dalami.

    Reply
  4. Avatar

    menarik uraiannya, semoga bisa menjadi triger untuk mengupas akar masalah lebih dalam lagi, karena kemiskinan tersebut bukan hanya milik provinsi tertentu

    Reply
    • Robbi Sunarto

      Terima kasih mas Yuda. Benar Mas, kemiskinan selalu menjadi topik yang menarik untuk dikaji karena begitu banyak sudut pandang yang bisa digunakan.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post